Oleh: Raja Oloan Tumanggor
VIRUS corona baru atau Covid-19 telah merambat hampir di seluruh dunia, sehingga organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkannya sebagai pandemi.
Data terbaru yang dilansir dari Worldometers per 28 April 2020 mengemukakan bahwa virus corona telah menjangkiti 3.080.101 orang di seluruh dunia dengan kematian mencapai 212.265 orang dan yang dinyatakan sembuh 929.077 orang.
Dalam perhitungan global, Indonesia menduduki urutan 36 dari 210 negara dengan 9.511 kasus di mana 773 meninggal dan 1.254 orang sembuh.
Berdasarkan data itu virus corona telah menjadi ancaman serius bagi penduduk dunia. Tidak heran berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi wabah ini. Dampak yang ditimbulkan juga kena langsung ke masalah sosial, politis, ekonomis, dan psikologis.
Pemerintah melalui berbagai kebijakan ekonomi dan politis berusaha mengatasi. Para peneliti bidang kesehatan bekerja keras di laboratorium mencari vaksin yang bisa meminimalisir, mencegah atau bahkan mengobati penyakit ini.
Sementara itu, para dokter dan tenaga medis berjuang di garda terdepan menyelamatkan jiwa para pasien yang terpapar virus corona mematikan itu.
Di sisi lain, penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang saat ini telah berjalan diperpanjang lagi.
Physical distancing guna memutus rantai penyebaran virus telah berdampak pada persoalan ekonomis, di mana banyak perusahaan tidak beroperasi, sehingga terpaksa karyawannya di-PHK.
Akibatnya, angka pengangguran melonjak dan pekerja sektor informal kesulitan mendapatkan nafkah.
Namun, pandemi Covid-19 bukan hanya menjadi persoalan medis dan ekonomis, tapi juga menyangkut persoalan etis.
Etika atau filsafat moral adalah cabang filsafat yang mengulas baik buruknya sikap dan tindakan manusia.
Berbagai persoalan etis muncul ke permukaan, dengan yang paling menonjol ialah persoalan di bidang etika medis, karena para dokter dan para perawat harus segera mengambil keputusan ketika berhadapan dengan pasien Covid-19.
Kriteria apa yang harus digunakan para dokter dan perawat untuk menangani pasien Covid-19 yang membludak, padahal tenaga dokter dan perawat amat terbatas?
Bila alat bantu pernapasan (ventilator) lebih sedikit dari pada pasien Covid-19 yang sedang sekarat, kepada pasien yang mana alat bantu pernapasan itu mesti diutamakan?
Selain persoalan etika medis di atas, muncul juga persoalan etis dari para penentu kebijakan publik.
Para kepala negara dan pemerintahan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia telah memberlakukan pembatasan mulai dari tingkat moderat, seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga lockdown dengan maksud menyelamatkan warga dari Covid-19.
Akan tetapi, dampak dari penghentian kegiatan ekonomi dan bisnis selama pembatasan sosial ini telah menyebabkan jutaan orang menderita karena kehilangan pekerjaan, bahkan ada sebagian sampai mati kelaparan karena tidak memiliki akses menerima bantuan.
Dalam menyikapi pandemi Covid-19, para pengambil kebijakan kerap berhadapan dengan keputusan dilematis.
Contohnya kebijakan pemberlakuan PSBB. Di satu sisi, kebijakan itu bertujuan menghentikan penyebaran virus corona agar masyarakat tidak tertular. Namun, di lain pihak, hal itu dapat melumpuhkan roda perekonomian sehingga dapat berdampak pada peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan.
Kalau PSBB tidak diberlakukan dan roda perekonomian berlangsung normal, angka penularan virus corona diperkirakan akan meningkat tajam. Korban meninggal pun tentu akan semakin bertambah.