Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 9 Mar 2021

Platform publikasi karya akademik dari akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk khalayak luas demi Indonesia yang semakin maju.

Tumbuh bersama kekuatan mimpi perempuan Indonesia

Selebritisasi dalam Siaran Langsung Lamaran Artis

Baca di App
Lihat Foto
Dokumen DnD Wedding Organizer
Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah, didampingi oleh Krisdayanti dan Yuni Shara usai menggelar acara lamaran di hotel Intercontinental, Jakarta Selatan, Sabtu (13/3/2021).
Editor: Laksono Hari Wiwoho

Oleh: Desideria Cempaka Wijaya Murti, SSos, MA, PhD

PUBLIK sedang dilanda hiruk pikuk dan haru birunya sebuah acara hajatan lamaran dua anak muda pesohor.

Putri seorang diva dan pencipta lagu dilamar oleh seorang Youtuber nomor satu di Indonesia. Dari sisi popularias, follower channel Youtube mereka masing-masing sudah mencapai angka jutaan.

Jumlah yang sangat fantastis dibanding follower media sosial kita yang masih sangat tragis dan kadang suka mengemis, "Folback dong, kakak!"

Acara siaran langsung hajatan lamaran ini pun mendapat sambutan pedas dari Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setidak ada lima keberatan KNRP atas acara lamaran ini. Dua di antaranya adalah acara hajatan lamaran ini tidak mewakili kepentingan publik dan menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan pribadi.

Saya tak hendak membahas perdebatan KNRP dan KPI ini atau membahas soal hajatan lamaran ini. Sebab, siaran langsung hajatan artis baik lamaran maupun pernikahan bukan hanya sekali ini terjadi di negara kita. Sudah berkali-kali. Tetapi, saya lebih ingin membaca zaman dan bagaimana kita menyikapinya.

Sebenarnya ada gejala apa pada bangsa ini yang membuat perputaran kehidupan kita seolah terjebak dengan kehidupan hajatan para artis ini?

Frekuensi publik kita seolah dijajah oleh siaran langsung hajatan artis atau sensasi selebritas, yang entah apa faedahnya buat kita.

Gejala selebritisasi

Sama halnya dengan globalisasi atau kolonialisasi, selebritisasi merujuk pada gejala perubahan sosial dan budaya yang disebabkan oleh selebritas. Istilah ini dilontarkan pertama kali oleh Joshua Gamson pada 1994.

Gejala ini marak diteliti oleh peneliti dari dunia persilatan kajian budaya dan ilmu komunikasi. Gejala selebritisasi yang menjangkiti sebuah masyarakat mengindikasikan adanya perubahan struktural dalam pola kehidupan masyarakat.

Logika selebritas tampak yang menjadi mesin dalam roda gejala ini. Beberapa area kehidupan yang terjajah oleh logika selebritas kebanyakan disebabkan oleh informasi media yang overload dan sekaligus adanya perlombaan mendapatkan atensi publik.

Logika selebritas ini adalah menjadikan emosi dan dramatisasi menjadi strategi dalam mendapatkan atensi publik. Sebab, ini teknik yang paling mudah dalam komunikasi dari pada pendekatan edukatif yang kadang harus membuat orang berpikir.

Logika selebritas ini sangat mudah untuk dilengketkan dengan produk, merek, dan persona individu.

Pada akhirnya, seperti kata Paul Hewer dan Douglas Brownlie, selebritisasi selalu berujung pada tujuan marketing. Alias, ujung-ujungnya duit.

Ke mana bergesernya bangsa ini?

Dari siaran langsung hajatan artis di Indonesia yang sudah berkali-kali terjadi, setidaknya kita bisa melihat ke mana arah zaman ini.

Melalui gejala selebritisasi, ke mana bangsa Indonesia sedang bergeser? Kira-kira beginilah jawabannya.

1. Demokratisasi popularitas

Andy Warhol sejak tahun 1968 sudah memprediksi bahwa suatu saat, setiap orang akan mampu menjadi terkenal di dunia hanya dalam 15 menit. Kini, prediksi itu benar.

Ada fenomena media sosial saat ini yang mempermudah akses orang untuk menaiki anak tangga popularitas secara instan. Seperti Atta Halilintar yang memiliki atribut khas, berupa prank atau ngerjain orang dan istilah "Ahsiap!" mampu merebut perhatian puluhan juta follower.

Di Indonesia, selebritas kini tidak lagi dilihat dari prestasi yang mereka buat, tetapi dari atribut apa yang bisa ia tawarkan bagi publik dan apakah ia bisa menarik atensi publik dengan cara apapun atau istilah sekarang, "Kulakukan apa pun demi konten."

2. Diversifikasi pasar

Indikator kedua zaman ini adalah adanya diversifikasi selebritas yang memenuhi supply and demand dari kebutuhan publik dan keterwakilan mereka.

Contohnya adalah Didi Kempot, yang bisa mewakili suara Jawa pinggiran. Ada pula Daniel Mananta, yang mewakili suara keturunan Tionghoa yang cinta Indonesia. Segmen pasar Indonesia menunjukkan adanya makin banyak keragaman.

Ini sebenarnya potensi bagi konten baru yang lebih positif. Jika konten positif bisa masuk ke pusaran supply and demand, ia akan dapat diterima oleh suatu jenis pasar yang menginginkannya. Misalnya konten komedi Standup oleh Trevor Noah yang menawarkan sudut pandang antarbudaya dan hubungan antarras.

Konten ini viral dan Trevor pun sukses di Amerika Serikat sebab selain bermutu, ia bisa mengkritik praktik sosial dengan cara yang jenaka.

3. Migrasi media

Migrasi ini adalah proses dimana selebritas, dengan menggunakan otonominya, berpindah dan mengembangkan aktivitas lain di media lain.

Migrasi ini bisa dilihat saat selebritas banyak yang merambah dunia bisnis kuliner seperti Ruben Onsu atau Ari Lasso yang mulai turun gunung membuat channel Youtube. Beberapa artis lain mulai membuka akun di TikTok.

Migrasi ini dilakukan untuk menjaga fan base mereka yang juga bermigrasi dari media satu ke media lain.

Coba cek, berapa banyak generasi Z yang ada di Facebook? Sedikit sekali. Mereka sudah berpindah ke media lain. Itu sebabnya selebritas pun bermigrasi.

Adaptif adalah kunci

Lalu, apa yang harus dilakukan? Dari gejala ini sebenarnya ada kesempatan, tidak hanya kesempitan.

Pertama, gejala ini menunjukkan bahwa opsi bagi orang untuk berkarya dan disorot oleh pasar yang tepat makin lebar, mudah, dan mampu diprediksi.

Kedua, arena bertarung untuk menawarkan konten mendidik atau konten receh terbuka lebar untuk baku hantam.

Publik yang membutuhkan keterwakilan suara maupun konten spesifik juga akan mudah menggerombol dan mengamplifikasi orang atau konten yang menurut mereka menyuarakan keinginannya.

Ketiga, opsi pada setiap generasi akan berbeda tergantung medianya dan ke mana mereka bermigrasi.

Pemasar atau orang marketing mungkin jadi lebih mudah mengidentifikasi spesies media yang tepat sesuai generasi penggunanya.

Dalam hal ini, adaptif dan kecepatan bertindak dalam menyikapi zaman menjadi keterampilan yang sangat penting. Tidak perlu menunggu yang berwenang seperti KNRP atau KPI untuk bertindak pada acara hajatan artis seperti pada acara lamaran ini.

Mereka yang ingin media tidak lagi dijajah oleh siaran tidak berfaedah, harus juga proaktif untuk menawarkan konten bermutu dengan cara yang menarik dan atraktif.

Para selebritas yang memiliki nilai inspiratif, guru atau dosen yang ingin sharing ilmu, dan siapa saja yang berniat mengisi wacana publik dengan hal yang bermutu harus mulai adaptif pada gejala zaman ini.

Kesempatan terbuka lebar untuk beradaptasi pada arus popularitas, diversifikasi pasar, dan migrasi media agar bisa mengikuti gelombang pergeseran zaman.

Seperti lirik lagu Peraukertas:
"Berhenti di sini bukan opsi,
atau pula negosiasi,
hanya ada satu pilihan.
Adaptasi
atau
Mati"

Desideria Cempaka Wijaya Murti, SSos, MA, PhD
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi