Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkaca Kasus Demi Lovato, Kambuh Kecanduan Narkoba Berisiko Bahaya

Kompas.com - 08/08/2018, 12:14 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

Sumber Time

KOMPAS.com - Setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit karena overdosis, Demi Lovato kini vokal menceritakan perjuangan kecanduannya yang masih belum selesai.

Seperti diketahui, beberapa tahun lalu Lovato pernah mengalami depresi dan kecanduan narkoba. Setelah menjalani rehabilitasi, sejak enam tahun lalu ia dinyatakan sembuh dari kecanduan.

Namun, apa yang menimpa Lovato belum lama ini menunjukkan bahwa kecanduan narkobanya kambuh.

Sejumlah ahli pun mengatakan, kambuh dari kecanduan narkoba merupakan siklus yang sulit dilalui dan beberapa kasus justru berakhir kematian.

Baca juga: Kurt Cobain hingga Demi Lovato, Orang-orang yang Sukses Meski Bipolar

"Saya selalu terbuka dengan perjuangan saya menghadapu kecanduan (narkoba). Satu hal yang saya pelajari, hal ini bukan sesuatu yang mudah hilang seiring berjalannya waktu. Ini adalah sesuatu yang harus saya atasi dan masih belum selesai," kata Lovato dalam sebuah pernyataan, dilansir Time, Selasa (7/8/2018).

Pernyataan Lovato itu pun dibenarkan oleh National Institute on Drug Abuse. Menurut mereka, kambuh dari kecanduan narkoba merupakan sesuatu yang wajar dalam pemulihan kecanduan narkoba.

Tercatat ada sekitar 40 sampai 60 persen orang dengan gangguan penyalahgunaan narkotika yang mengalami siklus kambuh. Meski begitu, beberapa hal dapat membuat hal ini menjadi berbahaya, bahkan bisa mematikan.

"Ada sejumlah faktor risiko yang membuat kambuh (dari kecanduan) menjadi sesuatu yang berbahaya. Salah satu yang paling sering adalah kehilangann toleransi," kata Dr. Richard Blondell, wakil ketua kecanduan obat di University of Buffalo's jacobs School of Medicine and Biomedical Sciences.

"Saat kambuh, seseorang akan mengambil dosis yang menurut mereka dapat efektif. Dari kebanyakan kasus, dosis yang diambil jauh lebih banyak dari sebelumnya, lebih dari setengahnya," jelas Blondell.

Menurut Blondell, perilaku tersebut muncul karena toleransi di otak hilang dan bisa mengancam jiwa.

"Semua sel otak memiliki reseptor yang merangsang sel saraf dan beberapa menghambat fungsi sel saraf. Saat seseorang mengambil obat yang mengganggu keseimbangan normal, maka otak akan mencoba mengembalikan keseimbangan itu," ujar Blondell.

"Obat-obatan ini bergabung dengan fungsi otak, kemudian otak mengimbangi efek obat yang telah mengubah di bagian otak lain," paparnya.

Seiring waktu, otak akan terbiasa melakukan penyesuaian semacam ini. Akibatnya, dosis obat yang dulu dipakai tidak akan memberi efek yang sama dan akhirnya mengambil dosis yang lebih besar dari sebelumnya.

"Saat dosis terus ditingkatkan dari waktu ke waktu, toleransi pun akan meningkat," imbuhnya.

Ketika seseorang berhenti mengonsumsi narkotika, otak akan kembali ke fungsi awalnya dengan cepat dan toleransi menghilang.

Halaman:
Sumber Time
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com