JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang putusan terkait ketentuan tidak adanya upaya banding dalam proses praperadilan yang diatur dalam Pasal 83 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sidang akan digelar di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (10/10/2017) pukul 10.00 WIB.
Permohonan uji materi diajukan oleh mantan Direktur PT Mobile 8, Anthony Chandra Kartawiria, melalui kuasa hukumnya, yakni David Surya, Ricky Kurnia Margono, dan H Adhidarma Wicaksono.
Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, inti permohonan para pemohon adalah meminta MK menafsirkan frasa "tidak dapat dimintakan banding" yang diatur dalam Pasal 83 ayat 1 KUHAP tersebut inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak ditafsirkan bersifat final dan mengikat.
Hal itu lantaran para pemohon menilai frasa tersebut multitafsir.
"Karenanya, tidak dapat diajukan upaya hukum lainnya, termasuk penyidik tidak dapat menerbitkan kembali surat perintah penyidikan kecuali memenuhi paling sedikit 2 alat bukti baru yang sah yang belum diajukan dalam sidang praperadilan, berbeda dari alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara," kata Fajar, saat dihubungi, Selasa.
Dikutip dari situs mahkamahkonstitusi.go.id, Pemohon David Surya mengatakan, ketika putusan praperadilan dimenangkan oleh pihak tersangka, maka pada umumnya para penyidik (Kepolisian/Kejaksaan/KPK) akan mengajukan upaya hukum kasasi atau upaya hukum luar biasa berupa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung untuk mempertimbangkan kembali putusan praperadilan.
Atau, selain itu, penyidik akan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (sprindik) baru untuk mengulang kembali proses penyidikan dengan bukti yang sama dan hanya memodifikasi sedikit materi dugaan tindak pidana yang disangkakan.
Tujuannya, agar penyidikan tetap dapat dilakukan.
Dengan demikian, putusan praperadilan tidak diindahkan.
Bagi para pemohon, lanjut Surya, hal ini melanggar hak asasi warga negara karena bertentangan dengan asas kepastian hukum serta menciderai asas praduga tidak bersalah.
Sebagai contoh, Surya menjelaskan mengenai gugatan praperadilan yang diajukan oleh Hary Tanoesoedibjo terkait kasus Mobile 8. Kala itu, hakim memenangkan pihak pemohon praperadilan.
Dengan demikian, menurut Surya, sedianya putusan praperadilan telah mematahkan bukti-bukti penyidik terkait kasus Hary Tanoe.
Akan tetapi, penyidik kembali menyeret Hary Tanoe sebagai tersangka dengan bukti yang berbeda.
Sementara Pemohon Ricky Kurnia Margono menilai, frasa “tidak dapat dimintakan banding” merumuskan, bahwa asas presumption of innocence sebagai bentuk perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia juga harus mempertimbangkan sisi kepastian hukum.
Oleh karena itu, menurut dia, perkara yang telah diputus oleh hakim atau telah berkekuatan tetap (inkrah), dalam hal ini praperadilan, tidak dapat diajukan kembali.
“Karena proses hukum yang diujikan pada praperadilan dengan berdasar pada dua alat bukti dalam penyidikan tidak sesuai dengan ‘due process of law’,” kata Ricky dalam sidang panel yang digelar pada Kamis (3/8/2017).