Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aktivitas Ekonomi Masyarakat Tionghoa di Surakarta Awal Abad 20

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Labib Zamani
Pertunjukan atraksi liong dalam kirab budaya Grebeg Sudiro di Solo, Jawa Tengah, Minggu (11/2/2018).
Penulis: Ari Welianto
|
Editor: Ari Welianto

KOMPAS.com - Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Indonesia salah satunya ke Surakarta dilakukan secara bertahap migrasi.

Kedatangan orang-orang Tionghoa ke berbagai daerah di Indonesia salah satu di Surakarta dilakukan dengan cara berlayar dari Provinsi Fujian ke berbagai tujuan termasuk ke Jawa.

Mereka datang dan menunjukkan peran dalam kehidupan sosial di Surakarya telah berlangsung jauh sebelum Surakarta menjadi ibu kota kerajaan.

Menurut berbagai kajian orang-orang Tionghoa sudah ada sejak terjadinya konflik internal keraton. Di mana mereka melakukan pemberontakan kepada Paku Buwono II dan VOC di bawah pimpinan Raden Mas Garendi.

Peristiwa pemberontakan tersebut atau disebut geger pecinan terjadi pada 1742.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah pemberontakan berakhir membuat orang-orang Tionghoa diperbolehkan tinggal.

Baca juga: 10 Komoditas Unggulan Indonesia

Keterlibatan Tionghoa dalam industri dan perdagangan membuat komunitas mereka bertambah sehingga diperlukan pemukiman baru salah satunya adalah Balong.

"Pemukiman awal orang-orang Tionghoa di Surakarta ada di sebelah timur Pasar Gede, yaitu Kampung Balong" ujar Riyadi, Dosen Sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dalam diskusi Aktivitas Ekonomi Masyarakat Tionghoa Surakarta Awal Abad ke-20.

Mereka yang tinggal di Kampung Balong adalah orang-orang Tionghoa kelas menengah dan bawah. Untuk orang-orang Tionghoa kelas atas tinggal di pemukiman Coyudan.

Aktivitas ekonomi masyarakat Tionghoa di Balong sebagai, buruh industri, pedagang kelontong, dan industri batik, hal ini berbeda dari masa kolonial yang juga mengusahakan mindering dan pemborong pajak. Untuk masyarakat Tionghoa di Coyudan banyak membuka toko.

Kehidupan sosial komunitas masyarakat Tionghoa sepanjang abad ke-20 telah mengalami banyak perubahan terutama dalam upacara-upacara adat, nama, agama, kesenian, perkawinan, kematian, dan mentalitas.

Baca juga: Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari 1816 hingga 1875

Perubahan tersebut disebabkan adanya perkawinan campur dengan Jawa, dan penerimaan kebijakan asimilasi masa Orde Baru.

Serangkaian perubahan tersebut menunjukkan proses transformasi orang Tionghoa “menjadi Jawa”.

Nama Balong menurut Riyadi, ada dua versi penamaan tersebut. Pertama, dari kata balung, karena tidak jauh dari Balong terdapat kawasan yang dipakai untuk membuang balung.

Kemudian dari Jawa, Balong berati mata air.

Orang-orang Tiongho yang termasuk golongan pedagang dan menengah ke atas diberi tempat di sekitar Pasar Gede.

Di sana mereka membuka toko kelontong, ada juga yang berjualan dengan keliling ke desa-desa.

Baca juga: Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari 1800 hingga 1816

Lihat Foto
Tribunnews.com
Kampung Balong, Sudiroprajan Solo
Aktivitas ekonomi

Keberadaan orang-orang Tionghoa di Surakarta lambat laun semakin banyak jumlahnya. Bahkan semakin penting peran masyarakat Tionghoa dalam aktivitas ekonomi.

Oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengangkat pemimpin masyarakat Tionghoa dengan pangkat mayor.

Pengangkatan tersebut dilakukan karena orang-orang Tionghoa di Surakarta jumlahnya semakin banyak.

Mayor tersebut membawahi perkampungan Tionghoa (wijk), sedang berpangkat kapiten bertanggung jawab kepada mayor.

Masyarakat Tionghoa di Surakarta awalnya menjalin hubungan baik dengan orang Jawa. Hanya saja hubungan tersebut mengalami kategangan, kondisi itu terkait dengan industri batik.

Orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa seperti Hokkian, Hakka, Theo Chiu, dan Kanton.

Baca juga: Sejarah Banjir Jakarta dari Zaman Tarumanegara hingga Hindia Belanda

Masing-masing komunitas tersebut memiliki pekerjaan yang berbeda. Ini seperti terlihat pada suku Hokkian, di mana memiliki usaha yang berbeda dan tersebar.

  • Miang Ang di selatan Surakarta sebagai seorang petani sawah, kebun-kebun teh dan palawija.
  • Hok Chia Sub, pengusaha batik dan tekstil, distribusi pemasaran serta industri manufaktur.
  • Heng Hua banyak dijumpai di Kemlayan, pengusaha bisang otomotif, bengkel motor, dan suku cadang lainnya.
  • Hok Chiu di Coyudan dan Pasar Klewer, sebagai pedagang dan pengusaha emas.

Masyarakat Tionghoa banyak menjadi perajin dan pengusaha batik yang berkembang pada akhir abad ke-19. Awalnya hanya di lingkungan keraton dan rumah-rumah para bangsawan.

Karena orang-orang Tionghoa mendominasi perdagangan batik pada waktu itu hingga membentuk perkumpulan dagang bernama Kong Sing membuat orang-orang pribumi merasa tersingkirkan.

Kondisi itu melatarbelakangi dan menjadi cikal bakal terbentuknya Sarekat Dagang Islam (SDI) oleh pengusaha batik pribumi bernama Samanhudi.

Baca juga: Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari 1725 hingga 1798

Usaha batik berkembang

Dikutip dari jurnal Usaha batik masyarakat China di Surakarta tahun 1900-1930 (2001) karya Sariyatun, usaha batik masyarakat Tionghoa di Surakarta berkaitan dengan kebijakan politik pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksistensi usaha batik masyarakat Tionghoa di Surakarta antara 1900-1930 didukung oleh:

  • Kemampuan menjalin hubungan dengan penguasa setempat
  • Keunggulan mereka dalam berdagang dibanding para pedagang pribumi
  • Tersedianya tenaga buruh yang banyak dan murah
  • Mereka lebih dahulu menguasai bahan baku dan obat batik serta perdagangan batik di luar Surakarta dan Jawa Tengah
  • Modal yang kuat dengan jaringan kredit, distribusi barang untuk tengkulak dan eceran, serta mampu memasuki kapital dalam proses produksi batik.

Orang-orang Tionghoa menguasai bahan baku batik sebelum 1890.

Baca juga: Masyarakat: Pengertian, Ciri-Ciri, dan Fungsi

Pada 1900, masyarakat Tionghoa Cina telah mampu membangun perekonomian sendiri yang diistilahkan "dari parasifisme menjadi ke konsfruksi".

Bersamaan dengan keadaan tersebut daerah Vorstenlanden terbuka bagi aktivitas ekonomi dan bisnis. Banyak industri-industri batik bermunculan.

Sejak 1892 orang-orang China mulai menembus industri batik melalui pengawasan atas suplai bahan mentah dan produksi barang jadi.

Mereka menguasai pasar di luar Surakarta dan Jawa tengah. Usaha mereka semakin menjadi setelah ditemukan teknik cap dan pewarna sintetis.

Pada abad ke-20, orang-orang Tionghoa juga mengalami akulturasi adat, budaya, dan agama meski masih ada yang mempertahankan keyakinan tanah leluhurnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi