Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi Perang di Masa Pendudukan Jepang

Baca di App
Lihat Foto
SECTIE MILITAIRE GESCHIEDENES LANDMACHSTAF
Tentara Jepang berkendara di Jawa
|
Editor: Nibras Nada Nailufar

KOMPAS.com - Kendati tak pernah ikut perang dunia secara langsung, Indonesia pernah merasakan penderitaan akibat Perang Dunia II.

Saat itu, Indonesia tengah dijajah Jepang yang terlibat PD II melawan Sekutu.

Untuk memenangkan perang, Jepang memanfaatkan Indonesia yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia. Jepang memberlakukan ekonomi perang di Indonesia.

Apa itu ekonomi perang? Ekonomi perang adalah kebijakan mengerahkan semua kekuatan ekonomi untuk menopang keperluan perang.

Baca juga: Kedatangan Jepang di Indonesia, Mengapa Disambut Gembira?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (2019), di awal kedatangannya, Jepang memberlakukan ekonomi self help atau berusaha untuk memenuhi sendiri kebutuhan pemerintahan Jepang di Indonesia.

Jepang berusaha memperbaiki ekonomi Indonesia yang hancur. Ketika Jepang berusaha merebut Indonesia dari Belanda, Belanda memilih membumihanguskan obyek-obyek vital. Ini dimaksudkan agar Jepang kesulitan mengambil alih Indonesia.

Setelah berhasil merebut Indonesia dari Belanda, Jepang terpaksa memperbaiki sarana-sarana yang rusak. Sarana-sarana itu meliputi transportasi, telekomunikasi, dan bangunan-bangunan publik.

Baca juga: Perang Asia Timur Raya: Latar Belakang dan Posisi Jepang

Pengendalian perkebunan

Khusus perekebunan, dikeluarkan Undang-undang No 322/1942 yang menyatakan bahwa Gunseikan (kepala militer) langsung mengawasi perkebunan kopi, kina, karet, dan teh.

Pengawasan diserahkan kepada Saibai Kigyo Kanrikodan (SKK), badan pengawas yang dibentuk gunseikan. SKK juga bertindak sebagai pelaksana pembelian dan penentuan harga jual hasil perkebunan.

Bagi Jepang, hanya sedikit komoditas yang bisa berguna menunjang perang. Kopi, teh, dan tembakau diklasifikasikan sebagai para yang kurang berguna bagi perang.

Sehingga, perkebunan ini diganti dengan komoditas penghasil bahan makanan atau jarak yang bisa diolah sebagai pelumas.

Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan

Komoditas yang dipaksa Jepang untuk ditanam yakni karet, kina, gula, dan beras.

Di Jawa Timur, hampir seluruh pegawai di perkebunan di kareta diwajibkan bekerja. Akan tetapi di Kalimantan, hasil karet berlebih sebab pengangkutannya sulit.

Sementara gula, pabriknya sebagian besar dibumihanguskan Belanda ketika Jepang datang untuk merebutnya. Sebagian di antaranya berhasil diperbaiki.

Namun dalam perbaikan, Jepang kekurangan tenaga ahli. Jepang terpaksa masih menggunakan orang Belanda. Dari 85 pabrik gula di Jawa, sebanyak 13 berhasil diperbaiki.

Ketika persediaan gula berlebih di Jawa, Jepang kemudian melarang penanaman tebu dan gula. Pabrik gula diubah menjadi pabrik senjata.

Baca juga: Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia

Sementara beras yang kekurangan persediaannya, oleh Jepang diusahakan untuk ditanam di lahan-lahan baru.

Rakyat diminta menghancurkan tanaman kopi dan teh. Para tawanan dipaksa bekerja menanam padi.

Hanya Jepang yang bisa mengatur produksi, pungutan, penyaluran, dan penetapan harga padi.

Penggiling dan pedagang padi juga tidak boleh beroperasi sendiri, melainkan harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan.

Para petani harus menjual hasil produksi padunya sesuai kuota dan harga yang ditentukan. Petani berhak 40 persen atas keseluruhan hasil padi. Mereka tak bisa menikmati jerih payahnya sebagai petani.

Baca juga: Kedatangan Jepang di Indonesia, Mengapa Disambut Gembira?

Sementara 30 persen disetor ke pemerintah melalui penggilingan yang telah ditunjuk Jepang. Sisa 30 persennya untuk persiapan bibit dan disetor ke lumbung desa.

Rakyat pun menderita akibat peraturan ini. Akibat lainnya, hutan-hutan rusak akibat penebangan liar.

Jepang berusaha memperbaiki pertanian dengan menggelar pelatihan. Sayangnya, pelatihnya bukanlah ahli pertanian.

Pesertanya pun hanya mendapat pelatihan singkat. Akibatnya produksi pangan terus menurun. Turunnya produksi pangan juga diperparah dengan musim kemarau panjang pada 1944.

Baca juga: Organisasi Sosial Kemasyarakatan Bentukan Jepang

Industri merosot

Selain masalah pangan, sandang atau pakaian bahkan menjadi masalah. Banyak rakyat yang tak mempunyai pakaian yang layak.

Sebelumnya, urusan sandang sangat bergantung pada impor dari Belanda. Untuk mengatasi kekurangan sandang, Jepang memaksa petani menanam kapas dan membuka usaha konveksi.

Rakyat dilantuh untuk memintal bahan-bahan yang mengandung serat kapuk randu.

Namun tetap saja, industri tekstil tak bisa dihidupkan kembali. Sebab suplainya, yakni tanaman kapas, berkurang.

Baca juga: Jawa Hokokai, Organisasi Pergerakan pada Masa Pendudukan Jepang

Bahkan pada April 1944 sempat diadakan Pekan Pengumpulkan Pakaian untuk Rakyat Jelata. Sebab saat itu banyak rakyat yang hanya memakai karung hingga lembaran karet mentah.

Industri lain, oleh Jepang dibagi menjadi dua. Pertama, industri yang berguna langsung untuk perang seperti pabrik mesin, paku, kawat, dan baja pelapis granat.

Kendati demikian, industri itu sulit dijalankan sebab kekurangan suku cadang.

Sementara golongan kedua adalah barang-barang yang menyangkut kebutuhan rakyat.

Dalam bidang transportasi, Jepang merasa kekurangan kapal. Oleh karena itu Jepang mengembangkan industri kapal angkut dari kayu.

Baca juga: Gerakan Tiga A dan Propaganda Jepang

Bank dan keuangan

Kendati sangat anti-Belanda, Jepang tetap memepergunakan mata uang gulden di Indonesia. Tujuannya, agar harga barang tetap stabil.

Beberapa bank milik Belanda dilikuidasi dan diganti dengan bank-bank Jepang yakni Yokohama Ginko, Mitsui Ginko, dan Kana Ginko.

Bank-bank ini berada di bawah pengawasan Nanpo Keihatsu Kenso (Perbendaharaan untuk Kemajuaan Wilayah Selatan).

Salah satu bank, yakni Nanpo Kaihatsu Ginko, melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money.

Baca juga: Pemerintahan Sipil Jepang di Indonesia

Invasion money dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi. Mulai dari satu hingga sepuluh gulden. Uang Belanda kemudian digantikan oleh uang Jepang.

Jepang juga menarik pajak yang tinggi bagi keturunan Eropa dan Tionghoa. Kenaikannya mencapai 70 hingga 35 kali lipat dari pajak semasa era kolonial Hindia Belanda.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi