Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/10/2015, 16:00 WIB

Oleh Ahmad Arif

Kerinduan warga Desa Masewo, Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, terhadap layanan medis membuat mereka menyambut gembira kedatangan dua lelaki dan dua perempuan paruh baya yang mengaku sebagai dokter. Keempatnya diinapkan di rumah tokoh desa dan dijamu. Bahkan, ketika mereka meminta bayaran jutaan rupiah, warga pun antre berobat.

"Saya membayar Rp 1,2 juta untuk berobat istri dan anak saya ke dokter itu," kata Yusuf Warani (47), mantan Kepala Dusun 1, Desa Masewo, sambil menunjukkan kapsul warna hijau, selembar kertas berisi kadar kolesterol dan glukosa, serta tulisan tentang pantangan makan.

Anehnya, kadar kolesterol dan glukosa itu didapat Yusuf tanpa perlu pengambilan darah ataupun urine. "Mereka hanya membawa alat uji tensi (tekanan) darah," ujar Yusuf.

Saat Florensius Bawu, fasilitator Karsa Institute, lembaga penelitian dan pendampingan masyarakat yang bermarkas di Palu, menyampaikan bahwa dokter itu gadungan, Yusuf hanya bisa menyesalinya. "Dokter gadungan itu juga kedapatan menipu di desa-desa lain di Pipikoro," kata Florensius.

Padahal, menurut Yusuf, uang Rp 1,2 juta itu hasil menjual cokelat selama dua bulan. "Saya sempat ragu, tapi tak mengira mereka benar-benar penipu," ujarnya.

Saat datang ke rumah Yusuf, pertengahan Agustus lalu, mereka mengaku sebagai dokter baru untuk Pipikoro. Untuk meyakinkan warga, mereka menunjukkan surat pengantar dari camat yang diduga palsu.

"Seumur-umur, hanya sekali dokter ke desa kami, saat ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) masuk desa, tahun 1993. Maka, begitu ada yang mengaku dokter, kami sambut baik. Kami kasih tempat menginap dan makan," tuturnya.

Tanpa layanan kesehatan

Tujuh puluh tahun kemerdekaan seolah tak dirasakan warga Topo Uma yang tinggal di Desa Masewo. Tak ada aliran listrik, apalagi sinyal telepon, di desa berpenduduk 136 jiwa ini.

Untuk mencapai Masewo harus melewati jalan setapak yang diapit jurang terjal sepanjang 40 kilometer (km) dari Gimpu, ibu kota Kecamatan Kulawi Selatan. Jika memakai ojek motor, butuh enam jam perjalanan mendebarkan dengan biaya Rp 300.000. Di musim hujan, lama perjalanan dan ongkosnya bisa berlipat.

Jangankan dokter, bidan pun tak ada di desa itu. Puskesmas pembantu terdekat berada di Desa Banasu yang berjarak sekitar 12 km. Medan berat harus dilalui, naik-turun bukit, hingga menyeberang anak sungai.

"Saat kandungan masih empat bulan, saya harus jalan kaki setengah hari ke Banasu untuk periksa ke bidan," kata Erlin (22) yang melahirkan bayinya tahun lalu tanpa didampingi bidan.

Yusuf menuturkan, saat masih menjadi kepala dusun, dirinya pernah mengantarkan delapan anak balita bersama ibunya dan tiga perempuan hamil berjalan kaki menembus hutan untuk periksa kesehatan ke Banasu. Dalam perjalanan pulang, hujan lebat tiba-tiba mengguyur. "Saya terpaksa membuat jembatan darurat dan menuntun mereka menyeberang satu per satu karena sungai-sungai meluap. Beruntung semuanya selamat, tapi nyaris saja," kisahnya.

Habil Noa (46), Ketua Badan Perwakilan Desa Masewo, mengatakan, semua bayi di desanya lahir tanpa bantuan bidan. "Lima anak saya lahir tanpa bantuan. Istri saya sendiri yang memotong tali pusar bayi kami, pakai tangkai daun atta yang ditajamkan," ucapnya.

Desa Masewo adalah contoh buruknya layanan kesehatan bagi masyarakat pedalaman. Menurut data Kemitraan, situasi itu terjadi di semua desa di Kecamatan Pipikoro. Dari 19 desa di Pipikoro, hanya Desa Kantewu yang punya puskesmas. Puskesmas pembantu ada di dua desa, yakni Koja dan Banasu.

Adapun pondok bersalin desa hanya ada di Desa Mapahi. Jumlah bidan yang hanya tujuh orang dan harus melayani semua desa jelas tak bisa melayani 7.962 penduduk Pipikoro yang secara administratif mendiami wilayah seluas 956,13 km persegi.

Kematian ibu

Situasi itu menyebabkan kematian ibu terus terjadi. Beberapa tahun lalu, seorang ibu yang hendak melahirkan dari Desa Pelempea, desa tetangga Masewo, meninggal saat ditandu dalam perjalanan menuju rumah sakit di Palu. "Kasus yang sama terjadi di Desa Peana," kata Florensius.

Ani Odi, tenaga medis dari Puskesmas Desa Banasu, mengakui, layanan kesehatan belum memadai. Jumlah tenaga medis di puskesmasnya sebanyak tujuh orang yang bertugas menangani tujuh desa. Dari tujuh tenaga medis itu, hanya tiga yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS), sisanya tenaga tak tetap.

"Saya jadi pengabdi ulang sejak 1998, sudah tiga kali ikut tes PNS, tapi tak lolos. Terpaksa, selain bekerja di puskesmas, masih harus cari tambahan dengan bertani," ujarnya.

Dengan situasi layanan kesehatan buruk ini, kedatangan empat orang dari kota ke Masewo yang mengaku dokter itu disambut warga dengan antusias. Puluhan warga antre berobat dan harus membayar Rp 500.000 hingga Rp 2 juta.

Yeremea awalnya penuh harap saat membawa anaknya yang sakit tulang belakang sejak lahir. "Mereka hanya lihat-lihat sebentar kondisi anak saya, lalu memberi obat. Awalnya ia minta Rp 900.000, tapi saya hanya punya tabungan Rp 700.000. Semuanya saya berikan. Namanya juga mau sembuh, uang berapa pun yang diminta akan kami usahakan. Nyatanya anak tak sembuh, uang habis," tuturnya.

Kondisi itu menunjukkan, layanan kesehatan gratis seperti yang dijanjikan Presiden Joko Widodo masih mimpi bagi warga pelosok. Di daerah yang tak tersentuh pembangunan kesehatan itu, kematian ibu bukanlah hal asing.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya
Aman atau Tidak Penuhi Vitamin C Hanya dari Suplemen? Ini Kata Ahli Gizi
Aman atau Tidak Penuhi Vitamin C Hanya dari Suplemen? Ini Kata Ahli Gizi
Health
Perhatikan Dosis, Konsumsi Vitamin C Berlebih Bisa Picu Batu Ginjal
Perhatikan Dosis, Konsumsi Vitamin C Berlebih Bisa Picu Batu Ginjal
Health
Warga Arizona Meninggal Akibat Wabah Pes, Diduga Terkait Kematian Massal Anjing Padang Rumput
Warga Arizona Meninggal Akibat Wabah Pes, Diduga Terkait Kematian Massal Anjing Padang Rumput
Health
BPJS Kesehatan Tegaskan Tak Ada Batas Waktu Rawat Inap bagi Peserta JKN
BPJS Kesehatan Tegaskan Tak Ada Batas Waktu Rawat Inap bagi Peserta JKN
Health
Varian Baru Covid-19 Stratus Menyebar di Inggris, Gejala Serak Jadi Ciri Khas
Varian Baru Covid-19 Stratus Menyebar di Inggris, Gejala Serak Jadi Ciri Khas
Health
BPJS Kesehatan Siapkan Delapan Skenario, Termasuk Potensi Kenaikan Iuran JKN
BPJS Kesehatan Siapkan Delapan Skenario, Termasuk Potensi Kenaikan Iuran JKN
Health
Bukan Jeruk, Ini Buah dengan Vitamin C Lebih Tinggi menurut Ahli Gizi
Bukan Jeruk, Ini Buah dengan Vitamin C Lebih Tinggi menurut Ahli Gizi
Health
Rasa Asam Belum Tentu Tanda Kandungan Vitamin C Tinggi, Ini Penjelasan Ahli Gizi
Rasa Asam Belum Tentu Tanda Kandungan Vitamin C Tinggi, Ini Penjelasan Ahli Gizi
Health
Bukan Maag Biasa, Kang Seo Ha Meninggal karena Kanker Lambung: Ini Bedanya
Bukan Maag Biasa, Kang Seo Ha Meninggal karena Kanker Lambung: Ini Bedanya
Health
Kang Seo Ha Meninggal karena Kanker Lambung, Kenali Gejala dan Faktor Risikonya
Kang Seo Ha Meninggal karena Kanker Lambung, Kenali Gejala dan Faktor Risikonya
Health
Waspada Varian Baru Covid-19 XFG, Sudah Tersebar di 38 Negara
Waspada Varian Baru Covid-19 XFG, Sudah Tersebar di 38 Negara
Health
Yunita Ababiel Meninggal Dunia, Ini Penyebab dan Bahaya Kanker Payudara
Yunita Ababiel Meninggal Dunia, Ini Penyebab dan Bahaya Kanker Payudara
Health
Yunita Ababiel Meninggal karena Kanker Payudara, Ini Gejala Awal yang Perlu Diwaspadai
Yunita Ababiel Meninggal karena Kanker Payudara, Ini Gejala Awal yang Perlu Diwaspadai
Health
Robot Medis Pertama Lakukan Operasi Realistis Secara Mandiri dengan Akurasi 100 Persen
Robot Medis Pertama Lakukan Operasi Realistis Secara Mandiri dengan Akurasi 100 Persen
Health
Kapan Waktu Terbaik untuk Mandi: Pagi atau Malam Hari? Ini Penjelasan Ahli
Kapan Waktu Terbaik untuk Mandi: Pagi atau Malam Hari? Ini Penjelasan Ahli
Health
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau