Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nukman Luthfie

CEO Jualio.com yang aktif di media sosial.
Twitter: @nukman | Facebook: @nukmanluthfie | Blog: SudutPandang

Pengusaha Taksi Melawan Konsumen Mereka Sendiri

Kompas.com - 15/03/2016, 10:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho


Kemarin pagi saya berangkat ke Jakarta, dan berpasasan dengan taksi Ekspress yang kaca belakangnya ditutupi kain bertuliskan: “X-Jodo saja bisa ditutup, mengapa Uber dan Grab tidak bisa?”


Ternyata taksi itu tak sendirian. Di Jakarta saya berpapasan dengan banyak taksi Express yang berdemonstrasi, dengan berbagai pesan di mobilnya, yang intinya meminta pemerintah menutup layanan taksi/kendaraan umum berbasis aplikasi seperti Uber dan Grab.

Sepekan sebelumnya, saya naik taksi Express, dan sepanjang perjalanan mendengarkan keluh kesah sopirnya betapa berat beban mereka sekarang. “Sekarang makin sedikit yang mencegat taksi di pinggir jalan. Kebanyakan pakai ponsel dan pesan dari dalam gedung atau mall,” katanya. Akibatnya, pendapatannya turun sampai separonya.

Perusaahaan taksi konvensional memang sedang menghadapi tantangan berat. Konsumen kini punya pilihan yang lebih baik. Dengan menggunakan transportasi berbasis aplikasi, mereka bebas memilih kendaraan mana yang akan dinaikinya sebagai pengganti taksi.

Jika sudah memesan, dan yang “merebut” pesanannya adalah sopir dengan mobil yang tak disukai, mereka bisa membatalkan pesanannya. Mereka juga bebas memilih sopir yang mana. Jika menemukan sopir yang ratingnya rendah, mereka bebas membatalkan pesanannya.

Jika sopir tak tahu jalan, penumpang tak perlu resah karena perjalanan dipandu dengan aplikasi Google Map, yang presisinya tinggi.

Kemewahan konsumen ini tak dirasakan saat taksi masih dikuasai perusahaan taksi konvensional. Penumpang terpaksa naik taksi yang itu-itu saja, yang kebanyakan mobilnya tua-tua, dan yang layanannya begitu-begitu saja.

Penumpang juga tak bisa memilih sopir. Jika ketemu sopir yang mengaku tak tahu arah, penumpang yang repot. Jika ketemu sopir yang mendadak bilang tak bisa mengantar penumpang yang terlanjur masuk karena mau ke arah lain, penumpang enggak bisa apa-apa kecuali turun dan ngedumel.

Sangat wajar jika penumpang memilih altenatif baru yang lebih menyenangkan hasil pilihan mereka sendiri. Maka pemandangan demonstrasi taksi yang menuntut penutupan layanan berbasis aplikasi itu menjadi aneh di mata saya.

Apakah perusahaan taksi (dan para sopirnya) itu tak sadar bahwa yang mereka lawan adalah konsumen mereka sendiri, yang selama ini mereka layani apa adanya (itu jika betul mereka melayani)?

Memang kasat mata mereka meminta penutupan Uber dan sejenisnya. Tapi itu berarti meminta penutupan layanan yang disukai konsumennya, agar konsumen mereka yang lari itu kembali lagi menerima layanan taksi yang apa adanya itu.

Mengapa perusahaan taksi itu memilih jalan pintas berupa demonstrasi dan memaksa pemerintah menutup pesaingnya? Mengapa mereka tidak berbuat yang lebih strategis dengan meningkatkan layanannya, memperbarui armadanya, memperbaiki struktur tarifnya, dan memasuki era baru era digital?

Era digital ini memang menyakitkan bagi perusahaan yang hidup dari “monopoli atau oligopoli”, yang bisa sukses dan untung besar meski terbiasa tak mempedulikan konsumen. Era digital itu membuat konsumen makin selevel dengan produsen. Bahkan pada kasus tertentu, seperti kasus taksi berbasis aplikasi di atas, konsumen benar-benar raja.

Jika ingin merebut hati konsumen, produsen harus menyediakan mobil yang layak dan sopir yang ratingnya tinggi.

Era digital membuat konsumen punya pilihan lebih banyak. Ini bukan hanya untuk layanan seperti taksi. Produk apapun, bisa mereka Googling. Sebelum membeli barang, generasi digital ini mencari informasi produk dan membanding-bandingkanya via mesin pencari seperti Google. Mereka juga meminta pendapat teman-temanya via media sosial seperti Facebook atau Twitter.

Halaman:
Berikan Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE


Terkini Lainnya
Siap-siap Tarif Parkir di Jakarta Bakal Naik
Siap-siap Tarif Parkir di Jakarta Bakal Naik
Megapolitan
Horor 17 Orang Terjebak Lift di Lantai 99, Ini Penyebab dan Solusinya Menurut Pakar
Horor 17 Orang Terjebak Lift di Lantai 99, Ini Penyebab dan Solusinya Menurut Pakar
Megapolitan
Momen Mencekam Saat Lift Macet di Lantai 99 Gedung Tertinggi Jakarta
Momen Mencekam Saat Lift Macet di Lantai 99 Gedung Tertinggi Jakarta
Megapolitan
Kualitas Udara Jakarta Buruk, AQI Capai 122
Kualitas Udara Jakarta Buruk, AQI Capai 122
Megapolitan
Saat Damkar Bekasi Merasa Tercoreng karena Namanya Dicatut untuk Peras Bos Toko Ban
Saat Damkar Bekasi Merasa Tercoreng karena Namanya Dicatut untuk Peras Bos Toko Ban
Megapolitan
Bersiap, Tarif Parkir di Jakarta Akan Naik dan Jalan Berbayar ERP Akan Diterapkan
Bersiap, Tarif Parkir di Jakarta Akan Naik dan Jalan Berbayar ERP Akan Diterapkan
Megapolitan
Akhirnya, Korban Kebakaran Tamansari Dapat Ganti Rugi dari Bos Pabrik Lilin
Akhirnya, Korban Kebakaran Tamansari Dapat Ganti Rugi dari Bos Pabrik Lilin
Megapolitan
Situs 'Sultan Menang' Jadi Pintu Masuk Polisi Usut Kasus Beking Judol Komdigi
Situs "Sultan Menang" Jadi Pintu Masuk Polisi Usut Kasus Beking Judol Komdigi
Megapolitan
Jeritan Nelayan Marunda yang Kesulitan Dapat BBM Bersubsidi
Jeritan Nelayan Marunda yang Kesulitan Dapat BBM Bersubsidi
Megapolitan
Kala Ahok Antarkan Sang Adik ke Altar Pernikahan...
Kala Ahok Antarkan Sang Adik ke Altar Pernikahan...
Megapolitan
 Antisipasi Tawuran di Pasar Rebo, Polisi hingga Pemkot Jaktim Gelar Patroli Bersama
Antisipasi Tawuran di Pasar Rebo, Polisi hingga Pemkot Jaktim Gelar Patroli Bersama
Megapolitan
1 Anggota Gangster Dulis di Bogor Pernah Terlibat Kasus Pencurian
1 Anggota Gangster Dulis di Bogor Pernah Terlibat Kasus Pencurian
Megapolitan
Kecewa Timnas Indonesia Dibantai 0-6, Suporter: Gol Pertama Jepang Menyakitkan
Kecewa Timnas Indonesia Dibantai 0-6, Suporter: Gol Pertama Jepang Menyakitkan
Megapolitan
Penilaian KPI Bakal Tentukan Mutasi dan Tunjangan Pejabat Pemprov Jakarta
Penilaian KPI Bakal Tentukan Mutasi dan Tunjangan Pejabat Pemprov Jakarta
Megapolitan
Pegawai Kontrak Komdigi Bergaji Rp 13 Juta Per Bulan, Kini Jadi Terdakwa Beking Situs Judol
Pegawai Kontrak Komdigi Bergaji Rp 13 Juta Per Bulan, Kini Jadi Terdakwa Beking Situs Judol
Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau