Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Penulis & Wartawan
Bergabung sejak: 21 Apr 2020

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Tumbuh bersama kekuatan mimpi perempuan Indonesia

Anti-perundungan dalam Novel Keigo Higashino

Baca di App
Lihat Foto
DOK. LEILA S CHUDORI
Coming Home with Leila Chudori feat Petty Fatimah
Editor: Laksono Hari Wiwoho

SEORANG novelis best seller Jepang, Kunihiko Hidaka, ditemukan tewas terbunuh di rumahnya tepat sehari sebelum keberangkatannya ke Kanada.

Kematiannya menggemparkan dunia industri buku, pembaca dan kritikus karena Hidaka memang seorang penulis yang namanya sedang melesat.

Syahdan kawan Kaga, seorang penulis cerita anak bernama Osamu Nonoguchi menjadi salah satu saksi peristiwa ini. Menurut pengakuannya, Nonoguchi sempat mengunjungi rumah Hidaka dan berbincang dengan Hidaka pada hari yang muram itu.

Peristiwa pembunuhan yang terlihat "sederhana" ternyata membawa Detektif Kyochiro Kaga kepada perjalanan panjang yang rumit dan berlapis-lapis hingga ke masa lalu perkawanan antara kedua penulis itu.

Inilah yang kita temukan dalam novel "Malice" karya Keigo Higashino yang sudah diterjemahkan menjadi "Catatan Pembunuhan Sang Novelis" diterbitkan Gramedia Pustaka Utama.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bersama Pemimpin Redaksi Femina Petty Fatimah, program podcast "Coming Home with Leila Chudori" membahas betapa berbeda dan uniknya novel karya Keigo kali ini.

Jika pada karya-karya detektif karya Keigo lainnya--baik seri Detektif Kaga maupun Detektif Galileo--lazimnya kita membaca kisah prosedural kejar mengejar jejak pembunuh gaya "whodunnit", maka novel "Malice", penulis Keigo Higashino memilih pendekatan yang berbeda.

Pertama, seperti yang diindikasikan Petty Fatimah dalam perbincangan podcast, novel ini menggunakan dua sudut pandang atau dua suara, yakni suara Osamu Nonoguchi yang memberikan kesaksian secara terbuka dan blak-blakan; kedua suara sang detektif Kaga.

Keigo sengaja membedakan gaya bahasa mereka sesuai karakter masing-masing. Nonoguchi sebagai seorang penulis cerita anak cenderung menggunakan kalimat yang sederhana dan pendek, sementara Detektif Kaga menggunakan bahasa dewasa yang lebih kompleks dan penuh analisis.

Hal berikut yang membedakan novel ini dengan novel detektif lainnya adalah karena sejak awal, penulisnya sudah membuka siapa pembunuhnya.

Meski ini bukan ide original, namun teknik seperti ini jarang menjadi pilihan karena pembaca (atau penonton film detektif) lebih suka menemukan pembunuhnya pada akhir cerita.

Keigo Higashino sengaja memilih format seperti ini karena dia ingin menekankan "mengapa" dan "bagaimana" pembunuhan itu terjadi.

Soal "mengapa" peristiwa ini bisa terjadi akhirnya membawa Detektif Kaga dan pembaca ke puluhan tahun silam, ketika kedua penulis itu masih duduk di bangku SMP.

Yang lebih menarik lagi, novel ini juga membuka sebagian masa lalu pribadi Detektif Kaga yang penuh trauma. Di masa Keigo masih berprofesi sebagai guru, dia pernah merasa gagal menghentikan kasus perundungan antar muridnya.

Tema bullying, perundungan serta plagiarisme yang berakhir pada pembunuhan adalah hal yang penting dibahas secara terbuka, karena ini persoalan-persoalan yang terjadi secara universal, termasuk di Indonesia.

Petty menunjuk kasus plagiarisme yang dibahas pada babak pertengahan novel "Malice, sementara kasus perundungan menjadi salah satu tema penting yang menjadi "kampanye" penulisnya karena bullying menjadi bagian terburuk dalam kehidupan anak-anak remaja Jepang (dan juga Indonesia) yang membahayakan jiwa korbannya.

Di dalam podcast episode ini, pembahasan perundungan menjadi dominan karena hal itu juga masih terjadi di Indonesia baik di sekolah-sekolah, maupun di kampus-kampus dan bahkan di antara masyarakat profesional yang sudah dewasa pun juga masih saja terjadi kejahatan itu.

Novelis Keigo Higashino, salah satu novelis detektif Jepang yang paling laku keras dan menerima banyak penghargaan ini disetarakan dengan penulis semacam James Patterson dan Tom Clancy.

Dengan "Malice", dia bukan saja mengejutkan kita tentang identitas sang pembunuh seperti novel-novel lainnya, melainkan Keigo kini membuat pembacanya merenung: seberapa banyak kita ikut berdosa karena membiarkan mereka yang lemah diinjak-injak dan dirundung kelompok penindas yang sebetulnya pengecut itu?

Keigo menggugat dengan keras dalam novel ini: jika kita hanya diam ketika mengetahui adanya perundungan, bully dan korban yang diinjak-injak harkatnya (baik secara fisik, maupun virtual), kita juga ikut berdosa.

Diskusi seru ini bisa Anda ikuti dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori" di Spotify.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi