Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam Seni Bangunan

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com
Masjid Menara Kudus, bukti akulturasi budaya pra-Islam dan budaya Islam di bidang seni bangunan.
|
Editor: Arum Sutrisni Putri

KOMPAS.com - Pada perkembangan budaya Islam di Indonesia, terjadi akulturasi budaya pra-Islam dan budaya Islam dalam berbagai bentuk, antara lain seni bangunan, seni ukir atau seni pahat, kesenian, seni sastra dan kalender.

Mengutip Sumber Belajar Kemdikbud RI, seni bangunan dan arsitektur Islam di Indonesia bersifat unik dan akulturatif. Seni bangunan zaman perkembangan Islam yang menonjol terutama adalah:

  1. masjid
  2. menara
  3. makam

Berikut ini penjelasannya:

Baca juga: Akulturasi dan Perkembangan Budaya Islam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masjid dan menara

Dalam seni bangunan Islam, adaa perpaduan antara unsur Islam dengan budaya pra-Islam yang sudah lebih duku ada. Seni bangunan Islam yang menonjol adalah masjid. Sebab fungsi utama masjid adalah sebagai tempat ibadah umat Muslim.

Masjid dalam bahasa Arab mungkin berasal dari bahasa Aramik sajada yang artinya merebahkan diri untuk bersujud ketika salat atau sembahyang.

Berdasarkan hadis shahih al Bukhari, Nabi Muhammad SAW menyatakan "Bumi ini dijadikan bagiku untuk masjid (tempat salat) dan alat pensucian (buat tayamum) dan di tempat mana saja seseorang dari umatku mendapat waktu salat, maka salatlah di situ.

Menurut pengertian hadis itu, agama Islam memberi pengertian secara universal terhadap masjid. Artinya, kaum Muslim leluasa beribadah salat di berbagai tempat yang bersih.

Meski begitu, tetap dirasa perlu mendirikan bangunan khusus yang disebut masjid sebagai tempat peribadatan umat Islam.

Masjid juga berfungsi untuk pusat penyelenggaraan keagamaan Islam, pusat mempraktikkan persamaan hak dan persahabatan di kalangan umat Islam. Sehingga masjid dapat dianggap sebagai pusat kebudayaan orang-orang Muslim.

Di Indonesia sebutan masjid serta bangunan tempat peribadatan lain, sesuai masyarakat dan bahasa setempat. Masjid disebut mesjid di Jawa, masigit dalam bahasa Sunda, meuseugit dalam bahasa Aceh, dan masigi dalam bahasa Makassar dan Bugis.

Baca juga: Pengaruh Islam di Indonesia

Bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia mempunyai ciri-ciri antara lain:

Baca juga: Teori Masuknya Islam di Nusantara

Makam

Makam-makam Islam berlokasi di dataran dekat masjid agung, bekas kota pusat kesultanan. Beberapa contoh makam Islam dekat masjid, pusat kota atau kesultanan adalah:

Baca juga: Perkembangan Islam di Indonesia

Terdapat makam-makam yang penempatannya di dataran tinggi, meski tokoh yang dikubur termasuk wali atau syaikh.

Beberapa contoh makam di dataran tinggi adalah:

Baca juga: Wali Songo: Penyebar Islam di Tanah Jawa

Makam-makam di tempat-tempat tinggi atau bukit menunjukkan akulturasi dengan tradisi yang percaya pada ruh-ruh nenek moyang yang sebelumnya sudah dikenal dalam pengejawantahan pendirian punden-punden berundak Megalitik.

Tradisi tersebut dilanjutkan pada masa kebudayaan Indonesia masa Hindu-Budha yang diwujudkan dalam bentuk bangunan-bangunan yang disebut candi.

Contoh Candi Dieng di Wonosobo, Candi Gedongsongo di Semarang, Candi Borobudur di Magelang, kompleks Candi Prambanan di Klaten, Candi Ceto dan Candi Sukuh di Karanganyar, kompleks Candi Gunung Penanggungan di Jawa Timur.

Contoh makam Islam berupa bangunan berbentuk gunungan dengan unsur meru adalah makam Sultan Iskandar Tsani di Aceh.

Setelah kebudayan Hindu- Budha mengalami keruntuhan dan tidak lagi ada pendirian bangunan percandian. Meski unsur seni bangunan keagamaan masih diteruskan pada masa tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia melalui proses akulturasi.

Baca juga: Peran Walisongo dalam Penyebaran Islam di Tanah Jawa

Makam-makam yang berlokasi di atas bukit, paling atas dan dianggap paling dihormati, contoh Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) di Gunung Sembung dan makam Sultan Agung Hanyokrokusumo di bagian teratas kompleks pemakaman Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta.

Makam walisongo dan sultan-sultan pada umumnya ditempatkan dalam bangunan yang disebut cungkup yang masih bergaya kuno dan juga dalam bangunan yang sudah diperbarui.

Cungkup-cungkup yang termasuk kuno antara lain cungkup makam Sunan Giri, Sunan Derajat, dan Sunan Gunung Jati.

Ada juga cungkup yang sudah diperbaiki tetapi masih menunjukkan kekunoannya seperti cungkup makam sultan-sultan Demak, Banten dan Ratu Kalinyamat Jepara.

Baca juga: Samudera Pasai, Kerajaan Islam Pertama di Nusantara

Tradisi pemakaman

Selain bangunan makam, ada tradisi pemakaman yang sebenarnya bukan berasal dari ajaran Islam. Beberapa tradisi pemakaman bukan ajaran Islam yang menunjukkan akulturasi adalah:

  • Jenazah dimasukkan ke dalam peti. Pada zaman kuno ada peti batu, kubur batu dan lainnya.
  • Taburan bunga di atas makam.
  • Selamatan pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, satu tahun, dua tahun, dan 1000 hari setelah kematian.
  • Saji-sajian dan selamatan adalah pengaruh unsur kebudayaan pra-Islam, tetapi doa secara Islam.
  • Memperkuat kuburan dengan bangunan dan batu setelah 1000 hari kematian yang disebut kijing atau jirat dan mengganti nisan dengan nisan batu.
  • Mendirikan semcam rumah yang disebut cungkup di atas jirat.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Sumber: Kemdikbud
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi