Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenaikan Cukai Tembakau Picu Peredaran Rokok Ilegal, Apa Solusi Pemerintah?

Kompas.com - 08/11/2022, 17:05 WIB
Elsa Catriana,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui jika peredaran rokok ilegal berjalan lurus dengan kenaikan tarif cukai tembakau.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai Nirwala Dwi Haryanto mengatakan, kenaikan tarif cukai rokok akan berkolerasi positif terhadap peredaran rokok ilegal di Tanah Air.

Menurutnya, dampak pandemi menyebabkan daya beli masyarakat melemah sementara disparitas harga antara rokok legal dan ilegal semakin jauh.

Tak hanya itu, beban pungutan negara atas rokok legal yang tinggi menyebabkan pelaku peredaran rokok ilegal kian marak.

"Saat ini, disparitas antara rokok ilegal legal itu mencapai 68 persen. Kalau tadinya sebelum PPN naik itu sekitar 62 perseb tetapi begitu PPN naik dari 9,1 persen menjadi 9,9 persen itu menjadi 68 persen," ujar Nirwala dalam siaran resminya, Selasa (8/11/2022).

Baca juga: Pemerintah Dinilai Perlu Susun Peta Jalan Struktur Tarif Cukai Tembakau

Ia mengungkapkan bahwa rokok ilegal adalah rokok yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari produk dalam negeri maupun impor yang tidak mengikuti aturan yang berlaku di wilayah hukum Indonesia.

Adapun, ciri-ciri rokok ilegal antara lain, tidak dilekati dengan pita cukai (rokok polos), dilekati dengan pita cukai yang tidak sesuai peruntukannya, dilekati dengan pita cukai palsu, dilekati dengan pita cukai bekas.

Lebih lanjut, Nirwala menjelaskan, penegakan hukum terhadap pelaku penjualan rokok ilegal adalah dengan memberikan sanksi administratif dan pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai.

Adapun sanksi untuk pelaku pelanggaran pidana terkait peredaran rokok ilegal adalah pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda paling banyak sepuluh kali lipat dari nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Oleh karena itu, untuk memberantas peredaran rokok ilegal, Bea Cukai terus meningkatkan pengawasan peredaran rokok ilegal melalui operasi "Gempur Rokok Ilegal".

Baca juga: Bea Cukai Musnahkan Rokok Ilegal dan Minuman Beralkohol Senilai Rp 10 Miliar

Operasi Gempur Rokok Ilegal

Berdasarkan catatan Bea Cukai, Operasi Gempur Rokok Ilegal pada periode 2018 - 2022 terus mengalami peningkatan jumlah penindakan, sedangkan jumlah barang hasil penindakan (BPH) cenderung menurun setiap tahunnya.

"Tahun 2020, jumlah penindakan berjumlah 9.018 dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp662 miliar. Di tahun 2021 jumlah penindakan naik menjadi 13.125 dengan kerugian negara mencapai Rp293 miliar. Sedangkan di tahun 2022 hingga saat ini total penindakan meningkat menjadi 18.659 dengan total kerugian negara mencapai Rp407 miliar," terang Nirwala.

Menurutnya, keberhasilan pemberantasan rokok ilegal memerlukan kerja sama banyak pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.

"Diharapkan dengan operasi Gempur Rokok Ilegal dapat meningkatkan kepatuhan pengusaha sehingga dapat menciptakan keadilan dan keseimbangan," sambung dia.

Baca juga: Soal Cukai Rokok, Ini Saran DPR untuk Pemerintah

Halaman:
Berikan Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE


Terkini Lainnya
Harga Bitcoin Sempat All-Time High, Ini Sebabnya
Harga Bitcoin Sempat All-Time High, Ini Sebabnya
Cuan
Harga Emas Antam Hari Ini 16 Juli 2025 Merosot Lagi Rp 6.000 Per Gram
Harga Emas Antam Hari Ini 16 Juli 2025 Merosot Lagi Rp 6.000 Per Gram
Belanja
Pujian Selangit Trump untuk Prabowo usai Deal Tarif Impor
Pujian Selangit Trump untuk Prabowo usai Deal Tarif Impor
Ekbis
Trump Klaim RI Siap Borong Produk Energi dan Pangan AS Senilai Rp 321 Triliun Plus 50 Pesawat, Usai Tarif Impor Jadi 19 Persen
Trump Klaim RI Siap Borong Produk Energi dan Pangan AS Senilai Rp 321 Triliun Plus 50 Pesawat, Usai Tarif Impor Jadi 19 Persen
Ekbis
Sambangi BSI, Mahasiswa Australia Belajar Keuangan Syariah ala Indonesia
Sambangi BSI, Mahasiswa Australia Belajar Keuangan Syariah ala Indonesia
Ekbis
Deal Prabowo-Trump: RI Kena Tarif Impor 19 Persen, tapi AS 0 Persen
Deal Prabowo-Trump: RI Kena Tarif Impor 19 Persen, tapi AS 0 Persen
Ekbis
IHSG Dibuka Menguat Usai AS Tetapkan Tarif 19 Persen ke Indonesia, Nilai Tukar Rupiah Tertekan
IHSG Dibuka Menguat Usai AS Tetapkan Tarif 19 Persen ke Indonesia, Nilai Tukar Rupiah Tertekan
Cuan
Bapanas Wanti-Wanti Beras Oplosan Dijual Setara Premium, Konsumen Rugi karena Nasi Jadi Cepat Basi
Bapanas Wanti-Wanti Beras Oplosan Dijual Setara Premium, Konsumen Rugi karena Nasi Jadi Cepat Basi
Ekbis
Kebun Sawit Tanpa HGU: Masalah Administratif atau Risiko Investasi?
Kebun Sawit Tanpa HGU: Masalah Administratif atau Risiko Investasi?
Ekbis
Harga Emas Dunia Melemah, Pasar Tunggu Perkembangan Tarif Trump
Harga Emas Dunia Melemah, Pasar Tunggu Perkembangan Tarif Trump
Belanja
Berebut Tembaga dan Kerelaan Trump Turunkan Tarif Impor Indonesia
Berebut Tembaga dan Kerelaan Trump Turunkan Tarif Impor Indonesia
Ekbis
Kesepakatan Dagang Baru AS-Indonesia Bisa Picu Reli IHSG, tapi Inflasi AS Masih Menghantui
Kesepakatan Dagang Baru AS-Indonesia Bisa Picu Reli IHSG, tapi Inflasi AS Masih Menghantui
Cuan
82 Persen BSU 2025 Sudah Cair, Pekerja Diminta Waspadai Tautan Palsu Modus Tipu-tipu
82 Persen BSU 2025 Sudah Cair, Pekerja Diminta Waspadai Tautan Palsu Modus Tipu-tipu
Ekbis
Trump Sebut Indonesia Mitra Penting dan Puji Prabowo, AS Turunkan Tarif Impor RI Jadi 19 Persen
Trump Sebut Indonesia Mitra Penting dan Puji Prabowo, AS Turunkan Tarif Impor RI Jadi 19 Persen
Ekbis
Kredit Menganggur Bengkak Rp 2.354 Triliun, Bank dan Debitur Sama-Sama 'Wait and See'
Kredit Menganggur Bengkak Rp 2.354 Triliun, Bank dan Debitur Sama-Sama "Wait and See"
Keuangan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau