KOMPAS.com - Pernahkah kalian mendengar kisah tentang Sitti Nurbaya? Karya tersebut merupakan salah satu karya paling berpengaruh dalam khazanah sastra Indonesia.
Sitti Nurbaya terbit pada periode Balai Pustaka. Balai Pustaka merupakan nama sebuah penerbit yang didirikan pemerintah Belanda. Periode Balai Pustaka dimulai pada 1920 sampai 1930.
Dilansir dari Pengkajian Prosa Fiksi (2017) karya Andri Wicaksono, Balai Pustaka atau Kantor Bacaan Rakyat merupakan suatu lembaga penerbitan yang didirikan oleh Belada tidak semata-mata untuk kepentingan penerbitan sastra, akan tetapi juga ada suatu usaha untuk tidak menerbitkan karya sastra liar pada zaman tersebut.
Karya sastra liar yang dimaksud adalah karya-karya yang ditulis peranakan Tionghoa dengan bahasa Melayu rendah. Sementara yang boleh terbit pada periode Balai Pustaka hanya karya dengan bahasa Melayu tinggi.
Pembatasan oleh pemerintah Belanda tersebut membuat sastrawan Balai Pustaka didominasi orang Sumatera. Sastrawan tersebut antara lain Hans Bague Jassin, Marah Rusli, Merari Siregar, Amir Hamzah, Armijn Pane, Asrul Sani, M Kasim, dan Nur Sutan Iskandar.
Baca juga: Periode Sastra Melayu Klasik
Ciri-ciri karya sastra Balai Pustaka yang membedakan dengan periode lainnya adalah sebagai berikut:
- Menggunakan bahasa Melayu tinggi.
- Sebagian besar beralur maju.
- Menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu.
- Mengangkat tema romantisisme.
- Latar dan permasalahan berangkat dari kedaerahan, budaya, dan adat istiadat.
- Berisi pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum muda.
- Cerita yang diangkat sesuai yang terjadi pada zamannya.
- Didaktis: memuat pesan moral yang mendidik. Pesan moral tersebut dapat berupa adat-istiadat dan hak asasi manusia.