Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Meicky Shoreamanis Panggabean
Dosen

Dosen Universitas Pelita Harapan

Penggunaan ChatGPT: Jadi, Pendidik Sebaiknya Berbuat Apa?

Kompas.com - 20/09/2023, 11:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK diluncurkan pada November 2022, popularitas ChatGPT membuat akademisi terbelah dua.

Sebagian adalah early adopters. Mereka mempelajarinya lalu percaya bahwa ChatGPT memberi kontribusi signifikan terhadap kemajuan ilmu.

Sebagian lainnya yakin bahwa ChatGPT mengandung konflik etis yang mendehumanisasi pengguna dan membuat kualitas pendidikan terjun bebas.

Perbedaan pendapat ini wajar. Di tengah serunya kelangsungan adu argumentasi, Elsevier dan Cambridge University Press, keduanya adalah penerbit terkemuka, mengeluarkan izin bagi para peneliti untuk menggunakan aplikasi seperti ChatGPT saat menulis.

Teknologi tak bisa dilawan. UNESCO sudah mengeluarkan kebijakan. Tak usah menunggu pemerintah mengeluarkan regulasi karena kelebihan dan kelemahan ChatGPT berbeda-beda di tiap sektor.

Tugas pemerintah adalah mengembalikan pendidik kepada fitrahnya: mendidik dan meneliti termasuk mencermati pro-kontra ChatGPT, mengajak guru serta dosen di institusinya masing-masing untuk berdiskusi dan mengejawantahkan kebijakan sampai ke tahap praktik pengajaran di kelas. Ini tugas mulia yang tak bisa dilakukan maksimal karena belenggu tugas administrasi.

Institusi pendidikan perlu bersikap proaktif dengan cara menyusun kebijakan yang solutif terkait penggunaan ChatGPT dan AI sejenis lainnya (selanjutnya akan digabung penggunaannya dalam istilah ‘ChatGPT’).

Membiarkan pendidik bertindak sendiri-sendiri akan membuat peserta didik kebingungan dan berpotensi menimbulkan konflik lainnya.

Diskusi mengenai kebijakan ini sebaiknya, minimal saat fase pengumpulan data, melibatkan beberapa anak didik serta pendidik yang berstatus techie atau early adopters.

Institusi yang terbiasa dengan top-down policy pasti gelagapan namun melibatkan early adopters dari pihak pendidik dan anak didik akan memperkaya perspektif para administrator. Kebijakan ini sebaiknya kelak dijadikan bagian dari silabus.

Tujuan pendidikan antara lain memanusiakan manusia. Bersikap serta bertindak etis adalah bagian dari menjadi manusia. Maka, alangkah baiknya jika ulasan terkait etika penggunaan mendapat penekanan dalam regulasi.

Selain menyodorkan analisis cermat terkait plus minus ChatGPT, institusi juga perlu dalam proses diskusinya kelak meredefinisi konsep plagiarisme dan mencontek.

Kini mencontek bukan masalah hitam-putih: menyalin pekerjaan teman atau tidak. Sekarang mencontek punya gradasi: siapa yang lebih banyak mengerjakan, orang atau mesin?

Proses penulisannya disalin mentah-mentah atau diedit? Jika diedit tapi menggunakan AI, bagaimana? Apakah itu tanda kemalasan atau tanda kerja efektif?

Oleh karena itulah, selain early adopters dari pihak pendidik dan anak didik, akademisi dengan latar belakang filsafat yang dipadukan dengan dosen praktisi pasti akan membawa banyak manfaat dalam penyusunan kebijakan.

Halaman:
Berikan Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE


Terkini Lainnya
Atasi Kesenjangan Kompetensi, ICE Institute Hadirkan “Career Guidance Platform”
Atasi Kesenjangan Kompetensi, ICE Institute Hadirkan “Career Guidance Platform”
Edu
Tim Peneliti Polimedia Kenalkan Teknologi Kemasan Aktif MAP, Perpanjang Masa Simpan Tepung Talas
Tim Peneliti Polimedia Kenalkan Teknologi Kemasan Aktif MAP, Perpanjang Masa Simpan Tepung Talas
Edu
LPDP Beri 3 Opsi buat Mahasiswa, Dampak Kebijakan Imigrasi Amerika Serikat
LPDP Beri 3 Opsi buat Mahasiswa, Dampak Kebijakan Imigrasi Amerika Serikat
Edu
Kisah Nuzula, Peserta UTBK 2025 dengan Nilai Tertinggi di Unesa, Pilih Kedokteran
Kisah Nuzula, Peserta UTBK 2025 dengan Nilai Tertinggi di Unesa, Pilih Kedokteran
Edu
UNJ Raih Penghargaan 'Perguruan Tinggi dengan Permohonan Hak Cipta Terbanyak 2015-2024' Kemenkum
UNJ Raih Penghargaan "Perguruan Tinggi dengan Permohonan Hak Cipta Terbanyak 2015-2024" Kemenkum
Edu
Kisah Elsa, Anak Marbot Masjid Masuk UGM Tanpa Tes dan Dapat Beasiswa
Kisah Elsa, Anak Marbot Masjid Masuk UGM Tanpa Tes dan Dapat Beasiswa
Edu
AS Hentikan Sementara Penerbitan Visa Pelajar, Bagaimana Nasib 'Awardee' LPDP?
AS Hentikan Sementara Penerbitan Visa Pelajar, Bagaimana Nasib "Awardee" LPDP?
Edu
Permendikdasmen Baru: Hasil TKA SD-SMA buat SPMB dan Masuk Jalur SNBP
Permendikdasmen Baru: Hasil TKA SD-SMA buat SPMB dan Masuk Jalur SNBP
Edu
Biaya Kuliah Institut Teknologi PLN 2025, Ada Gratis Kuliah sampai Lulus
Biaya Kuliah Institut Teknologi PLN 2025, Ada Gratis Kuliah sampai Lulus
Edu
Kisah Nuzula, Sudah Kuliah di FKG, Daftar FK Unesa dan Raih Skor UTBK Tertinggi
Kisah Nuzula, Sudah Kuliah di FKG, Daftar FK Unesa dan Raih Skor UTBK Tertinggi
Edu
Wamendikti Stella Hitung Peluang Timnas Indonesia Lolos Piala Dunia 2026
Wamendikti Stella Hitung Peluang Timnas Indonesia Lolos Piala Dunia 2026
Edu
Peraturan TKA SD-SMA Tahun 2025 Terbit, Ini Syarat Siswa dan Materinya
Peraturan TKA SD-SMA Tahun 2025 Terbit, Ini Syarat Siswa dan Materinya
Edu
Wamen Stella Hitung Peluang Timnas Indonesia Lolos Piala Dunia 2026, Pakai Rumus Probabilitas
Wamen Stella Hitung Peluang Timnas Indonesia Lolos Piala Dunia 2026, Pakai Rumus Probabilitas
Edu
Mendikdasmen Bahas Penerapan Pendidikan Dasar Gratis dengan Menkeu
Mendikdasmen Bahas Penerapan Pendidikan Dasar Gratis dengan Menkeu
Edu
Kisah Brian, Lulus Cumlaude Kedokteran UGM Hanya dalam Waktu 3,5 Tahun
Kisah Brian, Lulus Cumlaude Kedokteran UGM Hanya dalam Waktu 3,5 Tahun
Edu
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau