Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ciri-Ciri Masyarakat Praaksara

Baca di App
Lihat Foto
Ahmad Arif/KOMPAS
Suasana Desa Adat Wunga, Kecamatan Haharu, Sumba Timur, pekan lalu. Desa yang berada di atas bukit kapur dan ada banyak kubur batu tua itu dipercaya warga Sumba sebagai kampung pertama nenek moyang mereka. Studi genetika menemukan, Wunga memiliki keragaman genetik paling lengkap di seluruh Sumba sehingga diduga orang Sumba berasal dari desa itu.
|
Editor: Serafica Gischa

KOMPAS.com - Indonesia termasuk negara yang banyak disinggahi oleh manusia purba, salah satunya Homo wajakensis. 

Homo wajakensis merupakan manusia purba yang paling lama tinggal di Indonesia dan kemudian menjadi penghuni asli di Indonesia. 

Setelah nenek moyang datang ke Indonesia, mereka meninggalkan tradisi dan melahirkan religi bagi masyarakat setempat. Di mana hal tersebut terus berkembang dan ditaati secara turun-temurun. 

Sebelum mengnal tulisan, ciri-ciri masyarakat praaksara dikelompokkan menjadi beberapa bagian. Berikut pengelompokan ciri-ciri masyarakat praaksara berdasarkan buku Kehidupan Masyarakat Pada Masa Praakasara, Masa Hindu Budha, dan Masa Islam (2019) karya Tri Worosetyaningsih:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal astronomi

Pada masa praaksara, masyarakat Indonesia sudah memanfaatkan teknologi angin musim sebagai tenaga penggerak dalam aktivitas, sekaligus sebagai petunjuk arah. 

Petunjuk arah ini dilakukan dalam pelayaran, seperti Bintang Biduk Selatan dan Bintang Pari untuk menunjukkan arah selatan. Kemudian Bintang Biduk Utara untuk menunjuk arah utara. 

Pengetahuan astronomi juga digunakan untuk melihat Bintang Waluku yang menjadi pertanda masuknya musim hujan. Sehingga masyarakat Indonesia masa itu bisa menyiapkan persediaan selama musim hujan. 

Dengan kemampuan astronomi ini, nenek moyang Indoensia sudah berlayar hingga Madagaskar, Selandia Baru, Pulau Paskah, hingga Jepang. 

Baca juga: Kehidupan Manusia Purba di Indonesia pada Zaman Prasejarah

Kemampuan berlayar

Nenek moyang bangsa Indonesia datang dari Yunan. Mereka mengarungi laut dan menggunakan perahu untuk sampai di Indonesia.

Kemampuan berlayar ini dikembangkan di Nusantara mengingat kondisi geografis di Indonesia terdiri dari banyak pulau. Kondisi tersebut harus menggunakan perahu sebagai alat transportasi.

Salah satu ciri pertahu yang digunakan nenek moyang adalah perahhu cadik. Perahu cadik adalah perahu yang menggunakan alat dari bambu atau kayu kemudian dipasang di kanan dan kiri kapal.

Hal ini mengapa nenek moyang Indonesia sering disebut sebagai pelaut. Pembuatan perahu biasanya dilakukan gotong royong oleh kaum laki-laki.

Bukti adanya kemampuan dan kemajuan berlayar terlihat pada relief Candi Borobudur yang berasal dari abad ke-8. Relief tersebut melukiskan tiga jenis perahu, yaitu:

Baca juga: Kehidupan Zaman Sejarah di Indonesia

Kemampuan bersawah

Sistem sawah dimulai dengan sistem ladang sederhana yang belum tersentuh dengan teknologi. Sistem persawahan ini dikenal bangsa Indonesia sejak zaman Neolitikum untuk menghasilkan makanan. 

Seiring berkembangnya zaman, sistem persawahan pun juga berkembang hingga adanya teknologi pengairan dan sistem persawahan itu sendiri. 

Sistem irigasi pada sawah digunakan untuk memenuhi kebutuhan air dengan memuat saluran air dan pematang. Kemudian meningkat dengan membuat terasering di lereng pegunangan, dan pembuatan bendungan air sederhana. 

Jika saat ini untuk menanam tanaman di sawah sudah menggunakan alat modern, pada zaman praakasara mereka membawa alat-alat dari logam. 

Baca juga: Zaman Prasejarah Berdasarkan Arkeologi

Lihat Foto
shutterstock.com
Ilustrasi alat transportasi manusia purba
Sistem mocopat

Sistem mocopat merupakan suatu kepercayaan yang didasarkan pada pembagian empat penjuru arah mata angin, yaitu utara, selatan, barat, dan timur.

Sistem mocopat dikaitkan dengan pendirian bangunan, pusat kota, atau pemerintah (istana), alun-alun, tempat pemuja, pasar, dan penjara.

Hal ini dipercaya bahwa setiap sudut memiliki kemampuan dan kekuatan secara magis. Sehingga setiap desa pada zaman kuno selalu memberi sesaji pada waktu-waktu tertentu.

Bahkan hari pasaran menurut perhitungannya juga dikaitkandengan sistem mocopat, yaitu:

  • Arah barat diletakkan pon jatuh hari Senin dan Selasa
  • Arah timur diletakkan legi jatuh hari Jumat
  • Arah selatan diletakkan pahing jatuh hari Sabtu dan Minggu
  • Arah utara diletakkan wage jatuh hari Rabu dan Kamis
  • Arah tengah diletakkan kliwon jatuh hari Jumat dan Sabtu

Pola susunan mocopat merupakan suatu kepercayaan dalam menata dan menempatkan suatu bangunan yang bersudut empat, dengan susunan ibu kota pusat pemerintahan terdapat alun-alun, serta ada bangunan tempat pemujaan, pasar, dan penjara.

Baca juga: Zaman Praaksara di Indonesia

Lihat Foto
KOMPAS.COM/MARKUS YUWONO
Warga Menunjukkan Batu Diduga Menhir dan Batu Bergambar Wayang di Dusun Sawahan II, Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Gunungkidul
Kesenian wayang

Pada awalnya, wayang diwujudkan sebagai boneka nenek moyang yang dimainkan oleh dalang pada malam hari. Tirai yang digeral dan tata lampu di belakangnya serta boneka yang sudah dibuat digerak-gerakkan, sehingga terlihat bayangan boneka seakan hidup.

Setelah kedatangan hinduisme ke Indonesia, maka kisah nenek moyang digantikan dengan kisah Ramayan dan Mahabharata. Boneka yang sudah dibuat diganti dengan bentuk tokoh dalam cerita Mahabharata.

Fungsi wayang pun beralih sebagai pertunjukkan dan penontonnya melihat dari depan tirai.

Pada waktu senggang, nenek moyang yang sudah menetap dan hidup bercocok tanam menyalurkan bakat seni serta pemujaan setelah panen dengan pertunjukan wayang.

Pertunjukkan tersebut ditujukan untuk Dewi Sri yang sudah memberkahi pertanian. Selain itu, pertunjukan wayang merupakan tontonan yang di dalamnya banyak nasihat berharga.

Seni gamelan

Seni gamelan berkaitan dengan seni wayang. Seni gamelan digunakan untuk mengiringi pertunjukkan wayang.

Pada masa bercocok tanam selesai, masyarakat kuno membuat alat musk gamelan dan mengembangkan seni membatik serta mengadakan pertunjukan wayang semalam suntuk untuk masyarakat.

Baca juga: Pembagian Zaman Paleozoikum

Seni membatik

Seni membatik merupakan kerajinan membuat pola atau gambar pada kain. Menggambar yang dimaksud menggunakan alat bernama canting yang diisi bahan cairan lilin yang sudah dipanaskan.

Membantik dilakukan untuk mengisi waktu luang bercocok tanam setelah panen, sekaligus kegiatan religius. Karena kegiatan membatik ini dimaksudkan untuk menghormati nenek moyang.

Lihat Foto
ANTARA FOTO/ADENG BUSTOMI
Foto dirilis Rabu (30/1/2019), menunjukkan dua warga adat kesepuhan Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Warga Kampung Naga merupakan salah satu masyarakat adat yang masih memegang tradisi nenek moyang mereka, salah satunya adalah tradisi panen padi.
Pengaturan masyarakat

Nenek moyang hidup berkelompok dan sepakat untuk hidup secara bersama dan gotong royong. Mereka memilih seorang pemimpin yang dianggap dapat melindungi masyarakt dari berbagai gangguan teermasuk roh.

Cara pemilihan pemimpin disebut primus interpares, yaitu terutama di antara yang banyak. Sehingga seorang pemimpin adalah yang terbaik bagi mereka bersama.

Sistem ekonomi perdagangan

Kebutuhan hidup menuntur untuk dipenuhi. Untuk memenuhinya, masyarakat kuno saling bertukar barang dari satu wilayah ke wilayah lain.

Dalam hal perdagangan, nenek moyang sudah melaksanakan kegiatan barter karena belum mengenal uang. Nilai besaran barter bergantung pada kesepakatan bersama.

Baca juga: Mengapa Zaman Paleozoikum Belum Terdapat Manusia Purba?

Sistem kepercayaan

Sitem kepercayaan masyarakat Indonesia mulai tumbuh pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan. Hal ini terlihat dari lukisan dinding gua yang ditemukan di Sulawesi Selatan. 

Lukisan berbentuk cap tangan merah dengan jari-jari direntangkan. Lukisan tersebut kemudian diartikan sebagai simbol perlindungan untuk mencegah roh jahat. Manusia pada zaman bercocok tanam percaya bahwa adanya banjir, gunung meletus, gempa bumi, dan lainnya sebagai bentuk adanya dewa. 

Pada zaman perundagian, masyarakat sudah percaya kepada roh nenek moyang. Di mana roh dan jiwa nenek moyang berdiam di batu besar, pohon besar, dan sebagainya. Kepercayan tersebut diwariskan kepada kita hingga sekarang.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi