Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Luar Negeri Iran: Dukung Ekstremis dan Diembargo Dunia

Baca di App
Lihat Foto
via Sky News
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump (kanan) dan Presiden Iran Hassan Rouhani.
|
Editor: Nibras Nada Nailufar

KOMPAS.com - Sejak menjadi negara republik pada 1979, Iran selalu bermasalah dalam menjalin hubungan dengan negara lain.

Dilansir dari Encyclopaedia Britannica (2015), Iran yang tadinya sangat berorientasi ke barat, mendadak berubah menjadi negara Islam Syiah.

Perubahan yang dikenal dengan Revolusi Iran itu memaksa masyarakat hidup dan beraktivitas mengikuti syariat Islam.

Perang dengan Irak

Sebagai satu-satunya negara Syiah di dunia, Iran hampir selalu berkonflik dengan tetangganya, Irak.

Baca juga: Sistem Pemerintahan Iran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Iran-Irak berlangsung cukup lama. Mulai dari 22 September 1980 hingga 20 Agustus 1988. Perang bermula ketika Irak menginvasi Iran.

Irak khawatir Revolusi Iran akan memicu golongan Syiah di Irak untuk melakukan hal serupa. Perang juga dilatarbelakangi sengketa perbatasan yang telah berlangsung lama.

Iran tak hanya digempur oleh pasukan Irak, namun juga sekutu-sekutu Irak. Sekutu Irak yakni Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, Perancis, dan sebagian besar negara-negara Arab.

Perang berkepanjangan ini menguras kekayaan Iran. Setelah perang berhenti, Iran berusaha memperbaiki hubungannya dengan negara-negara Barat demi perbaikan ekonomi.

Kendati demikian, Iran memilih tak bergabung bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melawan invasi Irak ke Kuwait.

Baca juga: Iran, Negara Kaya Sumber Daya yang Kerap Berkonflik

Dukungan bagi kelompok ekstremis

Pada musim gugur 1991, Iran juga mengurangi campur tangannya di Lebanon. Iran kala itu diduga mendukung ekstremis syiah Lebanon yang menculik warga-warga negara Barat. Iran kemudian membantu membebaskan para tawanan.

Soal konflik Israel dan Palestina, Iran menolak ikut jalur damai. Iran mendukung kelompok-kelompok Islam di Lebanon dan di wilayah-wilayah yang dikendalikan oleh Pemerintah Palestina yang baru berdiri.

Iran juga diduga memberi sokongan dana ke aktivis Islam baik sunni maupun syiah di Alegeria, Sudan, Afghanistan, dan Tajikistan.

Hubungan yang memburuk dengan Barat

Hubungan Iran dengan Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat makin memburuk. Salah satu penyebabnya karena langkah Iran memburu penulis Salman Rushdie atas tuduhan penistaan agama.

Baca juga: Merunut Akar Konflik Iran-Amerika Serikat, Sejak Kapan Perseteruan Dimulai?

Iran tawarkan hadiah bagi kepala Rushdie. Selain itu, puluhan aktivis pengkritik Iran yang lari ke Eropa juga dihabisi dengan dukungan pemerintah Iran.

Pada 1992, Sadeqh Sharafkandi, politikus Partai Demokratis Iran Kurdistan dan tiga stafnya ditembaki di Berlin.

Kasus ini disidang selama empat tahun di Pengadilan Jerman. Pada 1997, Jerman menyimpulkan serangan itu diduga didalangi oleh para pemimpin Iran, Presiden Rafsanjani dan Ayatollah Khamenei.

Jerman kemudian mengambil tindakan keras dengan memutus semua hubungan diplomatik dan dagang dengan Iran. Adapun negara-negara Eropa lain masih melanjutkan hubungan dagangnya dengan Iran.

Para aktivis Iran yang mengasingkan diri ke Barat dan AS meyakini Iran perlu menumbuhkan demokrasi. Namun ada satu kelompok yang berpendapat sebaliknya.

Baca juga: Iran dan Hubungan Bilateral dengan Indonesia

Kelompok itu, Mujahidin Rakyat Iran, bermarkas di Irak. Mujahidin Rakyat Iran yang berideologi kiri ingin Iran adanya revolusi sosialis di Iran.

Kendati demikian, kelompok itu lama-lama berubah juga. Perempuan dijadikan pimpinan di kelompok itu. Banyak di antara tokohnya adalah golongan terpelajar Iran yang bersekolah di Eropa dan AS.

Invasi AS dan program nuklir

Hubungan AS dan Iran makin memburuk setelah aksi terorisme 9/11 di World Trade Center, New York. Serangan itu direspons AS dengan memburu para teroris.

AS pun mulai mengobok-obok Timur Tengah. Langkah AS ini ditentang oleh Iran. Tetangga-tetangga Iran, yakni Irak dan Afghanistan, diinvasi oleh AS. Iran melawannya lewat kelompok-kelompok milisi Islam.

Selain itu, mayoritas negara di dunia telah sepakat untuk tidak mengembangkan senjata nuklir sejak 1968 lewat Nuclear Non-proliferation Treaty (Perjanjian Non-proliferasi Nuklir).

Baca juga: Program Nuklir Iran dan Sanksi Embargo Minyak

Perjanjian itu mengatur nuklir boleh dikembangkan, asal untuk kepentingan positif seperti pembangkit listrik.

Namun Iran diduga telah melanggar kesepakatan ini dengan mengembangkan teknologi nuklir untuk kepentingan militer.

Langkah itu membuat Iran disanksi dan dikucilkan oleh negara-negara lain, utamanya oleh Amerika Serikat. Sebagai negara adidaya, embargo Amerika Serikat terhadap minyak Iran begitu ketat sampai melemahkan ekonomi Iran.

Memasuki 2020, perseteruan Iran dengan AS makin keras. AS membunuh jenderal top Iran Qasem Soleimani.

Iran membalasnya dengan melancarkan serangan ke pangkalan militer AS. Salah satu serangan tak sengaja malah mengenai pesawat komersil Ukraina dan membunuh 176 awak dan penumpangnya.

Baca juga: Akhirnya, Iran Akui Tak Sengaja Tembak Pesawat Boeing 737 Ukraina

 
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi