Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 20 Mar 2020

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Tumbuh bersama kekuatan mimpi perempuan Indonesia

Identitas ala Film Ngeri-ngeri Sedap

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Imajinari
Film 'Ngeri Ngeri Sedap'
Editor: Sandro Gatra

Oleh: Ninawati*

SEOLAH tidak putus-putusnya film Ngeri-ngeri Sedap membuat kejutan. Keberhasilannya dalam menggaet rekor penonton, misalnya, adalah kejutan yang dibicarakan banyak orang. Betapa tidak?

Semula film ini ditargetkan ditonton 500.000 orang. Kenyataannya sampai dengan hari terakhirnya diputar di gedung-gedung bioskop ditonton lebih dari 2,8 juta orang.

Angka yang membuat film ini sebagai film Indonesia dengan naskah asli terlaris sepanjang masa.

Kejutan berikutnya adalah film karya Bene Dion Rajaguguk ini dipilih oleh Komite Seleksi Oscar Indonesia 2022 mewakili Indonesia bersaing dengan film dari negara lain dalam seleksi nominator Oscar 2023 untuk kategori film berbahasa asing (non Inggris), The International Featured Film.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun barangkali kejutan paling keren dari film ini adalah keberhasilannya dalam menggambarkan identitas budaya Batak. Utamanya tentang bagaimana (semestinya) menyikapi identitas budaya.

Benar, identitas memang dapat diartikan sebagai “akar” (root). Tetapi identitas dapat juga diartikan sebagai “route”.

Ia adalah peta yang ditempuh si pemilik identitas (komunitasnya) dalam berhadapan dengan permasalahannya.

Penyikapan identitas sebagai “route” inilah yang kiranya diperlukan dalam masyarakat multi-etnis seperti Indonesia.

Indonesia dikenal sebagai negeri kepulauan yang mempunyai wilayah paling luas di antara negara-negara kepulauan lainnya.

Indonesia memiliki lebih dari 205 etnis tersebar di sekitar 14.000 pulau (Warnaen, 2002). Oleh karenanya, Indonesia sering disebut sebagai negeri multi-etnis, multi-kultural.

Kondisi multi kultural itu mengandaikan masing-masing etnis memiliki kultur yang berbeda. Itu juga berarti masing-masing etnis tidak saja mempersepsikan dirinya sendiri secara beragam, tetapi beragam pula persepsi mereka terhadap pihak lain.

Menurut Roosseno (2015), persepsi kesukuan atau kedaerahan belum berubah meskipun telah ada Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 ataupun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Bagi Rooseno, Indonesia adalah suatu mozaik etnisitas, sementara kesatuan nasional masih berupa cita-cita.

Dengan keragaman seperti itu masing-masing etnis memiliki life world-nya sendiri-sendiri, yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Life world, menurut Sinaga (2012) meliputi tradisi religius kultural, ingatan kolektif, bentuk-bentuk relasi, dan nilai-nilai solidaritas yang diwariskan. Inilah yg disebut “root” dari suatu identitas budaya.

Namun dalam banyak kesempatan, root saja tidaklah cukup. Apalagi dalam masyarakat multi etnis. Dalam masyarakat seperti itu yang lebih diperlukan adalah bagaimana root dapat berdialog di tataran publik.

Menurut Sinaga (2012), dialog itu hanya dimungkinkan jika root diakui sebagai sesuatu yang tidak dengan sendirinya memadai. Root dianggap sebagai self limiting. Ia adalah sesuatu yang terbatas.

Itu tidak berarti bahwa proses dialog root di ruang publik hanya akan terjadi jika root (yang dianggap terbatas) itu ditinggalkan.

Menurut Sinaga, dalam proses dialog itu, “tradisi-tradisi kolektif tidak lantas hilang, namun dipelihara secara internal melalui proses kritis dan reflektif”.

Jadi tahapannya, pertama adalah proses pengenalan kekhasan “root” suatu identitas. Setelah itu, melalui proses kritis/reflektif, maka “root” menjadi “route” (peta/arah/jalan) bagaimana suatu komunitas ketika berhadapan dengan problem sosialnya.

Proses itulah yg digambarkan secara menarik di film Ngeri-ngeri Sedap.

Alkisah diceritakan Pak Domu yang amat kecewa pada anak-anaknya. Anak-anak ini tidak hanya tidak mau pulang ke kampung halaman, tetapi oleh Pak Domu mereka juga dianggap sudah kehilangan identitasnya sebagai orang Batak.

Si sulung yang seharusnya meneruskan garis keturunan marga – menikah dengan sesama orang Batak – malah hendak kawin dengan perempuan Sunda.

Adiknya, Gabe, memilih berkarir sebagai komedian, sesuatu yang dianggap tidak umum bagi keluarga Batak.

Sementara si bungsu, Sahat, bukannya pulang dan merawat orangtuanya, seperti mestinya bakti anak bungsu pada orangtua dalam keluarga Batak, tetapi malah memilih menetap di Yogyakarta, tempat di mana ia menghabiskan masa kuliahnya.

Hanya Sarman, anak nomor dua, satu-satunya anak perempuan -- yang merawat dan tinggal dengan Bapak dan Ibu Domu.

Lalu Pak Domu ber-"siasat”. Siasat yang didukung Bu Domu yang membuat anak-anaknya akhirnya bersedia pulang untuk mengikuti upacara adat, Sulang-sulang Pahompu, di kampung halaman.

Namun apa yang terjadi?

Tidak hanya anak-anak terlihat tidak “in” dalam mengikuti upacara penting itu, tetapi ada yang lebih gawat dari itu.

Yakni, kepulangan mereka justru menjadikan konflik mereka dengan ayahnya makin menjadi-jadi. Bahkan konflik itu meluas. Pak Domu juga berkonflik dengan Bu Domu.

Sepintas memang seperti layaknya konflik keluarga pada umumnya. Atau konflik yang terjadi ketika orangtua yang digambarkan sebagai kolot memaksa anak-anaknya untuk mengikuti kekolotan itu.

Namun yang disajikan Ngeri-ngeri Sedap tidak sesederhana itu.

Dengan jitu film ini menggambarkan konflik yang terjadi ketika identitas budaya disikapi sebagai root. Sesuatu yang dianggap final, tanpa kompromi yang diyakini Pak Domu melawan anak-anaknya. Konflik yang seakan tidak berujung dan melelahkan.

Namun secara pelahan penonton kemudian dibawa pada kesadaran baru Pak Domu. Ia mencoba memahami anak-anaknya.

Di situ, oleh Pak Domu root disikapi sebagai self limiting – sesuatu yang tidak dengan sendirinya mencukupi -- ketika ia pakai untuk memahami problem dan aneka hal yang dihadapi anak-anaknya.

Dan ketika kesadaran baru itu datang, ketika itu pula Pak Domu menemukan route berdamai dengan anak-anaknya. Juga dengan isterinya.

Route damai yang kiranya tidak hanya milik Pak Domu di film Ngeri-ngeri Sedap, tetapi niscaya juga akan ditemukan oleh siapa pun, oleh komunitas dan budaya mana pun, ketika suatu identitas tidak hanya dimaknai sebagai root belaka.

*Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi