Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Program Nuklir Iran dan Sanksi Embargo Minyak

Baca di App
Lihat Foto
AFP PHOTO / HANDOUT
Foto yang dirilis pada 9 April 2019 oleh kantor kepresidenan Iran, menampilkan Presiden Iran Hassan Rouhani (kanan) saat mengunjungi fasilitas teknologi nuklir Iran di Teheran.
|
Editor: Nibras Nada Nailufar

KOMPAS.com - Konflik Iran dengan Amerika Serikat yang digadang-gadang sebagai Perang Dunia Ketiga, dilatarbelakangi salah satunya oleh isu nuklir.

Mayoritas negara di dunia telah sepakat untuk tidak mengembangkan senjata nuklir sejak 1968 lewat Nuclear Non-proliferation Treaty (Perjanjian Non-proliferasi Nuklir)

Perjanjian itu mengatur nuklir boleh dikembangkan, asal untuk kepentingan positif seperti pembangkit listrik.

Namun Iran diduga telah melanggar kesepakatan ini dengan mengembangkan teknologi nuklir untuk kepentingan militer.

Baca juga: Ihwal Nuklir Iran, Cuma Diplomasi Solusinya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Langkah itu membuat Iran disanksi dan dikucilkan oleh negara-negara lain, salah satunya Amerika Serikat. Sebagai negara adidaya, embargo Amerika Serikat terhadap minyak Iran sampai melemahkan ekonomi Iran.

Mengapa Amerika Serikat begitu keras terhadap Iran? Berikut sejarah program nuklir Iran seperti dikutip dari Encyclopaedia Britannica...

Senjata pemusnah massal

Di antara isu-isu kebijakan luar negeri Iran yang kontroversial, kemampuan nuklirnya mungkin salah satu yang paling disoroti.

Program nuklir Iran menjadi perhatian dunia pada 2002 ketika sekelompok kritikus Iran mengungkapkan bahwa pemerintahnya tengah membangun fasilitas pengolah uranium dan reaktor air berat.

Baca juga: Langgar Aturan Pengayaan Uranium, Iran Bakal Hadapi Sanksi Tambahan dari AS

Uranium adalah bahan utama dalam nuklir. Sementara air berat, digunakan dalam reaktor nuklir sebagai zat pendingin dan pelambat neutron.

Iran bersikukuh program nuklirnya ditujukan untuk perdamaian dunia. Namun negara-negara lain mencurigai Iran sebenarnya sedang mengembangkan senjata nuklir.

Pasalnya, sejak berdiri sebagai negara republik, Iran selalu terlibat perang dengan tetangganya, Irak.

Negara-negara lain menuntut agar Iran mengentikan program nuklirnya. Tekanan dari negara-negara lain ini membuat Iran menunda program nuklirnya pada 2003.

Lihat Foto
Fardanews/Deutsche Welle
Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad
Ahmadinejad

Sayangnya, program nuklir Iran kembali menjadi isu ketika Ahmadinejad terpilih sebagai Presiden Iran pada 2005.

Baca juga: Cadangan Uranium Iran Bakal Melebihi Batas pada 27 Juni

Ahmadinejad melanjutkan program nuklirnya. Bahkan Iran meminta International Atomic Energy Agency agar menetapkan batasan baru.

International Atomic Energy Agency adalah organisasi yang bertanggung jawab memeriksa lokasi nuklir.

Sayangnya, diskusi di tataran internasional gagal membuat Iran menunda program nuklirnya.

Sehingga pada 2006, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan sanksi pertama atas program nuklir Iran.

Ahmadinejad yang mati-matian membela hak Iran meneliti nuklir, tak peduli dengan sanksi yang dijatuhkan komunitas internasional.

Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran yang Sederhana

Sebuah laporan National Intelligence Estimate (NIE) yang diterbitkan intelijen AS pada 2007 memperkirakan dengan sangat yakin bahwa Iran memang telah menghentikan program nuklirnya pada 2003, namun melanjutkannya pada 2007.

Kendati demikian, pada 2008, International Atomic Energy Agency menemukan sejumlah bukti bahwa Iran melanjutkan program nuklirnya kendati telah dihentikan sejak 2003.

Ketegangan bertambah dengan langkah Iran menguji rudal balistik medium dan jarak jauhnya. Uji rudal itu dilakukan terbuka pada 2009.

Di saat yang sama, terungkap bahwa Iran tengah membangun fasilitas pengolah Uranium rahasia yang dijaga ketat di bawah tanah kota Qom.

Baca juga: Rudal Iran Dirancang untuk Menyerang Rezim Zionis

Pengembangan uranium itu membuat Iran menerima sanksi lagi dari PBB. Begitu juga AS dan Uni Eropa yang mengembargo minyak dan gas Iran.

Padahal, Iran adalah salah satu penyuplai minyak dan gas terbesar di dunia. Minyak dan gas adalah industri andalan yang jadi sumber penghasilan Iran.

Perjanjian Nuklir

Ketika Presiden Hassan Rouhani terpilih pada 2013, kebijakan nuklir Iran berubah. Rouhani berusaha melepaskan Iran dari sanksi dan memperbaiki hubungan dengan negara-negara Barat.

Ketika menyampaikan pidato di Sidang Umum PBB pada September 2013, Rouhani berkomunikasi dengan Presiden AS kala itu, Barack Obama.

Obrolan lewat telepon dengan Obama adalah komunikasi pertama pemimpin Iran dengan pemimpin AS sejak 1979.

Baca juga: Iran, Negara Kaya Sumber Daya yang Kerap Berkonflik

Kedua negara, bersama China, Rusia, Perancis, Jerman, dan Inggris bernegosiasi pada awal November 2013.

Di akhir bulan, tercapai kesepakatan untuk membatasi program nuklir Iran. Sebagai imbalannya, negara-negara itu meringankan sanksi Iran.

Negosiasi ini berjalan lambat. Pihak-pihak yang terlibat harus beberapa kali merumuskan ulang kesepakatan.

Hingga pada April 2015, Iran dan negara-negara itu sepakat membangun kerangka perjanjian. Perjanjian itu menyatakan Iran akan menyerahkan 98 persen olahan uraniumnya.

Selain itu, laboratorium dan fasilitas pengolahan uraniumnya akan diawasi. Gantinya, sanksi terhadap Iran akan dikurangi.

Baca juga: Iran dan Hubungan Bilateral dengan Indonesia

Perjanjian ini, Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau kerap disebut Nuclear Deal (Perjanjian Nuklir), disepakati pada Juli 2015.

Iran dipaksa mengurangi persediaan nuklirnya dan membolehkan International Atomic Energy Agency memeriksa fasilitas nuklirnya.

Pada Januari 2016, sanksi ekonomi terhadap Iran ditarik setelah PBB mengaku puas terhadap langkah Iran memenuhi janji dalam kesepakatannya.

Lihat Foto
AFP
Konten website pemerintahan Amerika Serikat yang diretas oleh hacker Iran
Donald Trump cederai janji

Di awal Mei 2018, Presiden AS Donald Trump tiba-tiba mengumumkan negaranya akan mundur dari Perjanjian Nuklir.

Dengan kasar, ia mengkritik poin-poin perjanjian yang menurutnya kurang. Selain itu, Trump mengatakan AS akan lanjut mengembargo Iran pada November.

Baca juga: Sistem Pemerintahan Iran

Sikap Trump ini langsung dikritik Iran. Negara-negara yang ikut dalam perjanjian itu juga kecewa dengan Trump.

Iran dan negara lain yang ada dalam perjanjian itu memutuskan tetap setia mengikuti janji. Kendati mereka belum mengetahui dampak mundurnya AS dari perjanjian.

Sebab, sanksi AS tak hanya mengembargo minyak Iran. Negara-negara dan perusahaan yang terus berdagang dengan Iran, akan terkena penalti. Otomatis, negara-negara yang ada dalam Perjanjian terpaksa melanjutkan sanksinya terhadap Iran.

Selama beberapa bulan, seluruh dunia termasuk Indonesia, bersiap menghadapi dampak sanksi terhadap minyak dan gas Iran.

Semua negara dan bisnis ramai-ramai menyetop impor dan bisnis dengan Iran.

Baca juga: Studi Pentagon: Rudal Iran Tak Tertandingi di Timur Tengah

Uni Eropa berusaha mengakalinya dengan mengembangkan entitas khusus agar perusahaan-perusahaan di Eropa tak terkena penalti ketika berbisnis dengan Iran. Entitas ini dikenal sebagai Instrument in Support of Trade Exchanges (INSTEX).

Embargo yang merugikan Iran

Sanksi embargo mulai berlaku efektif 5 November 2018. Mereka yang dikecualikan oleh AS yakni China, India, Italia, Yunani, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Turki.

Mereka terus mengimpor minyak dari Iran selama enam bulan. Pengecualian ini hanya berlaku sampai Mei 2019.

Efek dari embargo ini memukul perekonomian Iran. Produk Domestik Bruto (GDP) merosot drastis. Inflasi mencapai puncaknya sejak rekor pada tahun 1990-an.

Baca juga: Puluhan Tahun Diembargo AS, Bagaimana Ekonomi Iran?

Pada musim semi 2009, ketika Iran mengalami banjir parah yang berdampak pada 2.000 permukiman, Iran menyatakan embargo itu menghambat bantuan dari luar negeri.

Pada Mei 2019, dengan makin ketatnya embargo dan tak berdayanya upaya Uni Eropa, Rouhani mengumumkan akan mundur dari Perjanjian Nuklir.

Seiring berjalannya waktu Iran mulai melanggar janji-janjinya dalam Kesepakatan Nuklir. Kendati demikian ia menyatakan akan kembali jika negara-negara dalam perjanjian itu mengangkat sanksi.

Dampak sanksi ini membuat Iran murka. Beberapa kali Iran terlibat konflik dan serangan di Timur Tengah. Beberapa insiden ini melibatkan kapal-kapal di Teluk Oman, di samping insiden lainnya.

Baca juga: Sebelum Serangan Kapal Tanker di Teluk Oman, Iran Hendak Tembak Drone AS

Setelah drone mata-mata AS ditembak Iran pada Juni 2019 lalu, AS hendak membalasnya dengan serangan udara, namun buru-buru dibatalkan di menit akhir.

Pada September lalu, dua fasilitas produsen minyak Saudi Aramco menerima serangan dari Iran. Namun Iran membantah dan mengaku serangan itu dilancarkan oleh kelompok pemberontak Houthi di Yaman.

Pada pertengahan November, dengan semakin menggerusnya embargo, pemerintah Iran terpaksa menaikkan tarif minyaknya. Padahal selama ini, tarif minyak dalam negeri sebagian besar disubsidi.

Kebijakan ini menuai aksi unjuk rasa di seluruh belahan Iran. Aparat keamanan sampai harus bertindak represif dan mematikan akses internet.

Selisih dengan Irak dan kematian Soleimani

Tetangganya, Irak, juga tengah memprotes Iran karena telah ikut campur dalam urusan dalam negerinya. Pada 27 November 2019, Konsulat Iran di Al-Najaf, Irak, dibakar.

Baca juga: Merunut Akar Konflik Iran-Amerika Serikat, Sejak Kapan Perseteruan Dimulai?

Sebulan kemudian, milisi Irak yang didukung Iran menyerang pangkalan udara Irak yang dijaga tentara AS. AS membalas lagi dengan menyerang milisi itu.

Pada 3 Januari 2020, Komandan pasukan elite al-Quds Iran Qasem Soleimani yang juga seorang jenderal top di Timur Tengah, tiba di Bandar Udara Internasional Baghdada untuk menemui komandan milisi Irak tersebut.

Namun keduanya tewas setelah AS melancarkan serangan udara.

Menyusul kematian Soleimani, Iran bersumpah akan balas dendam. Iran menyalahkan negara-negara dalam Perjanjian Nuklir yang tak memenuhi janji mereka menghapus sanksi bagi Iran.

Iran akan terus mengembangkan nuklirnya. Pada 8 Januari, sebagai aksi balas dendam, Iran meluncurkan rudal balistik ke pangkalan Irak yang digunakan tentara AS. AS mengaku tak ada korban dari aksi itu.

Baca juga: Mengapa Trump Nekat Pancing Iran melalui Serangan yang Tewaskan Qasem Soleimani?

Lihat Foto
Lihat Foto
Lihat Foto

Lihat Foto
Lihat Foto
Lihat Foto
Lihat Foto
Lihat Foto

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi