Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Panglima TNI: "Ngapain" Saya Baca Dokumen AS soal 1965?

Kompas.com - 24/10/2017, 12:17 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo merasa dirinya tidak perlu membaca dokumen yang dirilis di Amerika Serikat terkait keterlibatan militer Indonesia dalam pembunuhan massal terhadap kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pasca-Gerakan 30 September 1965.

"Ya ngapain saya baca dokumen itu kan," kata Gatot di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (24/10/2017).

Gatot mengatakan, adalah sesuatu yang wajar apabila di suatu negara ada kejadian tertentu, maka perwakilan duta besar yang ada di negara itu memberi laporan kepada pemerintahnya. Tiap negara juga memiliki aturan masing-masing dalam merilis dokumen rahasia ke publik.

"Kita harus berpikir kita hargai bahwa di (tiap) negara ada aturan. Bahwa dokumen rahasia sekian tahun bisa dikeluarkan. Kita enggak bisa ikutan seperti itu," kata Gatot.

(Baca juga: Dibukanya Dokumen AS soal 1965 Dinilai Jadi Momentum Ungkap Kebenaran)

Gatot pun enggan menanggapi lebih jauh soal langkah yang ditempuh pemerintah terkait dirilisnya dokumen itu. Ia menyerahkan kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.

Gatot juga enggan mengaitkan dirilisnya dokumen tersebut dengan dirinya yang sempat ditolak masuk ke Amerika Serikat.

"Itu tanya Menlu jangan tanya saya," kata dia.

(Baca juga: Menlu Berharap Jenderal Dunford dan Panglima TNI Segera Berkomunikasi)

Dilansir dari BBC Indonesia, sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika soal tragedi 1965 kembali dibuka ke publik oleh tiga lembaga Amerika.

Dokumen kabel diplomatik itu berasal dari National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).

Dokumen itu menguak sejumlah surat dari dan ke Amerika Serikat terkait pembunuhan massal pasca-1965.

Dokumen yang dibuka adalah 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968. Isinya antara lain seputar ketegangan antara militer dengan PKI, termasuk efek selanjutnya berupa pembantaian massal.

Data dan fakta ini dinilai menguak sebagian tabir yang selama ini masih tertutup rapat dalam sejarah Indonesia. Selama ini, negara, terutama Tentara Nasional Indonesia, mengelak untuk membicarakan atau mengkaji ulang sejarah kelam tragedi 1965.

Fakta yang tersaji dalam dokumen diplomatik Amerika ini membantah narasi tunggal bahwa korban pembantaian tragedi 1965 adalah komunis atau mereka yang memang terkait pembunuhan para jenderal dan upaya pengambilalihan kekuasaan pada 30 September 1965.

Para anggota dan simpatisan PKI itu "kebingungan dan mengaku tak tahu soal 30 September," tulis laporan diplomatik Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia pada 20 November 1965.

(Baca juga: Soal Dokumen AS Terkait Tragedi 1965, Pemerintah Tanggapi Hati-hati)

Kompas TV TNI Angkatan Darat menginstruksikan seluruh prajuritnya untuk menggelar nonton bareng film pengkhianatan gerakan 30 September.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Berikan Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE


Terkini Lainnya
Kementerian Lingkungan Hidup Segel Tambang Nikel PT ASP di Raja Ampat
Kementerian Lingkungan Hidup Segel Tambang Nikel PT ASP di Raja Ampat
Nasional
Menteri LH Nyatakan Tambang PT GAG Tak Berdampak Serius ke Raja Ampat
Menteri LH Nyatakan Tambang PT GAG Tak Berdampak Serius ke Raja Ampat
Nasional
Eks Kepala PPATK: Pengusaha Terkait Penguasa, Kayaknya Gen Kita KKN
Eks Kepala PPATK: Pengusaha Terkait Penguasa, Kayaknya Gen Kita KKN
Nasional
Kementerian Lingkungan Hidup: PT GAG Nikel Boleh Menambang di Raja Ampat
Kementerian Lingkungan Hidup: PT GAG Nikel Boleh Menambang di Raja Ampat
Nasional
5 WNI yang Dituduh Curi Data Pesawat Tempur KF-21 Telah Kembali ke RI
5 WNI yang Dituduh Curi Data Pesawat Tempur KF-21 Telah Kembali ke RI
Nasional
Anggota DPR Sebut Banyak Tambang Ilegal di Papua Dibeking Oknum Pemerintah dan TNI-Polri
Anggota DPR Sebut Banyak Tambang Ilegal di Papua Dibeking Oknum Pemerintah dan TNI-Polri
Nasional
Harwan Muldidarmawan: Penertiban Kendaraan Angkutan Barang ODOL Demi Keselamatan dan Ketahanan Nasional
Harwan Muldidarmawan: Penertiban Kendaraan Angkutan Barang ODOL Demi Keselamatan dan Ketahanan Nasional
Nasional
Eks Kepala PPATK Soroti Dugaan Uang Haram dari Korupsi Mengalir Lewat Bea Cukai
Eks Kepala PPATK Soroti Dugaan Uang Haram dari Korupsi Mengalir Lewat Bea Cukai
Nasional
Kementerian PU Rampungkan Pembangunan Paralympic Training Center Berstandar Internasional di Karanganyar
Kementerian PU Rampungkan Pembangunan Paralympic Training Center Berstandar Internasional di Karanganyar
Nasional
Penegakan Pelaporan Uang Tunai Lemah, Yunus Husein: Uang Haram Bisa Lolos Lewat Perbatasan
Penegakan Pelaporan Uang Tunai Lemah, Yunus Husein: Uang Haram Bisa Lolos Lewat Perbatasan
Nasional
Eks Kepala PPATK Soroti Tak Adanya Formulir Deklarasi Uang Tunai di Bandara Soekarno-Hatta
Eks Kepala PPATK Soroti Tak Adanya Formulir Deklarasi Uang Tunai di Bandara Soekarno-Hatta
Nasional
Letjen Djaka Jadi Dirjen Bea Cukai, Eks Kepala PPATK: Sosok Berani Dibutuhkan, Banyak Penyelundupan
Letjen Djaka Jadi Dirjen Bea Cukai, Eks Kepala PPATK: Sosok Berani Dibutuhkan, Banyak Penyelundupan
Nasional
Pimpin Delegasi Indonesia di ILC Ke-113, Menaker Yassierli Suarakan Kerja Layak untuk Dunia Kerja Adil dan Produktif
Pimpin Delegasi Indonesia di ILC Ke-113, Menaker Yassierli Suarakan Kerja Layak untuk Dunia Kerja Adil dan Produktif
Nasional
Rekrutmen Tamtama Besar-besan Dinilai Menyalahi Tugas Utama TNI
Rekrutmen Tamtama Besar-besan Dinilai Menyalahi Tugas Utama TNI
Nasional
Wakil Ketua MPR: Reputasi Indonesia Terpuruk jika Lingkungan Raja Ampat Rusak
Wakil Ketua MPR: Reputasi Indonesia Terpuruk jika Lingkungan Raja Ampat Rusak
Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau