Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 26 Agu 2022

Dosen Universitas Pelita Harapan

Tumbuh bersama kekuatan mimpi perempuan Indonesia

Hegemoni Industri Sinema Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/FER GREGORY
Ilustrasi sorot lampu proyektor dalam gedung bioskop, salah satu contoh efek Tyndall di kehidupan sehari-hari.
Editor: Sandro Gatra

FILM adalah medium penting untuk mengisahkan cerita kultural dan politis. Melalui konstruksi narasi, film dapat menciptakan pedagogi publik.

Hooks (1996) mengatakan,“mungkin bukan maksud pembuat film untuk mengajari penonton apa pun, tetapi itu tidak berarti bahwa pelajaran tidak dipetik”.

Film adalah elemen soft power, sebuah alat hegemoni budaya yang bisa menghadirkan ide tentang apapun termasuk gagasan sosial politis seperti keadilan sosial. Salah satu contoh adalah November 1828 (1979).

Film Teguh Karya ini membenturkan nilai-nilai Jawa dan nilai-nilai kolonial Barat. Teguh menggambarkan perlawanan rakyat terhadap kolonialisme Belanda selama Perang Jawa (1825-1830).

Sebagai sebuah produk budaya, film bisa berperan sebagai medium propaganda dan punya sifat hegemonik.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perihal terakhir ini, kekuatan hegemonik, pernah disampaikan Antonio Gramsci (1891-1937). Ia mengatakan bahwa sebuah kekuasaan dapat diraih melalui kekerasan atau melalui persetujuan bersama.

Cara yang terakhir ini dipandang dapat dilakukan secara efektif jika pelaku, pihak yang berkuasa, menempuh jalur kebudayaan.

Pembicaraan tentang film sebagai alat propaganda akan membawa kita kepada Teori Kritis, teori yang dilahirkan oleh Institute for Social Research di Jerman sebagai sebuah kritik atas pemikiran Karl Marx.

Teori ini mengkaji fenomena sosial secara ilmiah dan kritis. Sebuah penelitian punya potensi untuk mengintervensi pembaca sehingga mereka bisa memiliki paradigma baru lalu mengubah praktik.

Dalam konteks tulisan ini, mereka yang berpotensi mengubah kesadaran penonton adalah para pembuat film. Kendaraan untuk melakukan revolusi kesadaran ini adalah kesenian.

Salah satu tokoh Teori Kritis, Adorno, berpendapat bahwa industri budaya menjual produk budaya sebagai komoditi dan sinema adalah sektor sentral industri budaya dan hal ini amat berkaitan dengan kekuasaan.

Oleh karena itulah, film punya kekuatan untuk jadi artikulator penguasa, menjadi alat diseminasi ideologi, dan mampu reproduksi kekuatan sosial yang dominan.

Hal ini terjadi karena kontrol dan dominasi terhadap massa adalah salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh kaum kapitalis atau para pencipta industri budaya.

Kita bisa saksikan film Janur Kuning yang merepresentasikan Soeharto sebagai pejuang dalam perang gerilya yang dipimpin Jenderal Sudirman.

Menurut sejarawan Avi Adam, Soeharto diketahui tengah makan soto dengan anak buahnya saat serangan itu dimulai.

Sedangkan film Pemberontakan G 30 S PKI mengandung cukup banyak manipulasi sejarah.

Dari luar Indonesia, kita bisa ambil Disney sebagai contoh. Perempuan dalam film-film Disney digambarkan sebagai sosok yang cantik, putih, dan langsing.

Dalam sebuah riset, para gadis imigran Korea yang berusia lima hingga delapan tahun diwawancarai tentang persepsi mereka mengenai perempuan yang ada dalam film Disney.

Ternyata, mereka tertekan menghadapi konstruksi kecantikan Disney dan merasa tidak nyaman akan diri mereka sendiri.

Namun, perlawanan terhadap kemapanan konsep gender bisa kita temui juga dalam film Disney, yaitu Frozen.

Disney tetap menyuguhkan peran gender tradisional, namun di saat yang sama juga menyajikan peran gender yang menjauh dari stereotipe.

Tokoh Anna dan Elsa dalam Frozen merefleksikan post feminisme dan menggugat kemapanan stereotipe tentang gender.

Adapun resistensi dalam industri film di Indonesia terhadap kekuatan hegemonik dan represi pemerintah terjadi pada Oktober 1999.

Saat itu, peraturan perfilman membatasi kesempatan bagi pembuat film baru untuk berkarya. Peraturan-peraturan ini disusun oleh Karyawan Film dan Televisi (KFT), satu-satunya organisasi profesi perfilman pada masa itu.

Negara melarang adanya lebih dari satu organisasi profesi untuk memudahkan pengendalian. Mekanisme sensor sangatlah ketat karena pembuatan film diperlakukan pemerintah sebagai bagian dari pembangunan sosial-politik Indonesia.

Saat itu, tiga belas orang pembuat film Indonesia menandatangani Manifesto Sinema. Gerakan ini didahului oleh salah satu penggagas Manifesto Sinema, Riri Riza, melalui pemutaran Kuldesak pada 1998. Proses pembuatannya ketika itu dianggap ilegal.

Kuldesak menjadi film Indonesia pertama yang kembali tayang di bioskop setelah industri film Nusantara mengalami penurunan produksi selama lebih dari satu dekade.

Jatuhnya Soeharto membuat seniman makin leluasa berkarya, tapi mereka tak langsung bisa melawan karena berkarya perlu kapital serta waktu.

Kondisi distribusi film juga tak serta-merta membaik dengan menangnya rakyat pada 1998. Namun, jalan untuk melawan hegemoni setelah itu tentu relatif lebih lebar dan lancar.

Sineas melawan kemapanan dalam berbagai aspek: Kemapanan politik, konstruksi kecantikan, kekerasan domestik, dan lain-lain.

Riri Riza membuat film Gie (2005) yang berkisah tentang perlawanan Soe Hok Hie terhadap pemerintahan Orde Lama serta awal pemerintahan Orde Baru.

Standar kecantikan yang menyiksa perempuan, yaitu harus langsing dan untuk itu mesti diet sehingga wajar bagi perempuan untuk tak bisa sepenuhnya menikmati hidup, direkonstruksi oleh Ernest Prakasa lewat Imperfect (2019).

Gie dinominasikan untuk 11 kategori Piala Citra dan meraih tiga di antaranya. Selain memperoleh penghargaan dari dalam negeri, Imperfect juga meraih Asian Academy Creative Awards.

Adorno berpendapat bahwa seni berbeda dari industri budaya. Seni mampu memberikan hal yang tidak diberikan oleh industri budaya: Pengalaman baru yang autentik dan bernilai.

Budaya pada akhirnya menjadi sebuah industri karena lebih mementingkan profit besar. Industri budaya telah membuat produk budaya jadi terlihat serupa. Nilai-nilai artistik seni direduksi menjadi nilai komersial.

Padahal menurut Adorno, seni adalah suatu bidang yang autentik dan imanen yang tidak dapat dijelaskan dengan referensi untuk sebuah tujuan, misalnya, lembaga politik, agama, atau ekonomi.

Lebih lanjut lagi Adorno mengatakan bahwa sebagai dampak kapitalisme, mereka yang melawan berpotensi akan mengalami kemiskinan.

Konsumen, para pekerja, karyawan yang digaji, petani, serta borjuis kecil, tidak dapat menolak gagasan apa pun yang ditawarkan kaum kapitalis kepada mereka (Khandizaji, 2019).

Pekerja seni di industri budaya dilukiskan Adorno seperti buruh pabrik yang bekerja sesuai dengan standar dan aturan dari pemilik modal.

Bagaimanapun, dari uraian di atas kita telah melihat bahwa sebagian sineas Indonesia mematahkan teori Adorno tersebut.

Mereka hidup layak secara ekonomi dan membuktikan bahwa seniman yang hidup dalam industri budaya bisa memiliki otentisitas dalam berkarya.

Mereka membuktikan bahwa mereka bukan hanya sosok-sosok yang hidup dari dunia film melainkan juga sosok-sosok yang menghidupi dunia film.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi