Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

7 Puisi Sapardi Djoko Damono yang Paling Dikenal

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/JOHNNY TG
Penyair Sapardi Djoko Damono dengan penuh perasaan membacakan puisi dalam acara Malam Baca Puisi Selebriti yang diadakan oleh panitia Festival November 1998 yang berlangsung di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jumat (4/12/1998).
Penulis: Ari Welianto
|
Editor: Ari Welianto

KOMPAS.com - Sapardi Djoko Damono, merupakan salah satu penyair romantis Indonesia.

Banyak puisi-puisinya romantisnya mampu menyentuh hati masyarakat.

Di usianya yang senja, ia masih tetap produktif melahirkan puisi-puisi.

Penyair legendaris Indonesia tersebut, meninggal dunia pada, Minggu (19/7/2020) di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan.

Berikut puisi-puisi terbaik Sapardi Djoko Damono:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: 5 Buku Terbaik Sapardi Djoko Damono

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakan rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan di bulan Juni
Dihapuskan jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkan yang tak terucapkan
Diserap akan pohon bunga itu

Puisi tersebut menceritakan mengenai bagaimana penantian seseorang terhadap orang yang dicintainya.

Baca juga: Sapardi Djoko Damono dalam Kenangan Mahasiswa dan Asisten Dosen, Guru yang Berwawasan Luas

Ia dengan sabar menunggunya tanpa lelah dan tetap tabah yang berujung sebuah balasan manis atas perjuangannya tersebut.

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:

Memungut detik demi detik, merangkainya
seperti bunga sampai pada suatu hari

Kita lupa untuk apa

"Tapi,

Yang fana adalah waktu, bukan?"

tanyamu. Kita abadi.

Baca juga: Mengenang Sapardi Djoko Damono, Sosok yang Menyukai Kesunyian

  • Aku Ingin

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya
tiada”

Pernah dengar alih wahana? Puisi Aku Ingin menjadi salah satu karya Sapardi yang beralih wahana menjadi lagu, atau biasa disebut musikalisasi puisi.

Baca juga: Sapardi Djoko Damono dan Ceritanya soal Hujan Bulan Juni...

  • Pada Suatu Hari Nanti

“Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.”

Lewat puisinya ini, eyang seolah  menyatakan alasan dirinya masih menulis hingga kini.

Lewat puisinya dalam Hujan Bulan Juni ini pula, eyang seolah menyelipkan wasiat bahwa kita akan kekal bersama tulisan-tulisan yang kita tinggalkan.

Baca juga: Sapardi Djoko Damono Sempat Dirawat Sejak 9 Juli Sebelum Berpulang

  • Hanya

“Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana

hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu

hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu”

Tanpa perlu banyak bermetafora, Sapardi membuat pembacanya menyelam jauh ke dalam
kata-kata yang ia ramu.

Puisi "Hanya" bisa kalian jumpai bersama 74 sajak lainnya dalam buku kumpulan puisi Sapardi yang berjudul Melipat Jarak.

Baca juga: Sastrawan Sapardi Djoko Damono Tutup Usia, Berikut Sejumlah Karyanya yang Terkenal

  • Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta

“mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat

mencintai cakrawala
harus menebas jarak

mencintai-Mu
harus menjelma aku”

Romantis sekali bukan eyang Sapardi ini? Ia dengan baik menjelmakan maksud hati
untuk menyatakan “hanya aku yang bisa mencintaimu” dengan analogi yang
begitu cantik sebagai pengantarnya.

Sama dengan puisi Hanya, puisi ini bisa kalian jumpai dalam Melipat Jarak.

Baca juga: Mengenang Sapardi Djoko Damono dan Karya Abadinya bagi Dunia Sastra Indonesia

  • Menjenguk Wajah di Kolam

“Jangan kauulang lagi
menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.

Jangan sekali-
kali membayangkan
Wajahmu sebagai
rembulan.

Ingat,
jangan sekali-
kali. Jangan.

Baik, Tuan.” 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi