Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 20 Mar 2020

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Tumbuh bersama kekuatan mimpi perempuan Indonesia

Belajar dari Drama Korea

Baca di App
Lihat Foto
Soompi
Drama School 2021
Editor: Laksono Hari Wiwoho

Oleh: Ninawati

ANGGAPAN bahwa film adalah sekadar penjual mimpi tampaknya akan semakin ditinggalkan. Semakin banyak film yang memotret realitas keseharian. Artinya, film bukan hanya sarana hiburan atau penjual mimpi belaka.

Demikian pula tayangan drama Korea (drakor) yang tengah menjadi fenomena dunia, termasuk digandrungi pula oleh penonton Indonesia. Drakor yang tidak hanya dinikmati secara langsung, tetapi juga melalui berbagai platform streaming.

Menariknya, drakor tidak hanya memotret realitas keseharian, tetapi juga bisa digunakan sebagai referensi publik dalam berinteraksi dengan realitasnya. Misalnya saja, drakor dipakai sebagai terapi untuk menjaga kesehatan mental.

Adalah Van Ta Park, seorang profesor pengajar di University of California, San Fransisco, yang melakukan studi dengan menggunakan drakor untuk terapi kesehatan mental.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi itu memakai drama School 2013 yang dibintangi Jang Nara, Choi Daniel, Lee Jong-Suk, and Kim Woo-Bin, untuk mengetahui apakah pengetahuan dan sikap penonton tentang bullying terhadap penderita kesehatan mental meningkat setelah menonton film itu.

Hasilnya, sebagaimana dilansir Forbes 21 Januari 2021, menunjukkan, pengetahuan penonton meningkat. Selain itu, penonton dapat mengkaitkannya dengan situasi kesehatan mereka sendiri.

Dalam kesempatan yang lain, Park meminta partisipan untuk menonton beberapa drama Korea termasuk It's Okay That's Love yang dibintangi Jo In-Sung dan Gong Hyo-Jin. Di situ ada adegan di mana salah satu tokohnya menjadi korban bully karena memiliki gangguan kesehatan mental.

Semula partisipan tidak mengetahui si tokoh memiliki gangguan mental. Mereka juga menyatakan akan melakukan perundungan seperti digambarkan di film itu. Artinya, mereka juga menyalahpahami si tokoh yang memiliki gangguan kesehatan mental.

Namun setelahnya, pemahaman partisipan berubah. Bahkan mereka mau berbagi pengalaman mereka sendiri dalam menjaga kesehatan mental.

Menurut Park, ini mengindikasikan bahwa drama Korea dapat mengubah persepsi seseorang tentang kesehatan mental. Mereka juga akan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, yakni mencari bantuan terapis.

Masih menurut Forbes, ada pula yang dilakukan Jeanie Y Chang. Chang adalah terapis pernikahan dan keluarga yang memanfaatkan drakor dalam melayani pasien-pasiennya.

Chang menggunakan sejumlah drama Korea sebagai terapi kesehatan mental. Misalnya, Reply 1988 yang dibintangi Park Bo-Gum, Ryu Jun-Yeol, dan Hyeri. Di situ digambarkan masalah dalam hubungan keluarga.

Menurut Chang, film ini dapat membantu orang tua yang memiliki masalah dalam berkomunikasi dengan anaknya.

Di film ini antara lain ada sebuah adegan yang sangat bagus yang menggambarkan bahwa anak-anak (sebenarnya) tidak bermaksud tidak menghormati orangtuanya.

Apa yang terjadi di drakor ini tentunya mematahkan anggapan bahwa film hanyalah produk industri hiburan.

Hiburan yang menurut Kayam (1981) adalah khas gejala masyarakat kota modern bermakna sesuatu yang sanggup melambungkan khalayak ke dunia yang merupakan alternatif dari dunia nyata yang mereka geluti sehari-hari.

Artinya, dengan film, khalayak penonton kemudian dimungkinkan untuk berkhayal, bermimpi ke dunia alternatif. Film jadinya tidak lebih sebagai media yang menyajikan dan menjanjikan impian-impian.

Impian yang ditawarkan di film bisa lewat macam-macam hal. Tidak saja ketampanan dan kecantikan artis-artisnya, tetapi juga pakaian, aksesori dan gaya hidup. Juga tema, jalan cerita plus ending-nya. Singkat cerita, apa pun yang berbeda atau bahkan tidak ada di keseharian.

Namun anggapan seperti itu tampaknya sudah tidak memadai lagi. Sebagaimana juga dicatat Kayam (1981), bahwa kebutuhan masyarakat kota berkembang. Mereka tidak melulu butuh impian. Mereka juga butuh sesuatu yang lain.

Selain itu, persaingan film sendiri dalam berebut khalayak juga makin ketat. Ini membuat tema film semakin variatif. Tak hanya impian yang disodorkan ke khalayak, tapi juga semakin banyak tema-tema keseharian diangkat ke film.

Di tengah banyaknya film yang mengangkat tema keseharian itulah belakangan muncul drakor yang menjadi fenomena di mana-mana.

Drakor yang juga dipakai untuk belajar menyikapi realitas keseharian, yakni sebagai terapi kesehatan mental.

Begitulah drakor. Dengannya, penonton tak hanya diperkenalkan dengan realitas, tapi juga diajak belajar bagaimana memelihara kesehatan mental.

Ninawati
Dosen Fakulas Psikologi Universitas Tarumanagara

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi