KOMPAS.com - Gunting Syafruddin adalah kebijakan pemotongan nilai uang atau sanering yang dilakukan Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara.
Kebijakan yang berani itu diambil untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia yang sedang merosot.
Di sisi lain, banyak yang mengritik kebijakan itu karena merugikan rakyat.
Lihat Foto
Latar belakang kebijakan Gunting Syafruddin
Melansir buku Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) (2018), Indonesia harus menghadapi berbagai masalah setelah kemerdekaan.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di Konferensi Meja Bundar, Indonesia harus membayar Rp 1,5 triliun utang luar negeri dan Rp 2,8 triliun utang dalam negeri.
Baca juga: Demokrasi Liberal (1949-1959): Pengertian, Ciri-Ciri, dan Kegagalannya
Keuangan negara pun defisit. Defisit mencapai Rp 5,1 miliar. Inflasi memberatkan masyarakat. Harga-harga mahal.
Pemerintah terpaksa mengeluarkan gebrakan untuk menyelamatkan perekonomian.
Tujuan kebijakan Gunting Syafruddin
Menteri Keuangan Kabinet Hatta II, Syafruddin Prawiranegara mengusulkan kebijakan sanering. Sanering adalah pemotongan nilai uang.
Pada 20 Maret 1950, semua uang yang bernilai 5 gulden ke atas dipotong nilainya hingga setengahnya.
Nilai itu dianggap tak akan membebani rakyat kecil. Sebab saat itu, pecahan uang di atas 5 gulden hanya dimiliki mereka dengan ekonomi menengah ke atas.
Pemotongan uang dilakukan secara harfiah. Lembaran uang digunting dibelah menjadi dua.
Potongan pertama menjadi uang dengan nilai setengahnya. Sementara potongan kedua ditukar sebagai kupon obligasi negara.
Baca juga: Kondisi Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal
Obligasi negara yang dipegang hanya bernilai setengah. Obligasi itu akan dibayar negara 30 tahun kemudian dengan bunga 3 persen setiap tahun.
Kebijakan yang dikenal sebagai Gunting Syafruddin itu bertujuan mengatasi krisis ekonomi.
Mulai dari mengatasi inflasi, mengurangi beban utang luar negeri, dan menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp 5,1 miliar.
Dengan kebijakan ini, jumlah dan jenis uang yang beredar bisa berkurang.
Dampak kebijakan Gunting Syafruddin
Dikutip dari Sejarah pemikiran Indonesia: 1945-1966 (2007), Gunting Syafruddin berhasil mengurangi jumlah uang yang beredar. Dengan berkurangnya jumlah uang, inflasi turun.
Namun secara jangka menengah, kebijakan ini tak cukup untuk mengatasi kekacauan ekonomi.
Baca juga: Kebijakan Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal
Tahun 1953, indeks harga 19 bahan pokok meningkat 250 persen dari tahun 1950. Jumlah uang beredar terus meningkat dan inflasi terjadi lagi.
Sedangkan untuk jangka panjang, Gunting Syafruddin menimbulkan dampak psikologis bagi pelaku ekonomi.
Perusahaan-perusahaan besar dengan modal kuat menimbun barang kebutuhan masyarakat. Ini membebani rakyat dan merugikan pedagang kecil.