Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli Jerman Pelajari Hal Baru Soal Anak Krakatau, Apa Kata Surono?

Kompas.com - 05/10/2019, 19:32 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

Sumber PHYSORG

KOMPAS.com - Awal Oktober ini, tim peneliti dari Jerman mengeluarkan hasil riset tentang Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, Indonesia. Mereka mengklaim, telah menemukan tanda sebelum longsoran atau runtuhan GAK yang memicu tsunami pada 22 Desember 2018.

Dalam jurnal ilmiah yang terbit di Nature Communication, ahli vulkanologi Jerman ungkap beberapa sinyal yang dapat mendeteksi runtuhan gunung berapi. Temuan ini diharap dapat dimanfaatkan untuk peringatan dini gunung berapi lain di masa depan.

Jurnal tersebut menyebutkan, runtuhan Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 telah memicu tsunami yang menewaskan 430 orang.

Meski begitu, ahli vulkanologi Indonesia Surono, memiliki pandangan lain.

Baca juga: Volume Runtuhan Gunung Anak Krakatau Desember 2018 Kecil, tapi Merusak

Hasil penelitian

Tim penelitian Jerman yang dipimpin oleh Thomas Walter, ahli vulkanologi di GFZ melakukan analisis lewat data satelit, data seismik, dan gelombang bunyi.

Dilansir phys.org, Rabu (2/10/2019), data satelit yang digunakan Thomas dan timnya menunjukkan peningkatan suhu dan gerakan tanah di sisi barat daya, beberapa bulan sebelum bencana.

Sementara itu, data seismik dan gelombang bunyi melihat frekuensi rendah gempa bumi berkekuatan kecil, dua menit sebelum GAK lengser.

Baca juga: Sarjana-sarjana yang Nyemplung Got demi Jadi PPSU...

"Melalui Gunung Anak Krakatau, kami mengamati untuk pertama kalinya, bagaimana erupsi vulkanik terjadi dan tanda bahaya sebelumnya," ujar Thomas.

"Kami menggunakan serangkaian metode yang sangat luas, dari pengamatan satelit hingga data seismik di darat, infrasonik data drone, pengukuran suhu, hingga analisis kimia produk erupsi," kata Thomas Walter.

Thomas mengklaim, data setelah tsunami memungkinkan ahli menganalisis peristiwa serupa di lokasi berbeda. Dengan kata lain, data ini dianggap berguna untuk menyusun sistem peringatan dini bencana.

Baca juga: Trump: Tarif Impor 32 Persen Bisa Dihapus jika Indonesia Bangun Pabrik di AS

Tanggapan ahli vulkanologi Indonesia

Kompas.com menghubungi ahli vulkanologi Surono dan meminta pendapatnya terhadap temuan baru tersebut. Secara spesifik, kami juga bertanya apakah temuan itu berguna sebagai masukan untuk sistem peringatan dini bencana.

Surono menyangsikan adanya manfaat tersebut. Pasalnya, menurut dia, tidak ada yang bisa benar-benar memprediksi tanda-tanda sebuah letusan, longsor, tsunami, dan bencana alam lainnya.

"Memangnya (peneliti) Jerman pernah pantau aktivitas gunung api atau daerah rawan longsor hingga (memberi) peringatan kapan akan terjadi letusan atau longsoran? Semua bisa bilang ini dan itu, setelah terjadi. Sebelumnya, memangnya bisa?" kata Surono lewat pesan teks, Jumat (5/10/2019).

Baca juga: 1 Juta Lebih Sarjana Menganggur, Anggota DPR: Ini Kegagalan Sistemik

Surono memberi contoh kejadian erupsi Gunung Kelud tahun 2007. Selama lebih dari 100 tahun sejak 1990, letusan Kelud selalu bersifat eksplosif. Namun dalam kejadian 2007, letusannya ternyata efusif, padahal tanda-tandanya mirip.

"Semua tanda-tanda (jelang letusan 2007) sama seperti jelang letusan eksplosif 1990. Ketahuan (begitu) dan semua ngomong bla bla bla (soal) penyebab letusan efusif setelah itu terjadi," ungkapnya.

Halaman:
Komentar
assalamualaikum. mas muhammad. untuk huruf alloh.. bisa diganti huruf besar. mohon maaf dan tq so much


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Kisah Penemuan Kerabat T-Rex, Tersembunyi di Laci Museum Selama 50 Tahun
Kisah Penemuan Kerabat T-Rex, Tersembunyi di Laci Museum Selama 50 Tahun
Fenomena
Planet Baru Mirip Bumi Ditemukan Mengorbit Bintang Katai 
Planet Baru Mirip Bumi Ditemukan Mengorbit Bintang Katai 
Fenomena
Mengapa Evolusi Bisa Menjelaskan Ukuran Testis Manusia Tapi Tidak Dagu Kita yang Unik
Mengapa Evolusi Bisa Menjelaskan Ukuran Testis Manusia Tapi Tidak Dagu Kita yang Unik
Kita
Paus Pembunuh Berbagi Mangsa dengan Manusia: Tanda Kepedulian atau Rasa Ingin Tahu?
Paus Pembunuh Berbagi Mangsa dengan Manusia: Tanda Kepedulian atau Rasa Ingin Tahu?
Oh Begitu
Apakah Kucing Satu-Satunya Hewan yang Bisa Mengeluarkan Suara Mendengkur?
Apakah Kucing Satu-Satunya Hewan yang Bisa Mengeluarkan Suara Mendengkur?
Oh Begitu
Siapakah Pemburu Terhebat dan Terburuk di Dunia Hewan? 
Siapakah Pemburu Terhebat dan Terburuk di Dunia Hewan? 
Oh Begitu
Misteri Sepatu Raksasa Romawi Kuno, Siapakah Pemiliknya?
Misteri Sepatu Raksasa Romawi Kuno, Siapakah Pemiliknya?
Oh Begitu
Bagaimana Wujud Neanderthal dan Denisovan Jika Masih Hidup Hari Ini?
Bagaimana Wujud Neanderthal dan Denisovan Jika Masih Hidup Hari Ini?
Kita
NASA Temukan Objek Antar-Bintang yang Melintas Cepat di Tata Surya
NASA Temukan Objek Antar-Bintang yang Melintas Cepat di Tata Surya
Fenomena
Keindahan Planet Merkurius Terlihat Jelas di Langit Senja Juli Ini
Keindahan Planet Merkurius Terlihat Jelas di Langit Senja Juli Ini
Oh Begitu
Ditemukan, Planet Ekstrem yang Memicu Semburan Energi di Bintang Induknya
Ditemukan, Planet Ekstrem yang Memicu Semburan Energi di Bintang Induknya
Oh Begitu
Bisakah Serigala dan Rubah Kawin Silang? Ini Jawaban Ilmiahnya
Bisakah Serigala dan Rubah Kawin Silang? Ini Jawaban Ilmiahnya
Oh Begitu
Satelit “Zombie” NASA Kembali Hidup, Pancarkan Sinyal Radio Setelah 60 Tahun Mati Total
Satelit “Zombie” NASA Kembali Hidup, Pancarkan Sinyal Radio Setelah 60 Tahun Mati Total
Oh Begitu
Teleskop Webb Ungkap Rahasia Materi Gelap di Zona Tabrakan Kosmik
Teleskop Webb Ungkap Rahasia Materi Gelap di Zona Tabrakan Kosmik
Fenomena
Peneliti Temukan Saklar Kolesterol, Harapan Baru Cegah Penyakit Jantung, Diabetes, dan Kanker
Peneliti Temukan Saklar Kolesterol, Harapan Baru Cegah Penyakit Jantung, Diabetes, dan Kanker
Kita
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau