Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Obituari Masmimar Mangiang: Wartawan, Dosen, dan Sahabat Tersayang

Baca di App
Lihat Foto
Masmimar Mangiang
|
Editor: Nibras Nada Nailufar

"Kalaulah sekarang bukan bulan puasa (ketika emosi harus dikendalikan) saya akan menamakan judul itu judul jahanam..."

Masmimar Mangiang mengirim pesan itu ke saya 8 Mei 2020 lalu. Pesan terakhirnya sebelum ia tutup usia tujuh pekan kemudian.

Bang Mimar, panggilan akrabnya, mengkritik sebuah berita Kompas.com yang judulnya ambigu karena penulisnya "tak becus berbahasa".

Hampir setiap pekan, ada saja tulisan Kompas.com yang dikritiknya. Ia biasa menuliskannya dalam format gambar, kadang membubuhkan karikatur yang digambarnya sendiri.

Nadanya pun selalu sama sejak saya lulus kuliah lima tahun yang lalu. Ketus, tak jarang mencela. Namun bagi mahasiswanya, itu sudah biasa. Memang begitu gayanya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebagian besar mahasiswanya melihat Bang Mimar sebagai dosen killer dengan standar sangat tinggi. Ada yang bilang Bang Mimar sangat kaku, ada juga yang menganggapnya sangat jenaka.

Di Kompas.com, mahasiswa Bang Mimar cukup banyak. Dari yang saat ini menjabat reporter sampai asisten redaktur pelaksana.

Awak redaksi lain yang tak pernah menjadi mahasiswanya tahu sosok Bang Mimar dari kritik-kritiknya. Meskipun kadang menyakitkan, kritiknya selalu benar.

Ia adalah dosen favorit di Komunikasi UI. Tak heran mahasiswanya dari tahun 80-an sampai yang baru lulus menggelar perpisahan yang mengharukan ketika ia pensiun pada 2019 lalu.

Bang Mimar akhirnya pergi meninggalkan kita semua pada 29 Juni 2020. Pada 11 Mei 2020 lalu, ia didiagnosa dengan tumor di atas paru-paru kanannya. Tumor itu sudah memasuki stadium empat dan menyebar ke beberapa bagian tulang yang keropos.

"Saya siap, tidak ada yang harus disesali," katanya disertai emoji senyum lewat pesan singkat saat mengabari kami...

 

Lihat Foto
Masmimar Mangiang di tahun 1978
Wartawan panutan

Masmimar Mangiang lahir di Payakumbuh, 10 September 1948. Namanya singkatan dari masa (Mas) mempertahankan (m) Indonesia (i) mardeka (mar).

Nama itu diambil dari suasana beberapa bulan sebelum Konferensi Meja Bundar (KMB).

Adapun Mangiang adalah nama ayahnya. Sosok yang saat ia kecil pergi dan tak pernah kembali. Ayahnya hilang ketika meletus pergolakan daerah PRRI/Permesta.

Di saat itu pula, Bang Mimar dan keluarganya mendadak harus pergi meninggalkan rumah beserta isinya untuk menyelamatkan diri.

Tak banyak yang saya ketahui soal masa remajanya. Ia masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1968.

Perkenalannya dengan dunia pers terjadi di tahun ketiganya kuliah. Saat itu ia bergabung Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI). Di IPMI, Bang Mimar mengikuti kursus dari para legenda seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan Jakob Oetama.

Sembari kursus, tulisan-tulisannya dimuat di Harian Kami, surat kabar perjuangan kala itu. Ia menikmati pekerjaan lepas itu karena mendapat honor yang lumayan.

Suatu hari ia dipanggil oleh Pemimpin Redaksi Harian Kami, Nono Makarim. Nono meminta Bang Mimar untuk menentukan masa depannya. Entah sebagai wartawan profesional, aktivis, politikus, atau ilmuwan.

Bang Mimar tak meneruskan kuliahnya dan memilih menjadi wartawan. Tak lama ia menerima tawaran sekolah International Institute for Journalism di Berlin.

Sepulang dari Berlin, karirnya moncer. Ia pindah ke Pedoman, kemudian ke majalah berita mingguan Fokus. Ia juga pernah bekerja di Tempo, Prisma, Neraca, hingga Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Sebagian dari media itu dibredel di era Orde Baru. Ada juga yang ia tinggalkan karena alasan idealisme.

 

Lihat Foto
Meme yang dibuat Masmimar Mangiang
Guru tanpa gelar

Selain menulis, kegiatan lain yang ditekuninya tentu saja adalah mengajar.

Bang Mimar awalnya mengisi beberapa pelatihan. Ia kemudian ditarik menjadi dosen di Universitas Indonesia sejak tahun 1980.

Bang Mimar juga mengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) sejak tahun 1989.

Setelah melanglang buana sebagai wartawan dan menjadi dosen, Bang Mimar sempat ditawari untuk melanjutkan studinya di FH UI.

Agaknya ia sudah terlalu nyaman dan tak membutuhkan gelar apapun. Pengalamannya puluhan tahun di lapangan dan ruang redaksi melampaui kebesaran titel dan pendidikan tinggi manapun yang pernah saya ketahui.

Ia menjadi saksi sejarah dari banyak peristiwa besar di negeri ini. Mulai dari Malari, Reformasi, hingga kasus Ahok.

Meski bukan sarjana, Bang Mimar mengirim ratusan, bahkan mungkin ribuan mahasiswa menjadi sarjana.

Lebih dari itu, Bang Mimar menjadikan kami pembelajar yang rendah hati, pekerja yang ulet, serta penulis yang pandai berbahasa.

Kuliah bersama Bang Mimar selalu menyenangkan. Mahasiswa tak cuma belajar bagaimana menulis yang benar. Ia mengajarkan berbahasa dengan rasa dan kepekaan.

Lewat cerita-cerita masa mudanya, ia mengajari kami bagaimana wartawan seharusnya bekerja. Wartawan harus teliti, tidak boleh salah, dan tidak boleh kehabisan akal.

"Wartawan tak punya alasan buat telat melapor kecuali S dan M (sakit dan meninggal)," katanya ketika memprotes tulisan di Kompas.com yang telat.

Bagi saya, Bang Mimar juga seorang kakak dan sahabat yang hangat, perhatian, dan menghibur. Hari-hari tuanya diisi dengan pertemuan dengan teman-temannya dan mantan mahasiswanya.

Ia adalah pencerita yang ulung baik lewat tulisan maupun lisan. Ingatannya luar biasa.

Selain itu ia juga bisa melukis, bermain biola, hingga membuat perhiasan.

Tulisan ini terlalu pendek untuk menggambarkan betapa kerennya sosok Bang Mimar.

Kalau ia membaca tulisan ini, boleh jadi ia juga kesal melihat betapa buruknya kemampuan menulis saya. Hehehe, saya pasti akan belajar terus, Bang.

Yang pasti, kami semua bangga bisa mengenal dan diajar Bang Mimar. Bagi yang tak sempat mengenalnya, tengoklah akun Facebook dan notes yang ditulisnya. Materi kuliah darinya akan saya coba tulis di Kompas.com.

Selamat beristirahat, Bang. Kam sia...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi