Tahukah Anda, tahun 2005-2006, setiap dua menit, hutan seluas 1,08 hektar terbuka di Riau hancur. Dalam satu jam, ribuan pohon tumbang di atas areal 32,4 hektar dan dalam satu hari, seluas 777 hektar lahan hutan gundul.
Dalam kurun satu tahun, sekitar 286.142 hektar lahan hutan Riau tidak lagi memiliki tutupan pepohonan alias terbuka. Asumsikan saja satu hektar identik dengan satu lapangan sepak bola, berarti ada 286.142 lapangan sepak bola tersedia di Riau pada kurun waktu itu.
Berdasarkan data WWF Riau, selama 2005-2006 adalah laju tertinggi kerusakan hutan Riau, baik berizin maupun ilegal. Deforestasi seluas 286.146 hektar adalah terbesar di dunia.
Dalam tempo 25 tahun sejak tahun 1982-2007, Riau telah kehilangan lebih dari 4 juta hektar hutan alamnya. Tutupan hutan menyusut dari 78 persen pada tahun 1982 menjadi 27 persen pada tahun 2007, atau lebih dari setengahnya.
Tidak sulit mencari penyebab utamanya. Terdapat tiga faktor di balik kehancuran hutan, yakni pembangunan hutan tanaman industri (HTI) untuk menyokong keberadaan dua pabrik kertas di wilayah itu, kehadiran perkebunan kelapa sawit yang mahaluas, dan pembalakan liar untuk menghasilkan kayu guna kebutuhan dalam negeri, atau diselundupkan ke luar negeri. Lokasi Riau yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka menjadi pilihan favorit untuk penyelundupan kayu, terutama ke Malaysia.
Primadona kelapa sawit
Pada tahun 2000, luas tanaman kelapa sawit di Riau, baru mencapai 1 juta hektar. Namun, 12 tahun kemudian, yakni tahun 2012, luas tanaman kelapa sawit sudah mencapai 2,8 juta hektar. Terdapat penambahan 150.000 hektar per tahun, atau sekitar 411 hektar per hari.
Sejak krisis ekonomi tahun 1997-1999, harga minyak sawit (crude palm oil/CPO) dunia melambung tinggi. Boleh dikatakan, perkebunan sawit menikmati krisis ekonomi itu. Pada saat semua industri lain terpuruk, kelapa sawit justru menunjukkan anomalinya. Keberhasilan petani kelapa sawit mendorong eksodus besar-besaran penduduk, terutama dari Sumatera Utara menuju ke Riau untuk mencoba peruntungan.
Kebangkitan industri kelapa sawit yang bersamaan dengan kejatuhan Orde Baru membuat pengawasan hukum sangat lemah. Kekuatan masyarakat lebih besar di atas ketidakberdayaan pemerintah dan aparatnya ketika itu. Pola ini nyaris sama terjadi di seluruh wilayah Sumatera dari Aceh hingga Lampung.
”Saya masih ingat, mulanya hanya ada lima sampai enam keluarga dari Sumut membeli tanah di bekas penebangan akasia PT Arara Abadi di Desa Tasik Serai tahun 2000. Kepala desa menjual lahan dengan mengeluarkan surat keterangan tanah. Ketika itu semua ini dibiarkan sehingga luas areal pertanaman kelapa sawit semakin membesar,” ujar M Syahril (57), warga Desa Tasik Serai, Kecamatan Sebanga, Kabupaten Bengkalis, beberapa waktu lalu.
Kini, lebih dari 10.000 hektar tanah areal PT Arara Abadi ditanami kelapa sawit dan Desa Tasik Serai sudah berkembang menjadi dua desa dengan pembukaan Desa Tasik Serai Timur,
Pembiaran serupa juga terjadi di Suaka Margasatwa Balairaja, tidak jauh dari Tasik Serai. Perlahan tapi pasti, lahan konservasi gajah sumatera seluas 18.000 hektar pun berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Sebanyak 45 ekor gajah sebagai pemilik lahan suaka itu kehilangan tempat tinggal. Kawanan hewan itu menggelandang dari jengkal demi jengkal tanah, hidup dengan memakan tanaman penduduk, terutama pucuk kelapa sawit muda. Persinggungan gajah dengan manusia di Suaka Margasatwa Balairaja lahirlah konflik terbesar sepanjang tahun di Indonesia.
Hampir setiap tahun muncul korban di kedua belah pihak. Bila satu kali gajah mati, pada kesempatan lain manusia mati diinjak gajah. Hampir tidak ada masyarakat di Kecamatan Balaimakam dan Pinggir yang berada pada koridor Suaka Margasatwa Balairaja tidak pernah melihat gajah liar berkeliaran di halaman rumahnya.
Bentrok gajah dan manusia terus berlangsung. Anehnya, tidak ada tindakan nyata dari pemerintah.
Menurut Syamsuardi, peneliti gajah dari WWF Riau, gajah-gajah eks Suaka Margasatwa Balairaja mampu beradaptasi dengan kondisi perambahan itu. ”Saya heran dengan kemampuan adaptasi gajah-gajah itu. Di tengah konflik dengan manusia, selalu saja kami melihat bayi- bayi gajah yang lahir dan tumbuh besar. Dengan sedikit sentuhan, kami memperkirakan kawanan gajah itu dapat bertahan lebih lama. Memindahkan gajah sangat sulit karena hampir tidak ada lahan yang tersedia di Riau untuk menampung gajah dalam jumlah besar,” ujar Syamsuardi.
Penyebab lain adalah industri HTI yang menyokong keberadaan dua raksasa pabrik pulp dan kertas, yaitu PT Indah Kiat Pulp and Paper (grup Sinar Mas) dan PT Riau Andalan Pulp and Paper (grup RGM). Tahun 2005-2006 adalah puncak kebangkitan HTI setelah luluh lantak dilanda krisis tahun 1999. Tahun 2000-2002, industri pulp mati suri terhantam krisis.
Setelah tahun 2002, industri pulp dan kertas pun menggeliat. Seakan mengatasi ketertinggalan selama dua tahun, produksi dipacu tahun 2003-2006. Periode ini deforestasi di Riau mencapai 286.146 hektar. Bahkan, kini pengembangan HTI di Riau seluas 2 juta hektar atau melebihi kapasitas yang tersedia hanya 1,6 juta hektar. Semua persoalan itu nyaris tak ada upaya pencegahan.
(Syahnan Rangkuti)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.