Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita ABK WNI di Kapal China, Kerap Konsumsi Makanan Busuk, Dipukul, Disiksa, dan Dilarung

Kompas.com - 19/08/2022, 06:16 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Sejumlah pemuda asal Aceh mengaku tergiur iming-iming gaji besar dan bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) berbendera China.

Sempat bertahan dalam kondisi “seperti perbudakan dan penuh penyiksaan”, pegiat HAM mengatakan negara harus hadir.

Muhammad Sidik (28) berkata tidak akan pernah lagi tergiur untuk bekerja di kapal asing, betapa pun besar iming-iming gaji yang ditawarkan.

Pengalamannya pada 2019, ia sebut sebagai kesalahan terbesar dan tidak akan diulangi lagi.

Tiga tahun lalu, Sidik sebetulnya sudah bekerja sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) di salah satu kantor pemerintahan Kota Lhokseumawe dengan gaji Rp 300.000 per bulan.

Baca juga: Terjebak di Dalam Palka Kapal China Express, Dua Pekerja PT KRN Tewas

Pertemuannya dengan seorang agen, orang yang dipercaya dan telah dikenalnya sejak lama mengubah jalan hidupnya.

Agen itu menawari Sidik bekerja di atas kapal penangkap cumi-cumi asal China dengan gaji pokok sebesar US$300 per bulan, atau sekitar Rp4,2 juta.

“Katanya, panjang kapal 150 meter dan pekerjaan [di kapal] dilakukan oleh robot,” cerita Sidik kepada wartawan Aceh, Hidayatullah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Bertekad untuk memperbaiki kondisi ekonomi, pada Mei 2019, Sidik mengemasi pakaian dan berangkat dari Aceh ke Jawa untuk bersiap menjadi ABK.

Baca juga: Awak Kapal China Dievakuasi Basarnas di Perairan Tanakeke Takalar akibat Luka Sobek

Dari Pulau Jawa, setelah menunggu pengurusan berbagai dokumen dan kontrak kerja, dia dan beberapa orang lain dikirim ke Beijing untuk selanjutnya menunggu keberangkatan kapal penangkap cumi yang dijanjikan.

Baru naik geladak, Sidik segera menyadari bahwa janji-janji sebelumnya adalah bohong. Kapal yang ditumpanginya hanya sepanjang 75 meter dan seluruh pekerjaan dilakukan secara manual oleh ABK seperti dia.

Kehidupan di tengah laut yang keras langsung menghadapinya.

“Ada satu pengatur ABK yang arogan. Misalnya, ketika kami sakit, tetap disepak [ditendang] disuruh kerja. Kami tidak bisa melawan, karena jumlah [ABK dari Indonesia] hanya empat orang, sementara orang China ada 28 orang,” kata Sidik.

Baca juga: Fadli Zon soal Kapal China Mondar-mandir di Laut Natuna Utara: Perkuat Alutsista

Di atas semua penyiksaan itu, Sidik dan teman-temannya juga kerap tidak diberi makanan yang layak. Kerap kali, mereka harus mengonsumsi makanan yang sudah membusuk.

“Ayam sudah hijau, tapi bagaimana lagi, kalau tidak makan ya, mati," kata dia.

Selama nyaris setahun melaut itu, Sidik juga tak bisa berkontak dengan keluarganya.

Sampai-sampai Kasniati, ibu Sidik, sempat berpikir anak pertamanya itu telah meninggal dunia dan jenazahnya dilarung di laut seperti dalam video yang viral pada 2020.

“Saya sedih dan terus menangis karena tidak bisa menghubungi dia. Saya sempat juga berfikir seperti itu, bahwa anak saya meninggal lalu dibuang ke laut,” kata Kasniati.

Tapi Sidik selamat dan akhirnya bisa pulang ke Aceh. Meski, gaji yang ditunggu-tunggu ternyata tak dibayarkan dengan penuh.

“Total saya terima hanya lebih kurang Rp2,5 juta,” sebutnya.

Halaman:
Komentar
yahhhhhh..... biasalah.... negara komunipretz ... janji semanis madu


Terkini Lainnya
Seorang Warga Tewas Diduga Dianiaya KKB di Yahukimo, Tubuh Penuh Luka
Seorang Warga Tewas Diduga Dianiaya KKB di Yahukimo, Tubuh Penuh Luka
Regional
Densus 88 Tutup Yayasan yang Terafiliasi dengan Jaringan NII di Jambi
Densus 88 Tutup Yayasan yang Terafiliasi dengan Jaringan NII di Jambi
Regional
Jumbara PMR IV Banten Tuai Apresiasi IFRC dan PMI Jepang, 376 Remaja Unjuk Aksi Kemanusiaan
Jumbara PMR IV Banten Tuai Apresiasi IFRC dan PMI Jepang, 376 Remaja Unjuk Aksi Kemanusiaan
Regional
Belalai Gajah Punya 150.000 Otot, Bisa Apa Saja?
Belalai Gajah Punya 150.000 Otot, Bisa Apa Saja?
Regional
Anaknya Hilang di KMP Tunu Pratama, Sang Ibu: Saya Akan Tunggu Sampai Dia Ketemu
Anaknya Hilang di KMP Tunu Pratama, Sang Ibu: Saya Akan Tunggu Sampai Dia Ketemu
Regional
Gempa M 4,9 Guncang Maluku, 2 Rumah Ambruk, Warga Mengungsi ke Pegunungan
Gempa M 4,9 Guncang Maluku, 2 Rumah Ambruk, Warga Mengungsi ke Pegunungan
Regional
Aktivitas Magma Gunung Lewotobi Meningkat
Aktivitas Magma Gunung Lewotobi Meningkat
Regional
Mahasiswa Kerja Jadi Penambal untuk Uang Kuliah, Tewas Dihantam Ban Meledak
Mahasiswa Kerja Jadi Penambal untuk Uang Kuliah, Tewas Dihantam Ban Meledak
Regional
Anggota DPR: Kalau KemenHAM Jadi Penjamin Pelaku Intoleransi, Siapa Lindungi Korban?
Anggota DPR: Kalau KemenHAM Jadi Penjamin Pelaku Intoleransi, Siapa Lindungi Korban?
Regional
Penyebab Kebakaran Hutan di Riau Terus Diselidiki, Polisi: Di Lokasi Ada Spot Mancing
Penyebab Kebakaran Hutan di Riau Terus Diselidiki, Polisi: Di Lokasi Ada Spot Mancing
Regional
Kebakaran Hutan 100 Hektar di Samosir, Diduga Pengguna Jalan Buang Puntung Rokok
Kebakaran Hutan 100 Hektar di Samosir, Diduga Pengguna Jalan Buang Puntung Rokok
Regional
Terus Rasakan Getaran Gempa, Warga Amalatu Maluku Mengungsi ke Pegunungan
Terus Rasakan Getaran Gempa, Warga Amalatu Maluku Mengungsi ke Pegunungan
Regional
Hamili Anak Pacarnya yang Masih 13 Tahun, Pria di Teluk Bintuni Kabur Saat Diamankan Polisi
Hamili Anak Pacarnya yang Masih 13 Tahun, Pria di Teluk Bintuni Kabur Saat Diamankan Polisi
Regional
Susi Air Ingin Tambah Penerbangan ke Karimunjawa, Susi Pudjiastuti: Kalau Butuh 5 Kali Sehari Kami Siap
Susi Air Ingin Tambah Penerbangan ke Karimunjawa, Susi Pudjiastuti: Kalau Butuh 5 Kali Sehari Kami Siap
Regional
Ayah di Banjarmasin Aniaya Anak Kandung, Disaksikan Istri hingga Tetangga
Ayah di Banjarmasin Aniaya Anak Kandung, Disaksikan Istri hingga Tetangga
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau