Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Peneliti BRIN
Bergabung sejak: 3 Jan 2023

Peneliti di Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN, Mahasiswa Ph.D Media dan Komunikasi University of Malaya, Malaysia

Tumbuh bersama kekuatan mimpi perempuan Indonesia

Boikot Film A Business Proposal Indonesia, Bukan Sekadar Fanatisme

Baca di App
Lihat Foto
Dokumen Falcon Pictures
Sinopsis A Business Proposal
Editor: Sandro Gatra

FILM A Business Proposal (2025) mengalami boikot bahkan sebelum tanggal perilisannya. Penyebabnya adalah pernyataan kontroversial salah satu pemainnya, Abidzar Al-Ghifari, yang mengaku hanya menonton satu episode dari serial drama Korea Selatan Business Proposal (2022) dan menyebut penggemar budaya Korea sebagai fans fanatik (Kompas, 4/2/2025).

Pernyataan ini memicu kemarahan komunitas penggemar drama Korea dan K-Pop di Indonesia, yang kemudian berujung pada ajakan memboikot film tersebut.

Dampaknya cukup signifikan. Film ini sepi penonton dan hanya berhasil menjual kurang dari 7.000 tiket pada hari pertama penayangannya di bioskop (Media Indonesia, 7/2/2025).

Ini menjadikannya sebagai film remake drama Korea Indonesia pertama yang mengalami cancel culture di Tanah Air.

Baca juga: K-Pop: Melodi Perjuangan di Tengah Aksi Demonstrasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Stigma sebagai “fans fanatik” sering dilekatkan pada penggemar budaya pop Korea di Indonesia karena dianggap memiliki perilaku konsumtif, obsesif, bahkan agresif terhadap siapa pun yang mengkritik idola mereka. Namun, apakah label ini sepenuhnya benar?

Beberapa riset memang menunjukkan adanya perilaku fanatik dalam komunitas penggemar budaya Korea di Indonesia (Fachrosi dkk 2020, Maharani & Purnama 2024).

Namun, dalam kasus boikot film A Business Proposal (2025), tindakan ini lebih mencerminkan kekecewaan fans terhadap kurangnya profesionalisme aktor daripada sekadar fanatisme buta.

Ekspektasi dan kekecewaan

Penonton Indonesia mulai mengonsumsi drama Korea sejak awal tahun 2000-an, ditandai dengan tayangnya Endless Love (2000), All About Eve (2000), dan Winter Sonata (2002) di stasiun televisi nasional.

Tidak hanya drama Korea, K-Pop juga telah mulai dinikmati oleh penggemar musik di Indonesia sejak pertengahan tahun 2000-an melalui Super Junior, TVXQ, dan Girls Generation.

Selama mengonsumsi budaya pop Korea, fans belajar bahwa para aktor dan aktris kerap memberikan usaha terbaiknya dalam mempersiapkan peran mereka.

Mulai dari riset karakter yang mendalam hingga latihan keterampilan yang dibutuhkan agar akting mereka terlihat realistis.

Sebagai contoh, aktor Ahn Hyo Seop yang berperan sebagai Kang Tae Mo di drama Korea Business Proposal (2022) mengubah tone suaranya selama memainkan perannya (Kbizoom, 25/2/2022).

Ia dikenal sebagai aktor yang mempersiapkan perannya dengan matang mulai dari menggali sejarah karakter yang diperankan, mengubah gaya berjalan, dan cara menatap agar dapat menghidupkan berbagai karakter yang dimainkan (The Diarist, 8/10/2023).

Contoh lain, aktris Kim Tae Ri melakukan usaha keras ketika berperan sebagai Na Hee Do di drama Korea Twenty Five Twenty One (2022) dengan melakukan berbagai hal, mulai dari perawatan kecantikan agar terlihat belasan tahun lebih muda, latihan anggar selama enam bulan, dan meminta adanya pakar di lokasi syuting selama ada adegan anggar (Korea JoongAng Daily, 6/4/2022).

Baca juga: Fenomena Influencer: Mengapa Mereka Lebih Dipercaya daripada Pakar?

Hal serupa juga dilakukan oleh para idol K-Pop yang melakukan latihan menyanyi dan koreografi belasan jam, mempelajari berbagai jenis alat musik, hingga mempelajari bahasa asing sebelum mereka dianggap layak untuk debut.

Berbagai usaha masif yang ditunjukkan dari para aktor, aktris, dan idol Korea Selatan tersebut membuat fans nampaknya memiliki ekspektasi tinggi bahwa upaya serupa juga ditunjukkan oleh para pemain film A Business Proposal (2025).

Mereka ingin melihat para pemainnya untuk benar-benar menghargai karya yang mereka adaptasi.

Namun, kekecewaan fans muncul ketika aktor film remake ini dianggap tidak menunjukkan keseriusan yang sama dalam memahami karakter yang mereka perankan.

Minimnya riset terhadap karakter yang dimainkan, pernyataan yang meremehkan fans, dan kurangnya penghargaan terhadap karya asli pada akhirnya memicu efek domino mulai dari kritik hingga boikot.

Saatnya berbenah

Kasus ini memberikan pelajaran berharga bagi industri film Indonesia. Adaptasi dari film atau drama luar negeri tidak bisa dilakukan setengah hati.

Para aktor dan aktris perlu melakukan riset mendalam terhadap karakter yang mereka mainkan. Tidak hanya untuk mendalami peran, tetapi juga untuk menghormati budaya dari karya yang diadaptasi.

Selain itu, perlu menjaga profesionalitas agar tidak mengeluarkan pernyataan yang bersifat kontroversial.

Baca juga: Dari Cek Khodam hingga Dukun Korea: Mengapa Masyarakat Modern Masih Percaya Gaib?

Industri film Korea Selatan telah membangun reputasinya dengan kerja keras dan dedikasi tinggi. Jika film remake Indonesia ingin mendapatkan tempat di hati penggemar, maka standar serupa harus diterapkan.

Bukan hanya mengandalkan popularitas pemain, tetapi juga dengan menunjukkan kualitas akting yang setara dengan aslinya.

Dengan begitu, film adaptasi bisa diterima dengan baik, tanpa perlu menghadapi risiko cancel culture seperti yang dialami A Business Proposal (2025).

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi