Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Ahmad M Ramli
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Pasal Ujaran Kebencian UU ITE yang Dicabut dan Penggantinya di UU KUHP Baru

Kompas.com - 01/03/2023, 13:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SELAIN ketentuan tentang pencemaran nama baik yang telah saya tulis dalam kolom ini Baca juga: Pasal-pasal Cyber Crime UU ITE Dicabut oleh UU KUHP Baru terdapat cukup banyak ketentuan tentang cybercrime Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) lainnya yang dicabut kemudian direformulasi, dan diadopsi menjadi bagian dari pasal-pasal kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.

Tulisan ini akan membahas pasal-pasal tentang ujaran kebencian yang dicabut dari UU ITE dan pasal-pasal penggantinya dalam UU KUHP Baru. UU ITE merujuk pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( ITE) dan UU KUHP yang baru merujuk pada UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

UU KUHP yang baru telah diundangkan pada 2 Januari 2023, dan akan mulai berlaku efektif setelah masa transisi tiga tahun, terhitung sejak tanggal diundangkan.

Baca juga: Terbukti Menyebar Ujaran Kebencian, Roy Suryo Divonis 9 Bulan Penjara

Dikodifikasinya materi muatan cybercrime tentang ujaran kebencian secara virtual, yang saat ini diatur dalam UU ITE ke dalam KUHP baru, merupakan sebuah perkembangan menarik cyberlaw Indonesia, khususnya sub bidang cybercrime.

Integrasi kodifikatif materi muatan cybercrime ke dalam KUHP baru, dalam beberapa hal, akan membuat makna dan penafsiran pasal dimaksud menjadi inheren, dan tidak terlepas dari konteks sistemik KUHP baru itu secara komprehensif. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap implementasi dan penegakan hukumnya nanti.

Pasal yang Dicabut dan Penggantinya

Berikut adalah pasal-pasal tentang ujaran kebencian UU ITE yang dicabut, dinyatakan tidak berlaku, dan pasal-pasal penggantinya dalam UU KUHP yang baru.

Pertama, ketentuan UU ITE terkait ujaran kebencian, permusuhan dan SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan), terdapat pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2). Pasal 28 ayat (2) berbunyi:

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.

Pasal 28 ayat (2) ini tidak bisa dilepaskan dari Pasal 45A ayat (2) UU ITE yang mengatur sanksi pidananya. Terkait delik ujaran kebencian, UU ITE memang membagi dua bagian ketentuan.

Pasal terkait perbuatan yang dilarang di satu bagian, dan ketentuan tentang sanksi pidana di bagian lainnya. Pasal 45A ayat (2) UU ITE berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Ketentuan yang terdapat pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU ITE dinyatakan dicabut oleh UU KUHP yang baru.

Pasal itu kemudian diganti dan direformulasi menjadi Pasal 243 ayat (1) jo ayat (2) UU KUHP baru yang berbunyi:

Pasal 243 ayat (1): “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Baca juga: Anggota Komisi I DPR Sebut UU ITE Perlu Direvisi agar Selaras dengan KUHP

Kedua, KUHP yang baru juga menetapkan pidana tambahan sebagaimana diatur pada Pasal 243 ayat (2) KUHP baru yang berbunyi: “Jika setiap orang sebagai mana dimaksud pada ayat (1) melakukan tindak pidana tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama, pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f”.

Pasal 86 huruf f mengatur pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu berupa pencabutan hak untuk menjalankan profesi tertentu.

Konklusi

Norma dan materi muatan ujaran kebencian dalam UU KUHP baru tampak unsur-unsurnya lebih luas dari pada norma UU ITE. Ketentuan dalam KUHP baru juga diselaraskan dengan prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) agar penerapannya lebih terukur dan adil.

Selain menerapkan pidana tambahan pada Pasal 243 ayat (2) UU KUHP juga menerapkan hukuman yang lebih rendah dibanding UU ITE. Sanksi yang semula berupa pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar dalam UU ITE, menjadi pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV dalam UU KUHP baru.

Selain itu, frasa "terlihat oleh umum", "terdengar oleh umum", “…dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum” pada Pasal 243 ayat (1) KUHP baru juga menekankan adanya unsur "public virtual". 

Di samping itu harus dibuktikan adanya maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dari pelakunya. Hal ini penting, terutama untuk membedakan konten mana yang sifatnya sekadar komunikasi online antar individu, yang seringkali disebut “japri” dalam bentuk direct message, yang memang tidak dimaksudkan untuk diketahui umum, dan tindakan mana yang merupakan komunikasi publik dengan maksud untuk diketahui khalayak (public virtual).

Jika yang dilakukan adalah hal terakhir, tentu dapat dikualifikasikan bahwa postingannya memang dimaksudkan untuk diketahui umum, atau sengaja disebarkan untuk konsumsi publik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Penetapan Presiden dan Wapres Terpilih, Prabowo-Gibran Berangkat Bareng ke KPU

Penetapan Presiden dan Wapres Terpilih, Prabowo-Gibran Berangkat Bareng ke KPU

Nasional
Ganjar-Mahfud Absen saat Penetapan Prabowo-Gibran, PAN: Enggak Ngaruh

Ganjar-Mahfud Absen saat Penetapan Prabowo-Gibran, PAN: Enggak Ngaruh

Nasional
Sudirman Said Sebut 'Dissenting Opinion' 3 Hakim MK Jadi Catatan Pengakuan Kejanggalan Pilpres 2024

Sudirman Said Sebut "Dissenting Opinion" 3 Hakim MK Jadi Catatan Pengakuan Kejanggalan Pilpres 2024

Nasional
Pimpinan MPR: Mooryati Soedibyo Sosok Inspiratif Perempuan Indonesia

Pimpinan MPR: Mooryati Soedibyo Sosok Inspiratif Perempuan Indonesia

Nasional
Anies-Muhaimin Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Sebagai Pemenang Pilpres 2024

Anies-Muhaimin Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Sebagai Pemenang Pilpres 2024

Nasional
AHY: Selamat Pak Prabowo-Gibran, Presiden Terpilih 2024-2029

AHY: Selamat Pak Prabowo-Gibran, Presiden Terpilih 2024-2029

Nasional
Apresiasi Putusan MK, AHY: Kami Tahu Beban dan Tekanan Luar Biasa

Apresiasi Putusan MK, AHY: Kami Tahu Beban dan Tekanan Luar Biasa

Nasional
Di Hannover Messe 2024, Pertamina Patra Niaga Paparkan Upaya Pemerataan Energi Indonesia

Di Hannover Messe 2024, Pertamina Patra Niaga Paparkan Upaya Pemerataan Energi Indonesia

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, Sudirman Said: Tim yang Kalah Harus Hormati Putusan MK

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, Sudirman Said: Tim yang Kalah Harus Hormati Putusan MK

Nasional
Cuti, AHY Akan Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran di KPU

Cuti, AHY Akan Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran di KPU

Nasional
Persiapkan Leaders’ Retreat, Menlu Singapura Temui Menko Airlangga Bahas Kerja Sama dan Isu Strategis

Persiapkan Leaders’ Retreat, Menlu Singapura Temui Menko Airlangga Bahas Kerja Sama dan Isu Strategis

Nasional
Pesan Terakhir Pria yang Ditemukan Tewas di Kontrakan Depok, Minta Jasadnya Dikremasi

Pesan Terakhir Pria yang Ditemukan Tewas di Kontrakan Depok, Minta Jasadnya Dikremasi

Nasional
Profil Mooryati Soedibyo: Mantan Wakil Ketua MPR dan Pendiri Mustika Ratu yang Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Profil Mooryati Soedibyo: Mantan Wakil Ketua MPR dan Pendiri Mustika Ratu yang Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Nasional
Pendiri Mustika Ratu, Mooryati Soedibyo, Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Pendiri Mustika Ratu, Mooryati Soedibyo, Meninggal Dunia di Usia 96 Tahun

Nasional
Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada, KPU Siap Sempurnakan Sesuai Saran MK

Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada, KPU Siap Sempurnakan Sesuai Saran MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com