JAKARTA, KOMPAS.com - Pelukis senior Eko Nugroho membagikan ceritanya setelah puluhan tahun bergelut di dunia seni, khususnya seni rupa.
Berbincang dengan Pemimpin Redaksi Kompas.com, Wisnu Nugroho, Eko membeberkan fakta di balik hidup seorang pelukis hingga popularitas yang kadang justru jadi masalah bagi para seniman.
Berikut beberapa fakta yang dirangkum Kompas.com.
Risiko di kalangan pelukis
Di kalangan pelukis, menurut Eko, plagiarisme masih menjadi masalah sampai saat ini.
Eko menilai, seni rupa adalah salah satu ranah karya yang sulit digali, baik secara ide maupun visualisasinya di atas kanvas.
Baca juga: Menjadi Ayah Sekaligus Pelukis, Eko Nugroho: Seniman Tak Bisa Menyelesaikan Masalah Seorang Diri
"Dulu sebelum bom Bali, seniman Yogya itu booming. Saya ada di situ. Saya distribusikan ide kerajinan ke pengepul dan dijual. Tapi ya risiko seniman rupa itu, ide mudah dicuri dan dijual murah," ujar Eko dikutip dari kanal YouTube Kompas.com, Selasa (4/5/2021).
Eko merasa iba. Menurutnya, ada begitu banyak seniman seni rupa yang menggali ide agar ranah kesenian ini tidak stagnan.
Maka, Eko menekankan pentingnya ketegasan pemerintah dalam menegakkan peraturan soal HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) bagi para seniman.
Baca juga: Eko Nugroho Bicara soal Masalah Plagiarisme di Kalangan Pelukis
Seniman tak bisa hidup sendiri
Untuk mengantisipasi risiko dan kendala lain di ruang kreatifnya, Eko kini membentuk tim kecil yang bekerja bersamanya.
Tim kecil tersebut akan bergerak di studio lukis Eko dan bertugas di bagian pendataan, dokumentasi, hingga pemugaran karyanya.
Menurut Eko, seniman tentu saja tak bisa hidup sendiri.
Baca juga: Eko Nugroho: Seniman Itu Enggak Bisa Hidup Sendiri
"Saya sadar di situasi seniman, dia hanya fokus berkarya. Artinya dia ingat itu, tapi untuk mencari, mendatanya itu butuh effort lebih juga," ujar Eko.
Betah di kampung halaman
Pelukis berusia 43 tahun ini merasa betah berkarya di kampung halamannya, Yogyakarta.
Bagi Eko, Yogyakarta adalah laboratorium kesenian dan seni rupa.
"Yogyakarta itu unik, bukan sekadar geografis, suasananya itu di sini seni rupa. Yogya itu laboratorium seni rupa. Laboratorium kesenian itu di Yogyakarta," kata Eko.
Jika disuruh memilih, Eko dengan tegas tetap menjadikan Yogyakarta sebagai tempatnya berkesenian dibandingkan Jakarta.
Baca juga: Betah di Kampung Halaman, Eko Nugroho: Yogyakarta Itu Laboratorium Seni Rupa
Namun, Eko tidak menutup kemungkinan untuk tampil di ibu kota.
Jakarta, bagi Eko, adalah tempatnya mengembangkan profit dan dan pendistribusian karya jika dirinya sudah benar-benar siap.
Popularitas
Dengan perkembangan digital, hasil karya sekarang bisa diapresiasi lewat medium yang lebih luas dan mudah.
Eko sangat bersyukur dengan perkembangan digital, karyanya bisa lebih mudah dikenal dan menyebar luas.
"Ini masih proses, kita mengalaminya dan menyenangkan. Saya juga tidak dirugikan dengan situasi ini, malah diuntungkan karena makin meluas," ucapnya.
Baca juga: Eko Nugroho: Popularitas Itu Dibuat Sendiri, tapi Juga Bisa Jadi Bumerang
Namun, pelukis yang pernah berkolaborasi dengan brand Louis Vuitton ini menyebut, popularitas sendiri kini sebuah paradoks.
"Popularitas itu kamu bikin sendiri. Popularitas itu bisa jadi kendaraanmu. Tapi juga jadi bumerangmu. Katakanlah, persaingannya akan di situ," tutur Eko Nugroho.
Selain berkolaborasi dengan brand Louis Vuitton, pelukis kelahiran tahun 1977 ini juga pernah terlibat di Lyon Biennal (2009) hingga 55th International Art Exhibition of the Venice Biennale (2013).
Baca juga: Kolaborasi dengan Louis Vuitton, Eko Nugroho: Saat Itu, Aku Seperti Ada di Ujung Pedang
Nama Eko Nugroho awalnya dikenal lewat karya muralnya sebagai cara untuk mengkritik situasi sosial, khususnya pada masa pasca jatuhnya rezim Soeharto.