Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lalitavistara: Kisah Kelahiran Sang Buddha

Baca di App
Lihat Foto
shutterstock
Sidharta Gautama
|
Editor: Serafica Gischa

KOMPAS.com - Lalitavistara merupakan tulisan yang menceritakan awal mula kehidupan sang Buddha.

Kisah tersebut juga dipahat pada relief Candi Borobudur, yang terdiri dari lima panel penceritaan, yaitu kelahiran terakhir sang Bodhisatwa, masa kecil dan remaja Pangeran Siddhartha, empat pertemuan dan pelepasan agung Siddhartha, bertekad mencapai pencerahan, dan Pemutaran Roda Dharma Perdana Buddha.

Dilansir dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Lalitavistara adalah kitab Buddha dalam bahasa Sansekerta.

Berisi kisah hidup dan ajaran Sang Buddha Gautama (pendiri agama Buddha) sejak turunnya Sang Buddha dari surga Tusita sampai ia memberikan khotbah pertamanya di Taman Rusa dekat Benares.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kata sutra (dalam Lalitawistara sutra) merujuk pada gagasan bahwa inkarnasi Sang Buddha adalah hal yang sengaja diberikan untuk mencerahkan umat manusia.

Cerita ini dimuat kembali dalam tradisi Mahayana sebagai sebuah karya dari sekolah Sarvastivada.

Dalam cerita Mahayana, bagian pendahuluan dari Lalitawistara digambarkan dengan sebuah meditasi mendalam yang dikelilingi oleh cahaya ilahi.

Baca juga: Tokoh di Balik Kemahsyuran Candi Borobudur

Awal kelahiran terakhir Buddha

Pada saat para Dewa di surga Tusita mengabulkan permohonan Bodhisatwa untuk turun ke dunia dan lahir kembali menjadi seorang Buddha untuk memberikan bimbingan manusia yang tersesat dan mengembalikan ke jalan yang benar. Dengan menjelma sebagai manusia bernama Buddha Gautama.

Di panel berikutnya diceritakan, Dewi Maya permaisuri Suddhodana, Raja dari Kapilavastu bermimpi melihat seekor gajah putih bertaring enam menyusup masuk ke tubuhnya.

Gajah putih itu turun dari surga Tusita dengan mengendarai bunga teratai dan tak lain adalah Bodhisattwa sendiri.

Dewa-dewa menyampaikan hormat dengan menyembahnya.

Dewi Maya menceritakan mimpinya kepada Raja Suddhodana, karena tidak tau arti dari mimpinya. Kemudian Raja menanyakan arti mimpi itu kepada seorang Brahma bernama Asita.

Dijelaskan bahwa Dewi Maya sedang mengandung calon raja dunia. Raja Suddhodana pun merasa bergembira dan kemudian memberikan hasidah kepada Asita dan Brahmana lainnya.

Atas peristiwa ini, para Dewa menawarkan surga kepada Dewi Maya.

Baca juga: Candi Borobudur: Candi Terbesar di Dunia

Oleh para Dewa, Dewi Maya diperlihatkan tiga tempat sekaligus, untuk menggambarkan ajaran Trikaya, yaitu:

  • Dharmakaya
  • Sambhogakaya
  • Nirmanakaya

Sebelum kelahiran Buddha, Dewi Maya melakukan berbagai keajaiban, di antaranya mampu mengobati orang sakit, orang cacat, dan keajaiban juga terjadi di dalam istana.

Di mana singa dan gajah yang berada di luar istana menyembah Raja Siddhodana.

Ketika menjelang kelahiran, Dewi Maya melahirkan Bodhisatwa dengan posisi berdiri dan memegang dahan pohon di Taman Lumbini.

Pada saat Bodhisatwa lahir, dua arus air turun dari langit, yang satu dingin dan lainnya hangat.

Arus tersebut mengguyur tubuh Sidharta. Siddharta lahir bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung melangkah ke utara.

Tempat dirinya berdiri, ditumbuhi bunga teratai. Seminggu setelah kelahiran tersebut, permaisuri meninggal dunia.

Baca juga: [POPULER TRAVEL] 3 Candi Tutup | Negara yang Tutup Akses Penerbangan

Lihat Foto
shutterstock
relief Candi Borobudur
Masa kecil dan remaja Pangeran Siddharta

Asita meramalkan lagi bahwa kelak Pangeran Siddharta akan menjadi buddha. Dengan ramalan tersebut raja menjadi cemas. Karena jika Siddharta menjadi buddha, maka kerajaan Kapilavastu tidak ada yang mewarisi.

Para pertapa menyarankan, pangeran Siddharta dijauhkan dari empat peristiwa kehidupan. Bila tidak, dia akan menjadi pertapa dan menjadi buddha.

Dari kecil pangeran sudah menunjukkan sebagai anak yang cerdas dan pandai. Usia tujuh tahun, pangeran mempelajari ilmu pengetahuan.

Diceritakan, wajah pangeran dipenuhi sinar terang, sehingga saat pertama kali masuk sekolah sang guru pingsan karena melihat wajah pangeran yang bersinar.

Di usia 16 tahun menikah dengan Puteri Yasodhara, yang dipersunting setelah memenangkan beberapa sayembara.

Sang pangeran diberi tiga istana, yaitu:

  • Istana musim dingin (Ramma)
  • Istana musim panas (Suramma)
  • Istana musim hujan (Subha)

Hal ini dilakukan ayahnya, Suddhodana agar anaknya itu tidak melihat empat peristiwa kehidupan.

Baca juga: Tawur Agung Kesanga di Candi Prambanan Tetap Berjalan, Hanya Diikuti Panitia

Lihat Foto
DOK. PUSKOMPUBLIK KEMENPAREKRAF
Candi Borobudur, wisata populer di Magelang, Jawa Tengah.
Empat pertemuan dan pelepasan agung Siddharta

Suatu hari Bodhisatwa meminta izin untuk berjalan di luar istana. Di mana pada kesemoatan tersebut, dilihatnya empat kondisi yang sangat berarti, yaitu:

  • Orang tua
  • Orang sakit
  • Orang mati
  • Orang suci

Melihat hal tersebut, hati Siddharta bersedih. Menanyakan dirinya sendiri apa arti kehidupan ini. Dirinya berpikir, bahwa kehidupoan suci yang akan menjawab apa arti hidup.

Selama 10 tahun dirinya hidup dalam duniawi. Pergolakkan hati Siddharta berjalan terus hingga berusia 29 tahun, tepat anak pertamanya lahir.

Pada suatu malam Bodhisattwa memutuskan untuk meninggalkan istana. Dirinya bertekad bulat untuk melakukan pelepasan agung dan hidup sebagai pertapa.

Dalam pencariannya, Siddharta berguru pada Alara Kalama. Karena merasa semua yang dilakukan sia-sia, dirinya memantapkan diri untuk melakukan pertapaan dengan ditemani lima orang muridnya.

Selama pertapaannya, membuat badannya menjadi kurus hingga tulang. Sampai tidak kuat menopang tubuh Bodhisattwa.

Diceritakan ada perempuan bernama Sujana memberikan semangkuk bubur susu kepada pertapa Siddharta.

Melihat penderitaannya, ibunya Dewi Maya turun dari surga ke bumi untuk mengakhiri pertapannya. Dan memberikan makanan melalui pori-pori kulitnya untuk mengembalikan kesehatannya.

Baca juga: Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko Tutup Sementara Mulai Hari Ini

Siddharta mengakhiri pertapaannya dan menuju ke sungai Nairanjana untuk mandi.

Bertekad mencapai pencerahan dan Pemutaran Roda Dharma Perdana Buddha

Bodhisatwa merasa sangat lemas dan maut hampir merenggut jiwanya. Namun, karena tekad yang sekuat baja Bodhisatwa melajutkan pertapaannya di bawah pohon Bodhi.

"Meskipun dagingku busuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini. Sampai aku mencapai pencerahan sempurna".

Diceritakan juga berbagai upaya Dewi Mara untuk menggagalkan pertapaannya. Namun segala keajaiban muncul untuk mengubah setiap godaan menjadi bunga.

Tibalah saatnya Bodhisattwa mencapai pencerahan sempurna. Bodhisattwa menerima kebijaksanaan tertinggi yang membimbing keselamatan terakhir dan telah menjadi Budhha tepat saat bulan purnama tahun 531 SM Hari ke delapan bulan ke 12.

Pada saat mencapai pencerahan sempurna, tubuhnya memancarkan sinar. Warna biru berarti bakti, kuning artinya kebijaksanaan dan pengetahuan, merah artinya kasih sayang dan belas kasih, putih suci.

Baca juga: Cegah Wabah Corona, Candi Borobudur Disemprot Cairan Khusus

Setelah menerima pencerahan, Bodhisattwa menemui kelima temannya yang pernah menemaninya dan mengangkat mereka menjadi murid pertamanya.

Lima murid itulah yang pertama kali mendengarkan khotbah Buddha, ajaran penyelamatan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi