Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 9 Mar 2021

Platform publikasi karya akademik dari akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta untuk khalayak luas demi Indonesia yang semakin maju.

Tumbuh bersama kekuatan mimpi perempuan Indonesia

Mimetisme Media dalam Pertunangan Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah

Baca di App
Lihat Foto
Dokumen DnD Wedding Organizer
Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah, didampingi oleh Krisdayanti dan Yuni Shara usai menggelar acara lamaran di hotel Intercontinental, Jakarta Selatan, Sabtu (13/3/2021).
Editor: Ana Shofiana Syatiri

SURAT panggilan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada RCTI atas siaran langsung pertunangan Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah sempat menjadi trending topik di google trend pada Senin (15/3/2021).

Dalam berita yang dilansir dari Kompas.com (13/3/2021), KPI menemukan bukti tayangan dalam flyer yang beredar di media sosial dan terbukti melanggar UU Pasal 36 serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).

Dalam poster tersebut, pihak RCTI akan menanyangkan acara pernikahan Atta-Aurel dari proses lamaran hingga akad nikah selama 4 hari.

Di sisi lain, RCTI membantah telah melakukan pelanggaran. Group Corporate Secretary Director MNC Group Syafril Nasution menyatakan, penayangan tersebut untuk memenuhi kebutuhan pemirsa.

Ia juga menambahkan bahwa animo pemirsa tinggi dalam acara tersebut dan berdampak positif bagi pemirsa.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Atta-Aurel mengingatkan kita pada kasus pernikahan Raffi Ahmad- Nagita Slavina yang disiarkan langsung oleh Trans TV selama 2 hari berturut-turut dengan durasi 14 jam.

KPI pun memutuskan untuk memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis agar Trans TV tidak mengulang kesalahan serupa.

Gejala mimetisme media

Pertunangan Atta-Aurel terbukti menyedot perhatian publik. Publik berlomba-lomba mencari berita di media mengenai berita pertunangan mereka.

Dari observasi penulis, ketika menuliskan keyword "pertunangan Atta-Aurel" dalam pencarian Google, media online di Indonesia, hingga kemarin (15/3/2021), berlomba menyuguhkan angle yang berbeda-beda dari dua sosok tersebut.

Ada yang menyoroti soal protokol kesehatan dalam pertunangan, Krisdayanti yang hadir, orangtua Atta yang tidak hadir, teguran KPI, ulah netizen, artis yang hadir, dan angle "menarik" lainnya. Tentu saja, angle-angle ini dibalut redaksi dengan judul yang bombastis, yang membuat penonton penasaran.

Pemberitaan Atta-Aurel menjadi bukti bahwa media di Indonesia tengah mengalami gejala mimetisme.

Mimetisme (Haryatmoko, 2007) adalah gairah yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, seperti sangat urgen, bergegas meliput kejadian karena media lain, terutama yang menjadi acuan, menganggapnya penting.

Menurut penulis, pemberitaan Atta-Aurel ini menjadi contoh mimetisme yang saat ini tengah dinikmati oleh publik. Media di Indonesia berlomba-lomba menanyangkan berita Atta-Aurel demi kebutuhan rating.

Kata "bergegas" dalam mimetisme Atta-Aurel, karena pelaku media menilai media-media besar atau yang menduduki ranking atas Alexa.com turut menyiarkannya.

Saya pun teringat ketika berdiskusi dengan salah satu pelaku media lokal di Yogyakarta. Ia bercerita, ketika media besar menayangkan sebuah topik tertentu dan menjadi trending, maka medianya pun harus membuat berita yang sama. Meski topiknya receh, asal trending topik, ya harus dibuat beritanya, begitulah ungkapannya kala itu.

Menurut penulis, berita Atta-Aurel, dalam konteks jurnalistik, tidak berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Artinya, saya pun mungkin tidak tertarik melihat tayangan ini.

Hanya saja, bisa dihitung pula yang merasa seperti saya. Namun tetap fakta membuktikkan, bahwa masyarakat menyukai tontonan ini. Buktinya jadi trending topic!

Jadi kalau merujuk kutipan pihak RCTI, benar juga memang masyarakat membutuhkan berita Atta-Aurel. Kebutuhan ini merujuk pada kebutuhan hiburan atau relaksasi bagi masyarakat.

Pasar jadi tujuan utama

Pasar menjadi target utama dalam kerja media Indonesia. Dalam konteks manajemen media, media menggunakan pendekatan pasar dalam kinerjanya. Pendekatan pasar berdasar pada dinamika kebutuhan permintaan dan penawaran.

Dalam kasus Atta-Aurel, hukum permintaan penawaran ini nyata terlihat. Masyarakat membutuhkan sesuatu yang berbau receh dan media menyediakannya.

Dari sisi konsumen, masyarakat saat ini membutuhkan konten yang tidak serius karena penat dengan hal-hal serius.

Saya pun teringat ketika bertanya dengan mahasiswa saya yang sebagian besar masuk generasi milenial, konten receh selalu dicari karena menjadi hiburan bagi mereka.

Ciri mereka mencari konten receh adalah dengan mengeklik berita-berita ringan yang berjudul clickbait (menjebak).

Dari sisi media, permintaan klik ini terekam dalam pencarian Google, dan tren kesukaan masyarakat bisa terlihat dari sana. Media otomatis mencari sesuatu yang tengah tren dan memberikan berita itu pada khalayak.

Ketika banyak yang mengklik, tentu saja media akan menawarkan kembali berita yang sama dengan angle yang berbeda. Hal ini tentu memberikan keuntungan bagi media.

Pendekatan pasar merespons kondisi masyarakat saat ini. Mau tidak mau bila tidak merespon kondisi, media bisa kewalahan dalam mengejar pendapatannya. Lebih lagi di era pandemi ini, di mana media perlu mencari strategi tepat untuk hidup.

Dalam kasus Atta-Aurel, media menjual selebritas untuk mendapatkan keuntungan atau kita sebut sebagai komodifikasi (mengubah nilai guna menjadi nilai jual).

Komodifikasi nyata terlihat karena kita ketahui bahwa Atta adalah seorang Youtubers top di Indonesia dengan banyak follower. Media memanfaatkan Atta dan followernya untuk mendapatkan rating tinggi.

Kode etik dipertaruhkan

Kode etik jurnalistik seringkali menjadi terabaikan. Hanya demi keuntungan semata, media lupa bahwa ia sebenarnya harus tunduk pada kode etik.

Melihat kasus Atta-Aurel dan topik selebritas lainnya yang terjadi di Indonesia, pelanggaran kode etik ini seolah-olah menjadi hal yang biasa, dan bisa terus dilakukan.

Penulis melihat bahwa sanksi KPI yang berupa teguran tertulis seolah-olah tak berguna. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.

Mestinya sanksi ini menjadi refleksi bagi media untuk terus memperbaiki kualitas berita/siarannya. Kode etik perlu tetap dijunjung agar kualitas berita/siaran media Indonesia benar-benar baik.

Literasi media jadi penting

Literasi media atau bahasa awamnya kritis terhadap media menjadi hal yang patut dimiliki oleh khalayak saat ini. Di era saat ini, khalayak dipertontonkan konten seragam yang cenderung bersifat menghibur.

Dalam konteks literasi, khalayak diharapkan mampu menganalisis apakah sebuah berita memiliki dampak bagi publik yang lebih luas.

Konten receh memang tidak bisa dihindarkan,hanya saja pertanyaannya, apakah kita sebagai konsumen mampu bersikap atas konten receh ini?

Olivia Lewi Pramesti
Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi