Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Contoh Teks Editorial

Baca di App
Lihat Foto
www.shutterstock.com
Ilustrasi koran
|
Editor: Nibras Nada Nailufar

KOMPAS.com - Teks editorial adalah pendapat disampaikan melalui teks. Teks macam ini berisi analisis subjektif berdasarkan fakta dan data.

Teks editorial dapat sering kita jumpai dalam surat kabar, media online, atau majalah. Teks editorial yang terdapat dalam media biasa juga disebut tajuk rencana.

Teks tersebut berisi pandangan redaksi mengenai isu yang diangkat dalam pemberitaan. Sementara, ruang untuk menyampaikan pendapat pribadi biasa terdapat dalam rubrik khusus opini.

Berikut contoh teks editorial, baik yang disampaikan dalam bentuk tajuk rencana, maupun opini pribadi:

Teks editorial yang dimuat pada Kompas 3 Januari 2020 dalam bentuk tajuk rencana:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Fakta dan Opini: Arti dan Ciri-cirinya

Perubahan Iklim dan Kebakaran Lahan

Kebakaran menghancurkan jutaan hektar lahan di Australia. Korban tewas terus berjatuhan, sementara kebakaran diperkirakan belum akan berakhir dalam waktu dekat.

Setiap tahun, pada musim panas seperti sekarang, kebakaran terjadi di Australia. Cuaca panas dan kering menyebabkan api mudah menyala serta menyebar. Adapun pemicu alami sebagian besar kebakaran itu ialah sambaran petir di pepohonan kering.

Periode kebakaran lahan dan hutan di Australia selalu bersifat membahayakan serta mematikan. Tahun 2009, di Negara Bagian Victoria, ada 173 orang meninggal akibat kebakaran. Tahun itu pun lantas dikenang sebagai masa bencana kebakaran paling mematikan yang pernah terekam.

Meski demikian, musim kering tahun ini tercatat sebagai yang paling parah. Cuaca yang sangat kering dan embusan angin yang kencang menyebabkan api menyebar cepat, sementara pemadaman menjadi jauh lebih sulit dilakukan.

Pada Desember 2019, Biro Meteorologi Australia mengumumkan bahwa negara itu mengalami salah satu periode kekeringan terburuk selama beberapa dekade terakhir. Gelombang panas pada Desember lalu memecahkan rekor suhu rata-rata nasional tertinggi, dengan beberapa tempat memiliki suhu jauh di atas 40 derajat celsius.

Kebakaran lahan tahun ini sudah meluluhlantakkan sekitar 4 juta hektar lahan. Akibat kebakaran yang telah berlangsung selama berminggu-minggu ini, ada 17 orang meninggal, termasuk petugas pemadaman. Selain itu, puluhan orang hilang, sementara ribuan warga mengungsi, termasuk para turis. Mengingat Australia baru memasuki musim panas dan biasanya suhu memuncak lagi pada Januari dan Februari, bencana kebakaran diperkirakan masih akan berlangsung.

Baca juga: Ciri-ciri Teks Berita

Para ahli memang telah menyatakan bahwa perubahan iklim memperburuk cakupan serta dampak dari bencana alam, seperti kebakaran dan banjir. Kondisi alam yang bertambah ekstrem, yakni suhu udara kian panas, cuaca kian kering, sementara di belahan lain hujan semakin deras, menyebabkan bencana meluas.

Ancaman itulah yang kini harus dihadapi manusia. Di tengah daya dukung lingkungan hidup yang melemah, seperti berkurangnya luasan hutan dan kepunahan spesies hewan, masyarakat manusia menghadapi tekanan berat berupa perubahan iklim. Fenomena cuaca kering yang kian parah, yang diikuti kebakaran lahan, kemungkinan besar menjadi ”normal baru” pada masa mendatang.

Fenomena kebakaran lahan dan hujan ekstrem di belahan lainnya sudah harus dilihat secara serius sebagai dampak dari perubahan iklim. Seharusnya tidak boleh ada lagi negara yang menganggapnya sebagai hal biasa dan rutin. Oleh karena itu, pencegahan peningkatan suhu permukaan bumi dengan mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi salah satu langkah penting yang harus dilakukan bersama-sama oleh semua warga dunia.

 


Beikutnya adalah contoh teks editorial dalam bentuk opini pribadi. Contoh berikut merupakan penggalan opini yang ditulis Roy Thaniago, seorang peneliti media yang bekerja untuk Remotivi. Tulisan ini diterbitkan di Kompas pada 8 Juni 2020.

Selamatkan Jurnalisme Bukan dengan Sekoci

Ancaman atas keberlangsungan bisnis pers di Indonesia terjadi bukan sekadar karena adanya pandemi Covid-19.

Jauh sebelumnya, peralihan teknologi cetak ke digital telah membuat kemampuan ekonomi banyak perusahaan pers menjadi oleng, dan tak sedikit pula yang akhirnya berhenti terbit. Ini tentu bukan problem di Indonesia saja, juga di negara lain. Selain karena kegagapan banyak perusahaan pers beradaptasi dalam ekosistem digital, dominasi Google dan Facebook atas perolehan kue iklan digital juga dianggap menjadi penyebab menurunnya pendapatan bisnis media. Karena itu, harapan agar pemerintah memberikan insentif ekonomi bagi bisnis media sangat bisa dimengerti.

Beberapa waktu lalu Dewan Pers bersama Asosiasi Perusahaan Media dan Asosiasi Profesi Media mengajukan tujuh bentuk insentif demi menolong keberlangsungan bisnis media di tengah pandemi Covid-19. Namun, visi dari permintaan insentif tersebut sifatnya jangka pendek, seolah penyelamatan bisnisnyalah yang menjadi tujuan, bukan jurnalisme itu sendiri—meski tentu dalam kondisi sekarang hal ini bisa dipahami.

Baca juga: Tajuk Rencana Kompas Raih Penghargaan Adinegoro 2013

Jurnalisme memang perlu diselamatkan, tapi dengan pendekatan lebih visioner, dan itu tak bisa menggunakan sekoci berupa insentif jangka pendek.

Beberapa orang meyakini bisnis jurnalisme cukup dikelola dalam logika pasar. Artinya, jurnalisme akan bertahan dan tumbuh kalau pasar menghendaki, atau stagnan dan mati kalau pasar tak berselera lagi. Cara pikir demikian tak melihat posisi jurnalisme sebagai barang publik (public goods), padahal perannya vital dan belum tergantikan bagi demokrasi.
Ketika jurnalisme lenyap, demokrasi berjalan dalam gelap. Keadaan ini membuat kekuasaan tak bisa diakses dan diperiksa, sebagaimana hal itu biasa diperankan oleh jurnalisme. Tanpa pengawasan, kekuasaan (ekonomi, politik, sosial, atau budaya) bisa sewenang-wenang. Kerja jurnalismelah yang memastikan tiap warga mendapat asupan informasi yang memadai agar bisa berpartisipasi menyuarakan penyimpangan kekuasaan, dan ini dibutuhkan bagi demokrasi.

Jurnalisme yang terancam mati perlu diselamatkan. Negara dituntut punya peran karena negara punya kepentingan dan kewajiban pada sehatnya demokrasi dan tersedianya barang publik. Negara perlu menjamin ekosistem yang membuat jurnalisme tetap ada dan relevan. Pembiayaan pers yang disokong negara bukan hal baru. Model pembiayaan TVRI, RRI, atau BBC di Inggris contohnya. Tentu model ini tak sempurna, karena itu butuh disempurnakan. Namun, model pembiayaan publik semacam ini membuat jurnalisme bisa dikelola bukan sebagai komoditas semata, melainkan barang publik. Perlu imajinasi yang melampaui model pembiayaan jurnalisme komersial.

Tantangan apa yang ada, jika gagasan ini hendak dijalankan?

Pertama, saat ini belum ada data komprehensif yang bisa digunakan untuk memetakan dan memahami bisnis media di Indonesia. Data ini diperlukan untuk bisa menentukan perusahaan media mana yang perlu lebih mendapatkan bantuan, metode apa yang terbaik dalam membantu, dan sebagainya.

Kedua, perlu ada perbaikan profesionalisme kerja jurnalisme, terutama jurnalisme daring yang mutunya sering dikeluhkan. Bagaimana publik mau mendukung pers kalau bisnisnya ini tak berorientasi melayani warga dengan menyediakan informasi bermutu yang mengemansipasi posisi warga?

Ketiga, adanya dominasi perusahaan media besar di Jakarta yang lebih berpotensi mendapatkan keistimewaan untuk mengakses bantuan. Hal ini juga terkait dengan konglomerasi media yang praktiknya sudah harus dikoreksi segera.

Keempat, adanya kecenderungan (pejabat) pemerintah yang kerap berpikir bahwa lembaga atau individu yang dibiayai negara harus memiliki posisi politik yang sama dengan pemerintah. Mental paternalistik semacam ini kerap tergambar misalnya lewat ungkapan pejabat publik yang ingin mengontrol individu penerima beasiswa negara yang punya pandangan berbeda dengan pemerintah. Jurnalisme, sekali lagi, perlu diselamatkan. Kali ini barangkali ia cukup dengan menggunakan sekoci darurat. Namun, setelah pandemi ini berakhir, penyelamatan terhadapnya butuh pertolongan lebih dari itu.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi