Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketum MUI Kritik Putusan MK soal Penghayat Kepercayaan

Kompas.com - 15/11/2017, 16:00 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin menyebut, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penghayat kepercayaan tak mempertimbangkan kesepakatan di masyarakat.

Menurut dia, putusan itu bisa menuai persoalan di masyarakat.

"MK membuat keputusan yang hanya semata-mata berpegang kepada prinsip perundang-undangan, tanpa dia memperhatikan kesepakatan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu yang mengandung masalah," ujar Ma'ruf ketika ditemui di Kompleks Istana Presiden, Rabu (15/11/2017).

Kesepakatan yang dimaksud adalah bahwa salah satu unsur identitas setiap warga negara adalah agama, bukan aliran kepercayaan.

(Baca juga : MK: Hak Penganut Kepercayaan Setara dengan Pemeluk 6 Agama)

Oleh sebab itu, akan menimbulkan gejolak jika aliran kepercayaan seorang warga negara dicantumkan di dalam KTP atau KK.

"Ya pastilah. Sekarang ini sudah timbul gejolak (di masyarakat) itu. Karena apa? Karena sudah ada kesepakatan politik sebelumnya," ujar Ma'ruf.

Meski demikian, MUI menyadari bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh sebab itu, MUI akan menggelar koordinasi internal untuk merespons persoalan itu.

"Jadi kita sedang mencarikan, seperti apa nanti solusinya. Lagi kita cari. Akan kita bahas seperti apa ini menyelesaikannya," ujar Ma'ruf.

(Baca juga : Tambahan Blanko E-KTP untuk Penghayat Kepercayaan Siap pada Tahun Depan)

MK mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP.

Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU tentang Administrasi Kependudukan.

Uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016.

Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.

"Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk aliran kepercayaan," ujar Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan pada sidang di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2017).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com