Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal

Baca di App
Lihat Foto
YURINDA HIDAYAT
Gedung Javasche Bank di Bandung, Jawa Barat
|
Editor: Nibras Nada Nailufar

KOMPAS.com - Kondisi perekonomian Indonesia pada masa Demokrasi Liberal (1949-1959) terseok-seok.

Ini dikarenakan politik dan perekonomian masih belum tertata dan belum stabil.

Keterpurukan ekonomi pada masa itu membuat pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan besar.

Kebijakan yang dimaksud di antaranya:

  1. Gunting Syafruddin
  2. Gerakan Benteng
  3. Nasionalisasi De Javasche Bank
  4. Sistem Ekonomi Ali-Baba
  5. Persaingan finansial ekonomi
  6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
  7. Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)

Berikut penjelasannya seperti dikutip dari buku Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) (2018):

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Demokrasi Liberal (1949-1959): Pengertian, Ciri-Ciri, dan Kegagalannya

Gunting Syafruddin

Gunting Syafruddin adalah kebijakan pemotongan nilai uang atau sanering yang diambil Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara.

Pada 20 Maret 1950, semua uang yang bernilai Rp 2,50 ke atas dipotong nilainya hingga setengahnya.

Tujuannya, menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp 5,1 miliar. Dengan kebijakan ini, jumlah uang yang beredar bisa berkurang.

Gerakan Benteng

Gerakan Banteng adalah sistem ekonomi yang bertujuan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional.

Sistem ini dicanangkan oleh Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo, ayah dari Prabowo Subianto.

Gerakan Benteng diwujudkan dengan menumbukan pengusaha Indonesia lewat kredit.

Sayangnya, program ini gagal karena pengusaha tak mampu bersaing.

Kegagalan ini justru menambah defisit anggaran dari Rp 1,7 miliar pada 1951 menjadi Rp 3 miliar pada 1952.

Baca juga: Apa Perbedaan Redenominasi dengan Sanering?

Nasionalisasi De Javasche Bank

Pada 1951, pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia.

Bank milik Belanda itu dijadikan sepenuhnya bank milik Indonesia untuk menaikkan pendapatan, menurunkan biaya ekspor, dan menghemat secara drastis.

Sebab sebelumnya, operasional De Javasche Bank masih membutuhkan persetujuan dari Belanda.

Dengan nasionalisasi bank milik Belanda, pemerintah lebih leluasa dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.

Sistem Ekonomi Ali-Baba

Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Menteri Perekonomian Kabinet Ali I, Iskaq Tjokrohadisurjo.

Program ini diberi nama Ali Baba karena melibatkan pengusaha pribumi (Ali) dan pengusaha keturunan Tionghoa (Baba).

Lewat program ini, pengusaha keturunan Tionghoa diwajibkan melatih tenaga pribumi.

Sebagai imbalan, para pengusaha keturunan Tionghoa akan mendapat bantuan kredit dan lisensi dari pemerintah.

Sayangnya, program ini tak berjalan sesuai harapan.

 Baca juga: Kondisi Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal

Persaingan Finansial Ekonomi

Utang kepada Belanda seperti yang disepakati lewat Konferensi Meja Bundar (KMB), memberatkan Indonesia.

Untuk itu, pada 7 Januari 1956, Indonesia memutuskan langkah Finansial Ekonomi (Finek). Isinya:

Persetujuan hasil KMB dibatalkan
Indonesia keluar dari Uni Indonesia-Belanda

Akibatnya, banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya. Di sisi lain, pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan-perusahaan itu.

Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merancang Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) dengan tujuan pembangunan dapat berjalan sesuai kerangka yang disepakati.

Sebab saat itu, kabinet pemerintahan kerap berganti. Akibatnya, pembangunan berjalan tersendat karena disibukkan persaingan politik.

RPLT disetujui DPR pada 11 November 1958. Pembiayaan Rp 12,5 miliar rencananya akan digunakan untuk pembangunan selama lima tahun dari 1956 sampai 1961.

Namun RPLT tak berjalan karena depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Perekonomian dalam negeri terkena imbasnya. Ekspor lesu dan pendapatan negara merosot.

Selain itu, gejolak politik membuat pembangunan tak bisa berjalan.

 Baca juga: Apakah Demokrasi Liberal Sungguh Menyejahterakan Masyarakat?

Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap)

Di masa Kabinet Juanda, terjadi kesenjangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Masalah ini diatasi dengan diadakannya Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap).

Munap mengubah rencana pembangunan yang sudah ditetapkan agar lebih sesuai dengan kebutuhan.

Kendati demikian, tetap saja Munap tak mampu menyelesaikan masalah.

Ini karena pemberontakan politik PRRI/Permesta. Kemudian kesulitan pemerintah dalam menentukan skala prioritas.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi