Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ICW Kemukakan 6 Kejanggalan Putusan Hakim Praperadilan Setya Novanto

Kompas.com - 30/09/2017, 06:58 WIB
Moh. Nadlir

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Bidang Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, mengaku tak heran dengan putusan hakim pada sidang praperadilan Ketua DPR RI Setya Novanto yang mengabulkan gugatan Novanto.

"Sesuai perkiraan, praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto dikabulkan oleh hakim tunggal Cepi Iskandar," kata Lalola dalam keterangan tertulisnya, Jumat (29/9/2017).

Menurut dia, perkiraan tersebut bukan tanpa dasar. Sepanjang proses sidang praperadilan Novanto, pihaknya mencatat ada enam kejanggalan yang dilakukan hakim.

Pertama hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan Novanto dalam korupsi R-KTP. Kedua hakim menunda mendengar keterangan ahli dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hakim juga menolak eksepsi KPK dan mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara.

Lihat juga: KPK Beberkan Kejanggalan Putusan Praperadilan Setya Novanto

Kejanggalan kelima dan keenam yaitu, hakim bertanya kepada ahli KPK tentang sifat ad hoc lembaga KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan, serta tentang laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus Angket dijadikan bukti Praperadilan.

"Keenam kejanggalan tersebut adalah penanda awal akan adanya kemungkinan permohonan praperadilan SN (Setya Novanto) akan dikabulkan oleh hakim sebelum diputuskan," kata Lalola.

Lalola menambahkan, salah satu dalil hakim yang paling kontroversial dalam putusan praperadilan itu adalah bahwa alat bukti untuk tersangka sebelumnya tidak bisa dipakai lagi untuk menetapkan tersangka lain. Menurut Lalola, itu artinya mendelegitimasi putusan Majelis Hakim yang memutus perkara E-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, yang notabene sudah berkekuatan hukum tetap.

"Padahal, putusan dikeluarkan berdasarkan minimal dua alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim, dan skema tersebut merupakan hal yang biasa dalam proses beracara di persidangan," kata dia.

Baca juga: Beragam Kasus Belum Bisa Jerat Setya Novanto, Masih The Untouchable?

Putusan Hakim

Hakim Cepi Iskandar menerima sebagian gugatan praperadilan yang diajukan Novanto. Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Novanto oleh KPK tidak sah. Menurut hakim, KPK juga harus menghentikan penyidikan kasus Novanto.

Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK pada 17 Juli 2017. Ia lalu mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada 4 September 2017. Novanto keberatan atas status tersangka dari KPK.

Ketua Umum Partai Golkar itu diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, pada kasus E-KTP. Sewaktu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR, Novanto diduga ikut mengatur agar anggaran proyek E-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui anggota DPR.

Selain itu, Novanto diduga telah mengondisikan pemenang lelang dalam proyek E-KTP. Bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Novanto diduga ikut menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.

Pihak Novanto sebelumnya meminta KPK mengentikan sementara penyidikan hingga ada putusan praperadilan. Novanto dua kali tak memenuhi panggilan pemeriksaan sebagai tersangka lantaran dirawat di rumah sakit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Berikan Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE


Terkini Lainnya
KPK Sita Pabrik dan Tanah Senilai Rp 50 Miliar Terkait Kasus Kredit Fiktif BPR Bank Jepara Artha
KPK Sita Pabrik dan Tanah Senilai Rp 50 Miliar Terkait Kasus Kredit Fiktif BPR Bank Jepara Artha
Nasional
Lulusan Sekolah Rakyat Tak Harus Kuliah, Boleh Langsung Kerja atau Usaha
Lulusan Sekolah Rakyat Tak Harus Kuliah, Boleh Langsung Kerja atau Usaha
Nasional
Mensos Masih Pertimbangkan Uang Saku untuk Siswa Sekolah Rakyat
Mensos Masih Pertimbangkan Uang Saku untuk Siswa Sekolah Rakyat
Nasional
KPK Sita Ruko hingga Sawah Terkait Kasus Pemerasan di Kemenaker
KPK Sita Ruko hingga Sawah Terkait Kasus Pemerasan di Kemenaker
Nasional
Presiden Brasil: Sambut Indonesia Jadi Anggota BRICS Seperti Buka Pintu untuk Teman Lama
Presiden Brasil: Sambut Indonesia Jadi Anggota BRICS Seperti Buka Pintu untuk Teman Lama
Nasional
Khofifah Diperiksa di Jatim, Ketua KPK Bantah Ada Perlakuan Istimewa
Khofifah Diperiksa di Jatim, Ketua KPK Bantah Ada Perlakuan Istimewa
Nasional
Prabowo Ungkap Presiden Brasil Bakal Boyong Ratusan Pengusaha ke RI
Prabowo Ungkap Presiden Brasil Bakal Boyong Ratusan Pengusaha ke RI
Nasional
Presiden Prabowo Tinggalkan Brasil Usai Lawatan Kenegaraan
Presiden Prabowo Tinggalkan Brasil Usai Lawatan Kenegaraan
Nasional
Hasto Akan Bacakan Pleidoi Kasus Harun Masiku Hari Ini
Hasto Akan Bacakan Pleidoi Kasus Harun Masiku Hari Ini
Nasional
Panglima TNI soal Mayjen Ahmad Rizal Jadi Dirut Bulog: 'Eligible' di Bidang Ketahanan Pangan
Panglima TNI soal Mayjen Ahmad Rizal Jadi Dirut Bulog: "Eligible" di Bidang Ketahanan Pangan
Nasional
Sesumbar Roy Suryo soal Ijazah Palsu, Kubu Jokowi Anggap Tak Buktikan Apa-apa
Sesumbar Roy Suryo soal Ijazah Palsu, Kubu Jokowi Anggap Tak Buktikan Apa-apa
Nasional
Tes DNA dan AI untuk Siswa Sekolah Rakyat demi Temukan 'Next Habibie'
Tes DNA dan AI untuk Siswa Sekolah Rakyat demi Temukan "Next Habibie"
Nasional
Prabowo Jujur ke Presiden Brasil, 'Contek' Program MBG Diterapkan di Indonesia
Prabowo Jujur ke Presiden Brasil, "Contek" Program MBG Diterapkan di Indonesia
Nasional
Prabowo Ingin Reformasi di PBB, Tingkatkan Representasi Negara Besar Baru
Prabowo Ingin Reformasi di PBB, Tingkatkan Representasi Negara Besar Baru
Nasional
Hari Ini, KPK Periksa Gubernur Khofifah Sebagai Saksi di Polda Jatim
Hari Ini, KPK Periksa Gubernur Khofifah Sebagai Saksi di Polda Jatim
Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau