Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kondisi Indonesia Sebelum 1908

Baca di App
Lihat Foto
Nicholas Ryan Aditya
Koleksi meriam VOC yang ada di Museum Bahari, Jakarta, Selasa (8/10/2019)
|
Editor: Arum Sutrisni Putri

KOMPAS.com - Bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang bebas merdeka saat ini bila tidak ada usaha untuk bangkit dan melepaskan diri dari penjajahan.

Penjajah Belanda dapat menguasai bangsa Indonesia dalam waktu lama karena mudah dipecah belah dan perjuangan yang dilakukan bersifat kedaerahan.

Namun kesadaran rakyat di nusantara untuk bangkit dari penjajahan mulai tumbuh.

Periode yang disebut Kebangkitan Nasional mulai muncul seiring lahirnya generasi muda terdidik dan peduli terhadap kemerdekaan Indonesia.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pada 1908 muncul Boedi Oetomo, organisasi nasional pertama yang meletakkan semangat kebangkitan nasional bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.

Tetapi tahukah kamu bagaimana kondisi bangsa Indonesia sebelum 1908?

Baca juga: Galangan Kapal, Saksi Sejarah Bahari Era VOC

Kondisi Indonesia sebelum 1908

Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, negara-negara di Eropa melakukan ekspedisi untuk mencari sumber-sumber ekonomi baru ke seluruh dunia pada abad ke-15.

Pencarian sumber ekonomi baru karena rusaknya ekonomi Eropa akibat peperangan dan berkembangnya teknologi pelayaran.

Melalui ekspedisi tersebut, bangsa Eropa menemukan sumber ekonomi dan lahan baru untuk melakukan perdagangan.

Ternyata kemudian, bangsa Eropa tidak sekadar berdagang melainkan menguasai dan menjajah negara-negara yang dianggap baru diketemukan.

Penderitaan rakyat nusantara

Awal mula penjajahan Belanda di Indonesia terkait Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang berdiri pada 20 Maret 1602.

Berbagai bentuk kekerasan menimpa penduduk di nusantara dan mengakibatkan penderitaan dalam berbagai segi kehidupan. 

Beberapa peraturan penjajah Belanda yang menyengsarakan rakyat nusantara yaitu:

Baca juga: Memaknai Hari Kebangkitan Nasional (Bag 1)

VOC melakukan politik adu domba (devide et impera) yaitu saling mengadu domba antara kerajaan yang satu dengan kerajaan lain atau adu domba di dalam satu kerajaan di berbagai daerah di nusantara.

Politik adu domba ini berakibat pada makin melemahnya kerajaan-kerajaan di Indonesia dan merusak seluruh sendi kehidupan masyarakat di nusantara.

  • Kerja rodi 

Penduduk di nusantara makin menderita ketika Daendels berkuasa (1808-1811). Penerapan kerja paksa (rodi) untuk membangun jalan sepanjang pulau Jawa (Anyer-Panarukan) membuat rakyat makin sengsara.

  • Tanam paksa

Penderitaan berlanjut karena Belanda menerapkan Cultuurstelsel (tanam paksa). Aturan Tanam Paksa diterapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Den Bosch pada 1828.

Sistem Tanam Paksa mewajibkan rakyat menanam tanaman sesuai ketentuan pemerintah Hindia Belanda di sawah atau ladangnya. Hasil tanam paksa diserahkan pada pemerintah Hindia Belanda.

Tanam Paksa mengakibatkan rakyat diperas tenaga dan kekayaannya sehingga jatuh miskin.

Padahal penjajah mendapatkan kekayaan berlimpah dari nusantara untuk membangun negara Belanda menjadi kaya di Eropa.

Baca juga: Memaknai Hari Kebangkitan Nasional (Bag 2)

Perlawanan ulama dan bangsawan nusantara

Penderitaan rakyat di nusantara menumbuhkan benih perlawanan di berbagai daerah. Perjuangan melawan penjajah dipimpin ulama atau kaum bangsawan.

Para ulama atau kaum bangsawan di nusantara yang memimpin perjuangan melawan penjajah antara lain:

  • Sultan Hasanuddin di Sulawesi Selatan
  • Sultan Ageng Tirtayasa di Banten
  • Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat
  • Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah

Namun perjuangan tersebut belum berhasil karena perjuangan masih bersifat kedaerahan dan belum terorganisasi secara modern. 

Politik Balas Budi

Penderitaan rakyat di nusantara menyadarkan beberapa orang Belanda yang tinggal atau pernah tinggal di nusantara, antara lain:

  • Baron Van Houvell
  • Edward Douwes Dekker
  • Mr. Van Deventer

Baca juga: Hari Kebangkitan Nasional Harus Jadi Momentum Konsolidasi

Edward Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli menulis buku Max Havelaar pada 1860. Menggambarkan penderitaan rakyat Lebak, Banten akibat penjajahan Hindia Belanda.

Mr. Van Deventer mengusulkan agar pemerintah Belanda menerapkan politik balas budi "Etische Politic". Politik balas budi terdiri tiga program yaitu:

  1. Edukasi
  2. Transmigrasi
  3. Irigasi

Atas desakan berbagai pihak, akhirnya pemerintah Belanda menerapkan politik balas budi.

Namun, politik balas budi bukan untuk kepentingan rakyat Indonesia melainkan untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda.

Contoh Politik Balas Budi untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda:

  • Irigasi untuk pengairan perkebunan milik Belanda.
  • Pembangunan sekolah (edukasi) untuk menyediakan tenaga terampil dan murah.

Meski demikian, di sisi lain, pembangunan sekolah di nusantara menimbulkan dampak positif bagi bangsa Indonesia yaitu munculnya masyarakat terdidik.

Masyarakat terdidik ini mulai memiliki pemahaman dan kesadaran akan kondisi rakyat di nusantara yang sebenarnya.

Rakyat di nusantara dalam kondisi bodoh, terbelakang dengan kemiskinan di mana-mana.

Mereka yang mengenyam pendidikan dan sadar nasib rakyat di nusantara selanjutnya menjadi tokoh-tokoh kebangkitan nasional.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Sumber: Kemdikbud
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi