Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tumbuh bersama kekuatan mimpi perempuan Indonesia

Butuh 10 Tahun, Film Eksil Hadirkan Suara-suara yang Nyaris Hilang dari Sejarah Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
ARSIP LOLA AMARIA PICTURES
Kuslan Budiman, eksil di Belanda, memilih tak berkeluarga karena yakin suatu hari bisa pulang ke Indonesia. Ia wafat pada 2018, tetap di negeri asing, namun dikelilingi sahabat-sahabat yang telah menjadi keluarganya.
|
Editor: Sri Noviyanti

JAKARTA, KOMPAS.com — Film dokumenter Eksil karya Lola Amaria bukan sekadar proyek film biasa. Film itu menyimpan kisah tentang sejarah yang dibungkam, trauma yang belum sembuh, dan suara-suara yang hampir hilang dari ingatan bangsa.

Sedikitnya, dibutuhkan waktu sepuluh tahun untuk menuntaskan film tersebut, mulai dari riset, produksi, hingga akhirnya tayang dan bisa disaksikan publik.

Dalam proses tersebut, Lola membawa beban bukan hanya sebagai pembuat film, melainkan sebagai penjaga cerita dari mereka yang hampir tak pernah mendapat ruang dalam sejarah Indonesia.

“Jalannya sih secara keseluruhan mulus, tapi memang sulit selama sepuluh tahun itu,” ujar Lola saat ditemui Kompas.com usai pemutaran film Eksil di Plaza Senayan, Jakarta, Jumat (2/5/2025).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesulitan itu tidak sekadar soal teknis produksi. Ia harus bolak-balik ke Eropa untuk bertemu para narasumber yang kini tinggal di luar negeri, banyak di antaranya merupakan eksil politik pasca-1965.

Baca juga: Penayangan Film EKSIL Mendapat Sambutan Hangat di Sydney Australia

Namun tantangan sesungguhnya muncul dari ketakutan dan trauma panjang yang masih melekat pada para eksil tersebut.

Mendekati mereka bukan perkara mudah. Beberapa sempat ragu karena pernah dimata-matai, dan menyimpan ketidakpercayaan terhadap proses dokumentasi.

“Semuanya sulit, termasuk masalah pendanaan karena harus bolak-balik Eropa. Mendekati narasumber juga enggak mudah karena mereka juga sangat trauma pada hal-hal tertentu. Sempat mengalami ketakutan (trust issue karena dimata-matai),” kata Lola.

“Suara-suara” yang nyaris hilang

Untuk diketahui, film Eksil menceritakan tentang nasib mahasiswa yang kehilangan kewarganegaraan Indonesia atau terbuang sejak peristiwa 30 September 1965.

Film tersebut menggali kisah para mahasiswa pada 1965 yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri berkat adanya beasiswa dari pemerintahan Presiden Soekarno.

Baca juga: Nonton Film Eksil, Mahfud Ingatkan Tragedi Kemanusiaan 65 Tak Boleh Terulang

Namun, para pelajar dan mahasiswa yang sedang tinggal di luar negeri itu mendapat nasib buruk usai lengsernya Presiden Soekarno. Mereka terjebak di luar negeri dan tidak bisa pulang ke Indonesia.

Para pelajar dan mahasiswa itu pun tersebar di banyak negara. Ada yang ke China, Uni Soviet, Belanda, Cheko-Slovakia, Jerman, dan Swedia. Para pelajar dan mahasiswa Indonesia ini menjadi eksil.

Lola mengungkapkan, waktu menjadi tantangan lain yang tak bisa dilawan dalam produksi film. Beberapa narasumber meninggal dunia tak lama setelah proses syuting selesai.

Hal itu menjadi kehilangan tersendiri, sekaligus menegaskan pentingnya merekam ingatan mereka selagi masih bisa. Bagi Lola, film ini adalah upaya menyimpan suara-suara itu sebelum benar-benar hilang.

Untuk menjaga agar film tak hanya berisi potongan wawancara, Lola menyertakan berbagai elemen visual penunjang.

Baca juga: Sinopsis Film Dokumenter Eksil, Kisah Mahasiswa Indonesia yang Tak Bisa Kembali ke Tanah Air

Setiap kali narasumber menyebut istilah asing atau tokoh sejarah seperti Aidit, Gus Dur, atau Yusril, ia merasa perlu mencari dokumentasi tambahan agar pesan dalam film bisa dipahami lebih utuh oleh penonton.

“Misalnya, ketika mereka menyebutkan perestroika, saya harus cari dong videonya. Ketika mereka bicara soal Yusril, atau Gus Dur, atau siapa Aidit sebenarnya, kan harus ada penunjang-penunjangnya supaya penonton enggak bosan dengan suguhan wawancara-wawancara,” jelasnya.

Lola menyadari bahwa medium film dapat menjadi alat belajar yang kuat, terutama bagi generasi muda.

Visual dinilai lebih mudah dicerna dibanding teks sejarah yang kadang kaku dan membingungkan. Ia berharap, Eksil dapat menjadi bagian dari pembelajaran sejarah alternatif.

“Kalau kita belajar apa pun melalui film itu (biasanya) langsung dapat (pesannya) karena disuguhkan secara visual (sehingga bisa dibilang) belajar sejarah melalui film (itu lebih mudah),” ujarnya.

Baca juga: Lika-liku Perjuangan Lola Amaria Garap Film Dokumenter Eksil

Pilihan bagi penonton

Namun di balik harapannya, tersimpan pula rasa resah. Ia tidak mengeklaim film tersebut sebagai kebenaran mutlak, melainkan sebagai opsi lain di tengah narasi tunggal sejarah yang selama ini mendominasi.

“Pada dasarnya, penonton mau pilih yang mana, terserah. Yang penting ada pilihan atau opsi. Ada film yang menurut versi pemerintah dan film ini versi saksi-saksi hidup,” kata dia.

Lola menegaskan bahwa Eksil tidak dibuat untuk meluruskan sejarah, melainkan memberi ruang pada pandangan berbeda.

Ia menyebut banyak generasi muda yang datang menonton dan mengaku tidak pernah mendapatkan cerita-cerita seperti ini di sekolah.

Lewat Eksil, Lola ingin membuka ruang wacana baru tentang sejarah Indonesia pasca-1965 yang selama ini nyaris tak tersentuh pendidikan formal.

Bagi Lola, hal itu menunjukkan betapa pentingnya membuka akses terhadap narasi sejarah yang selama ini terpinggirkan.

Baca juga: Mahfud Sebut Ada 139 Eksil Indonesia di Luar Negeri

“Saya bukan mau meluruskan sejarah juga sih. Tapi paling enggak ada point of view yang lain lah bahwa kita tuh kebanyakan dibohongi. Sampai sekarang pun masih dibohongin. Jadi, mau sampai kapan sih kita dibohongi? Mau sampai kapan sih kita takut?” katanya.

Pihaknya pun mengaku khawatir saat memproduksi film ini. Namun, rasa itu justru ia hadapi dengan keyakinan bahwa sejarah tidak bisa hanya ditulis oleh satu pihak.

Apalagi, film ini telah dinyatakan lolos sensor dengan klasifikasi 13 tahun ke atas, yang berarti sah untuk ditayangkan.

“Film ini tadi lihat kan lulus sensor 13 ke atas, jadi secara legal enggak ada masalah,” ujarnya.

Ruang bagi publik melihat sejarah

Momentum Hari Pendidikan Nasional semakin menegaskan pentingnya film ini. Lola menyebut kontribusinya mungkin kecil. Namun, ia berharap dapat berguna bagi mereka yang menonton dan membagikannya.

Baca juga: Cerita Korban Eksil 1965, Dimaki Tante Gerwani oleh Tetangga di Jerman gara-gara Beda Pendapat

“Saya bilang bahwa di Hari Pendidikan Nasional ini, mungkin kontribusi (film ini) kecil. Namun, siapa tahu bisa berguna buat yang nonton dan menyebarluaskannya lagi,” kata dia.

Baginya, hal paling penting adalah memberi ruang agar publik bisa melihat sejarah dari sudut pandang lain.

Ia tidak ingin menyampaikan kebenaran tunggal, tetapi menawarkan keberagaman cerita, terutama dari mereka yang hidup dan mengalami langsung.

“Apa yang tersaji dalam film ini bukan kata orang ketiga, bukan katanya-katanya, tapi dia langsung yang mengatakan (sebagai pelaku sejarah),” tuturnya.

Dengan Eksil, Lola Amaria menyodorkan cermin lain dari masa lalu bangsa, yakni cermin yang selama ini retak dan disingkirkan dari ruang pendidikan formal.

Film tersebut menjadi ruang bagi suara-suara yang nyaris hilang, agar tetap terdengar di tengah hiruk pikuk sejarah yang ditulis oleh pemenang.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi