Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Mbaru Niang, Rumah Adat di Kampung Wae Rebo NTT

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR
Rumah adat Gendang orang Manggarai yang disebut Mbaru Niang di Kampung Ruteng, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT, dengan arsitektur yang unik, Selasa (22/3/2016).
Penulis: Ari Welianto
|
Editor: Ari Welianto

KOMPAS.com - Rumah adat Mbaru Niang merupakan salah satu rumah adat yang adat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Rumah adat Mbaru Niang berada di Kampung Adat Wae Rebo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT tepatnya di Gunung Pocoroko.

Kampung Wae Rebo terletak di ketinggian sekitar 1.120 meter diatas permukaan laut dan dikelilingi oleh gunung, hutan lebat, dan jauah dari perkampungan lainnya.

Rumah adat Mbarung Niang berbentuk kerucut dan memiliki lima lantai dengan tinggi sekitar 15 meter.

Dikutip dari buku Mbaru Gendang, Rumah Adat Manggarai, Flores: Eksistensi, Sejarah, dan Transformasinya (2020) karya Yohanes dan Fransiska Widyawati, Mbarung Gendang disebut juga Mbaru Niang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Secara etimologis kata niang berati rumah yang atapnya berbentuk kerucut dan memiliki kolong.

Atap rumah Mbaru Niang tinggi dan menjorok jauh ke bawah, sehingga sekaligus juga berfungsi sebagai dinding rumah.

Baca juga: Rumah Baileo, Rumah Adat Maluku

Rumah Mbaru Niang ditopang oleh satu tiang utama yang disebut siri bongkok. Rumah model tersebut dianggap sebagai bentuk rumah yang sudah lama dan asli di Manggarai.

Pada mulanya ada dua jenis Mbaru Niang. Ada niang gendang (tempat disimpannya gendang) dan niang bendar.

Pada niang gendang memiliki rangga kaba kaki (tanduk kerbau jantan) atau mangka (gasing) yang diukir dengan bentuk muka manusia di puncak rumah.

Kayu penyangga utama atau siri bongkok mbaru niang gendang diambil dari hutan dengan cara arak-arakan yang dikenal dengan acara osong (nyanyian pembuka mantera) atau roko moloas poco.

Hal itu berbeda dengan siri bongkok pada niang bendar yang diambil dari hutan tanpa disertai dengan arak-arakan dalam acara osong atau roko molas poco.

Bagi masyarakat Wae Rebo, mbaru niang merupakan simbol pelindungan, persatuan warga, dan menjadi pusat kegiatan sosial masyarakat, terutama yang berhubungan dengan persoalan adat.

Baca juga: Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional

Selain itu, mbaru niang dianggap sebagai simbol seorang ibu yang selalu mengayomi dan melindungi.

Rumah adat Mbaru Niang sarat dengan simbol, seperti persambungan pada konstruksi bangunan melambangkan perkawinan suami dan istri yang membentuk keluarga.

Lihat Foto
KOMPAS.com/MARKUS MAKUR
Keunikan arsitektur Mbaru Niang Todo, Desa Todo, Kecamatan Satarmese Utara, Kabupaten Manggarai, Flores, NTT, Oktober 2018 memikat wisatawan asing dan Nusantara serta peneliti budaya dan para antropolog untuk menggali peradaban di kampung tradisional tersebut.
Tingkatan rumah Mbaru Niang

Dikutip dari buku 70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia (2019) karya Fitri Haryani NasuXon, rumah Mbaru Niang memiliki desain unik dan terpencil di pegunungan karena hanya ada di Kampung Adat Wae Rebo.

Bahkan rumah adat tersebut mendapatkan penghargaan teringgi untuk kategori konservasi warisan budaya UNESCO Asia-Pasific pada 2012.

Rumah adat Mbaru Niang berbentuk kerucut dan atapnya terbuat dari daun lontar hampir menyentuh tanah. Keseluruhan rumah tersebut ditutupi menggunakan ijuk.

Uniknya pembuatan rumah adat tersebut dibangun tanpa menggunakan paku, tetapi memakai tali rotan.

Baca juga: Sejarah Suku Tidung, Kerabat Suku Dayak

Setiap rumah Mbarung Niang ditempati oleh enam hingga delapan keluarga.

Rumah adat Mbaru Niang memiliki lima lantai dan masing-masing lantai memiliki fungsi yang berbeda.

Berikut fungsi tingkatan rumah Mbarung Niang:

  • Tingkatan pertama

Pada ruang tingkatan pertama digunakan sebagai tempat tinggal dan untuk berkumpul dengan keluarga. Tingkatan pertama tersebut biasa disebut lutur (bagian depan yang berfungsi sebagai ruang publik).

Pada tingkat pertama memiliki diameter 11 meter.

  • Tingkatan kedua

Ruang tingkatan kedua merupakan loteng yang berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang keperluan sehari-hari. Tingkat kedua tersebut biasanya disebut lobo. Memiliki diameter sekitar 9 meter.

Di lobo ini terdapat tiang yang digantung dan berbentuk bulat sebesar kepala manusia sehingga sering dianggap sebagai perlambangan kelahiran bayi.

Baca juga: Kehidupan Zaman Sejarah di Indonesia

  • Tingkatan ketiga

Tingkatan ketiga biasa digunakan untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan.

Tingkat ketiga disebut lentar dengan berdiameter sekitar 9 meter.

  • Tingkatan keempat

Tingkatan keempat berguna untk menyimpan stok makanan jika suatu saat terjadi kekeringan akibat musim kemarau atau gagal panen. Tingkatan empat disebut juga lempa rae

  • Tingkatan kelima

Pada ruang di tingkatan kelima merupakan tempat untuk melakukan sesajian yaitu persembahan untuk leluhur. Tingkatan kelima disebut juga hekang kode.

Dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), rumah Mbaru niang disangga oleh tiang-tiang penyangga rumah yang terdiri dari dua jenis, yaitu hiri ngaung dan hiri mehe (tiang utama).

Kedua tiang tersebut memiliki fungsi berbeda, yaitu hiri ngaung berfungsi untuk menanggung beban lantai dasar, sedangkan hiri mehe berfungsi sebagai tiang utama penyangga beban bangunan.

Baca juga: Sejarah Kota Surabaya

Seluruh tiang penyangga ditancapkan ke tanah dan dilapisi ijuk serta plastik agar tidak cepat lapuk.

Perbedaan antara keduanya adalah hiri ngaung ditancapkan dengan kedalaman minimal 80 cm dan di bagian bawahnya diberi umpak batu, sedangkan hiri mehe kedalamannya minimal 100 cm.

Dalam satu mbaru niang, hiri mehe biasanya berjumlah sembilan, sedangkan hiri ngaung berjumlah sekitar 42.

Oleh masyarakat sekitar, sembilan hiri mehe melambangkan jumlah bulan ketika seorang ibu mengandung.

Setiap mbaru niang memiliki tinggi kolong (ngaung) sekitar 1 m dan biasanya digunakan untuk menenun, meletakkan kayu atau barang lainnya, serta memelihara ternak.

Keberadaan rumah Mbaru Niang di Wae Rebo tidak berubah sejak Kampung Wae Rebo didirikan.

Tujuh mbaru niang tersebut terdiri dari satu mbaru gendang (rumah yang dipakai untuk menyimpan gendang serta pusaka milik Kampung Wae Rebo) serta enam niang gena (rumah biasa sebagai tempat tinggal).

Baca juga: Sejarah Munculnya Bendera

Enam niang gena itu diberi nama Niang Gena Maro, Niang Gena Jintam, Niang Gena Pirung, Niang Gena Ndorom, Niang Gena Jekong, dan Niang Gena Mandok.

Ketujuh Mbaru Niang tersebut dibangun menghadap selatan dan membentuk pola setengah lingkaran.

Pola tersebut memiliki makna yang dalam, yaitu menjaga agar antara rumah satu dengan rumah yang lainnya tidak ada yang saling membelakangi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi