Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terungkap Ada Perintah Firli dalam OTT UNJ, ICW Minta Dewas KPK Tindak Lanjuti

Kompas.com - 12/10/2020, 20:25 WIB
Ardito Ramadhan,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Dewan Pengawas KPK mengusut dugaan pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri dalam sengkarut operasi tangkap tangan yang melibatkan pejabat Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Hal itu disampaikan peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyusul terungkapnya bahwa Firli meminta KPK menangani kasus dugaan gratifikasi di UNJ meski tidak ada penyelenggara negara yang terlibat.

"Menanggapi itu, semestinya Dewan Pengawas KPK dapat menindaklanjuti putusan tersebut dengan mengusut hal yang ke serius, termasuk memulai pemeriksaan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli Bahuri," kata Firli, Senin (12/10/2020).

Baca juga: Dewas KPK Ungkap Firli Perintahkan Lakukan OTT UNJ Meski Tak Ada Penyelenggara Negara

Menurut Kurnia, setidaknya ada dua pelanggaran yang terjadi. Pertama, keputusan mengambil alih penanganan perkara yang diperintahkan oleh Firli tidak didahului dengan mekanisme gelar perkara.

Terkait itu, Kurnia mengatakan, Firli sebagai Ketua KPK tidak mendengarkan paparan utuh dari Plt Direktur Pengaduan Masyarakat bahwa penanganan perkara tersebut tidak dapat ditindaklanjuti.

Pilih idol K-Pop/aktor K-Drama favoritmu & dapatkan Samsung Galaxy Fit3!
Kompas.id
Pilih idol K-Pop/aktor K-Drama favoritmu & dapatkan Samsung Galaxy Fit3!

Kedua, perintah pengambilalihan perkara dari Kedeputian Penindakan juga tidak dapat diputuskan oleh satu orang pimpinan saja.

"Mesti mengikuti prosedur yang ada di KPK, yakni membahas bersama pimpinan lain dan unit terkait terlebih dahulu," kata Kurnia.

Baca juga: Tim Pendamping WP KPK Sebut Tak Ada Gelar Perkara Terkait OTT UNJ

Pelanggaran kedua, kepuitusan untuk melimpahkan perkara UNJ diduga dilakukan tanpa gelar perkara dan tanpa persetujuan pimpinan KPK lainnya.

"Kuat dugaan dalam pelimpahan perkara ini tidak didahului gelar perkara/ekspose seluruh pimpinan KPK, melainkan keputusan sepihak dari Firli Bahuri," kata Kurnia.

Padahal, Pasal 21 Ayat (2) UU KPK menyatakan bahwa pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.

Oleh sebab itu, menurut Kurnia, tindakan Firli tersebut berpotensi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.

Baca juga: Penyelidikan Dugaan Kasus Korupsi Pejabat UNJ Dihentikan, Polisi Limpahkan ke Kemendikbud

Berdasarkan hal-hal di atas, ICW menilai Firli patut diduga telah melanggar kode etik KPK terkait Bagian Keadilan poin 7 Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 yang menyebutkan bahwa atasan bersikap tegas, rasional, dan transparan dalam pengambilan keputusan dengan pertimbangan yang objektif, berkeadilan, dan tidak memihak.

Selain itu, tindakan Firli juga diduga bertentangan dengan bagian profesionalisme poin 1 Peraturan Dewan Pengawas Nomor 1 Tahun 2020 yang menyatakan pimpinan KPK bekerja sesuai prosedur operasional standar (SOP).

Diberitakan sebelumnya, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan, Ketua KPK Firli Bahuri sempat meminta agar kasus dugaan gratifikasi dari pejabat Universitas Negeri Jakarta ditangani oleh KPK.

Baca juga: Terbukti Langgar Etik Terkait OTT UNJ, Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Dihukum Sanksi Ringan

Padahal, Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Aprizal yang mendampingi Inspektorat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan, tak ada penyelenggara negara dalam dugaan pemberian gratifikasi itu.

Hal itu terungkap dalam sidang pembacaan putusan etik terhadap Aprizal yang diselenggarakan pada Senin (12/10/2020).

"Saksi 9 (Firli) menyampaikan, 'Ini ada OTT kenapa tidak diambil alih? Saudara pernah jadi direktur lidik, itu harusnya ditangani KPK," kata anggota Dewan Pengawas KPK Syamsuddin Haris dalam persidangan.

"Lalu Terperiksa menjawab, 'Pak, itu tidak ada PN-nya (penyelenggara negara)' direspons oleh ketua, 'Enggak, itu sudah ada pidananya, harus KPK yang menangani, saudara silakan hubungi deputi penindakan," kata Syamsuddin melanjutkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Komentar
ah dia lagi... memang firly ini tidak pantas jadi komisioner kpk...cc pansel kpk


Terkini Lainnya
Sebut RKUHAP Progresif, Komisi III DPR: Lebih Bahaya KUHAP Lama
Sebut RKUHAP Progresif, Komisi III DPR: Lebih Bahaya KUHAP Lama
Nasional
Mensesneg Yakin Tarif Impor AS Tidak Ada Kaitannya Indonesia Gabung BRICS
Mensesneg Yakin Tarif Impor AS Tidak Ada Kaitannya Indonesia Gabung BRICS
Nasional
Bandingkan Regulasi AI di Eropa, Kemkomdigi Sebut di Indonesia Harus Terintegrasi
Bandingkan Regulasi AI di Eropa, Kemkomdigi Sebut di Indonesia Harus Terintegrasi
Nasional
Kejagung: Riza Chalid Sudah Masuk Daftar Cekal
Kejagung: Riza Chalid Sudah Masuk Daftar Cekal
Nasional
Komisi III DPR Sebut Penyadapan Tidak Diatur di KUHAP Baru, tapi UU Khusus
Komisi III DPR Sebut Penyadapan Tidak Diatur di KUHAP Baru, tapi UU Khusus
Nasional
Respons Kejagung soal Impunitas Advokat Masuk RUU KUHAP
Respons Kejagung soal Impunitas Advokat Masuk RUU KUHAP
Nasional
Ketika Dokter Tifa Pilih Diam Dicecar 68 Pertanyaan soal Ijazah Jokowi...
Ketika Dokter Tifa Pilih Diam Dicecar 68 Pertanyaan soal Ijazah Jokowi...
Nasional
Akrab dengan Titiek Soeharto, Gibran Disebut Mau Sampaikan Pesan Ini ke Prabowo
Akrab dengan Titiek Soeharto, Gibran Disebut Mau Sampaikan Pesan Ini ke Prabowo
Nasional
Pansel Ombudsman: 700 Orang Sudah Buat Akun, yang 'Upload' 5 Orang
Pansel Ombudsman: 700 Orang Sudah Buat Akun, yang "Upload" 5 Orang
Nasional
Komisi III DPR Jamin RUU KUHAP Tidak Bikin Polisi 'Powerful'
Komisi III DPR Jamin RUU KUHAP Tidak Bikin Polisi "Powerful"
Nasional
Pengembangan AI di Singapura Lebih Maju, Kemkomdigi: Memang Sudah Bangun Lama Sistemnya
Pengembangan AI di Singapura Lebih Maju, Kemkomdigi: Memang Sudah Bangun Lama Sistemnya
Nasional
RUU Masyarakat Hukum Adat Akan Jadi Prioritas PKB di Parlemen
RUU Masyarakat Hukum Adat Akan Jadi Prioritas PKB di Parlemen
Nasional
Usai Dengarkan Replik Jaksa, Tom Lembong: Kasih Waktu untuk Mencerna Semua Ini
Usai Dengarkan Replik Jaksa, Tom Lembong: Kasih Waktu untuk Mencerna Semua Ini
Nasional
Isu Pungutan Komunitas Bermain di GBK, Mensesneg: Enggak Ada Itu
Isu Pungutan Komunitas Bermain di GBK, Mensesneg: Enggak Ada Itu
Nasional
Komisi VIII DPR Setujui Penambahan Anggaran Kemenag TA 2026 Rp 36,7 Triliun
Komisi VIII DPR Setujui Penambahan Anggaran Kemenag TA 2026 Rp 36,7 Triliun
Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau