SURABAYA, KOMPAS.com - Imbas dari pandemi virus corona, PSSI dengan berat hati menghentikan kompetisi Liga 1 dan Liga 2 hingga tanggal 29 Mei 2020.
Dalam surat keputusan yang terbit tanggal 27 Maret lalu, kompetisi kemungkinan akan kembali digelar pada 1 Juli 2020.
Namun, dengan catatan semua kondisi sudah kembali normal dan memungkinkan untuk menggelar kompetisi kembali.
Baca juga: Serukan Physical Distancing, Lele Persela Lamongan Lepas?
Akan tetapi, jika sampai tanggal yang disebutkan situasi tidak menunjukan tanda-tanda kondusif, PSSI tidak akan melanjutkan kompetisi yang sudah bergulir ini.
Bicara soal penghentian kompetisi, ini bukanlah kali pertama bagi Fabio Oliviera.
Bahkan, ini adalah penghentian kompetisi ketiga yang dirasakan pelatih asal Brasil tersebut selama berkiprah di Indonesia.
“Selama di Indonesia saya merasakan penghentian kompetisi 3 kali. Saat ini, tahun 2015, dan kerusuhan 98 juga,” kata Fabio yang kini menjadi asisten pelatih Persela Lamongan, kepada Kompas.com.
Penghentian kompetisi yang pertama dia rasakan saat menjadi pemain di PSP Padang pada tahun 1998.
Akibat krisis moneter yang memantik kerusuhan massa secara serempak, membuat situasi Indonesia menjadi kacau.
Kekacauan tersebut pun membuat Panglima TNI kala itu, Jenderal Wiranto menghentikan kompetisi karena alasan keamanan. Sepak bola Indonesia pun mati suri selama kurang lebih enam bulan.
Penghentian kompetisi kedua terjadi pada tahun 2015, di mana saat itu sepak bola juga mati suri karena kisruh yang terjadi antara PSSI dan Kemenpora yang kemudian muncul sanksi dari FIFA.
Tak lama kompetisi berhenti dan federasi dibekukan, Fabio Oliviera mendapat tawaran melatih di Carsae FC Timor Leste bersama pemain Indonesia lainnya, Boaz Solossa, Imanuel Wanggai, dan Oktovianus Maniani.
Meskipun sudah tiga kali merasakan pengalaman yang kurang menyenangkan, Fabio Oliviera memiliki alasan khusus tetap bertahan di Indonesia.
Baginya Indonesia adalah tempatnya berkarya sebagai seorang pesepak bola.
Apalagi dia melihat sepak bola Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, namun sayangnya potensi tersebut belum bisa diolah secara maksimal.