Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kondisi Surakarta Awal Abad ke-20

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/HILDAWEGES PHOTOGRAPHY
Ilustrasi Keraton Surakarta yang bisa dikunjungi secara virtual.
Penulis: Ari Welianto
|
Editor: Ari Welianto

KOMPAS.com - Surakarta terus berkembang dan melakukan modernasasi kota sejak awal berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat hingga saat ini.

Surakarta memiliki peran penting setelah menjadi salah satu kota kolonial yang berfungsi sebagai karesidenan.

Di mana membawahi beberapa wilayah di sekitarnya, Surakarta, Klaten, Boyolali, Sragen, dan Wonogiri.

Pada masa tersebut Surakarta mengalami modernisasi atau perubahan yang luar biasa.

Dulu di Surakarta terdapat tiga pemerintahan yang berbeda, yaitu Kasunanan Surakarta, Kadipaten mangkunegaran dan Residen Belanda.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pada masa itu pada masyarakat terdapat berbagai lapisan, yakni lapisan atas, dan bawah. Untuk lapisan atas terdiri para bangsawan dam priyayi, sedangkan golongan terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, serta perajin.

Baca juga: Aktivitas Ekonomi Masyarakat Tionghoa di Surakarta Awal Abad 20

Dikutip dari buku Daerah Istimewa Surakarta (2010) karya Imam Samroni dan kawan-kawan, Surakarta pada masa kolonial Belanda merupakan daerah Vorstenlanden (swapraja).

Swapraja adalah daerah yang berhak memerintah sendiri atau tidak diatur oleh UU seperti daerah lain, tetapi diatur dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal dan Sri Sunan.

Ada dua macam kontrak politik pada waktu, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan keraton dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda.

Kasunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Mangkunegaran diatur dalam pernyataan pendek.

Sejak Gubernur Jenderal G.J. Van Heutz (1851-1924), setiap terjadi pergantian raja, maka diadakan pembaharuan kontrak.

Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam 1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam 1940/543.

Baca juga: Dampak Negatif Intoleransi dan Cara Menghindarinya

Sebelum kedatangan Belanda, hegemoni keraton (ketika itu masih Mataram) memiliki kekuasaan politik yang absolut dan pemerintahan feodal dapat dilakukan keraton secara penuh.

Namun, setelah Belanda datang keraton bukan satu-satunya pengambil kebijakan di Surakarta. soal kepemilikan tanah sebagian diatur Belanda.

Perkembangan Surakarta

Memasuki abad 20, banyak pendatang dari Eropa yang datang ke Surakarta untuk menetap. Karena pada waktu Surakarta termasuk enam kota besar di Jawa pada waktu itu.

Dilansir dari jurnal Modernisasi Kota Surakarta Awal Abad XX (2013) karya Riyadi, Surakarta yang dibangun pada 1745 banyak mengalami kemajuan dengan pemerintahan feodal yang berjalan pada waktu itu.

Kemajuan yang dilakukan mulai Keraton Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono (PB) II hingga PB X. Pada masa itu setiap raja memiliki kontribusi terhadap perkembangan Surakarta.

Namun, yang paling menonjol adalah pembangunan kota yang dilakukan oleh PB X.

Baca juga: Cara Menerapkan Sikap Toleransi Sejak Dini

Pada masa pemerintahan PB X, banyak menghasilkan pembangunan-pembangunan yang kemudian dipahami sebagai representasi keberasaan raja keraton.

Pada dekade pertama 1900, Surakarta telah menjadi kota yang sibuk dan sebagai pusat perdagangan, aktivitas sosial dan religius.

Pelayanan kepentingan umum di Surakarta berkembang. Di mana ditandai dengan munculnya hotel, saran ledeng, taman hiburan, benteng, museum.

Kemudian stadion, sekolah, tempat penjualan daging, telepon dan fotograf serta perpustakaan umum.

Untuk mendukung arus perdagangan, jalan-jalan di pusat kota dibuat luas dan baik terutama di daerah Residensi Eropa.

Untuk memperlancar arus ekonomi dari timur, PB X membangun jembatan Jurug di atas Sungai Bengawan Solo.

Di wilayah bagian selatan yang menghubungkan Surakarta dengan Sukoharjo juga dibangun jembatan di daerah Bacem.

Baca juga: Kisah Dewa Atlas

Untuk mendukung kelancaran transportasi di daerah perkotan dibuat kereta trem.

Pembangunan trem untuk angkutan umum dilakukan sekitar 1900 dari pusat kota, yaitu halte depan Benteng Vastenburg.

Trem ditarik dengan kuda yang setiap pos berhenti untuk naik turun penumpang. Tujuan akhir dari adalah Stasiun Purwosari yang telah lebih dulu dibangun pada 1875.

Pembangunan jalur kereta api mempunyai pengaruh yang besar bagi perkembangan kota menuju modernisasi. Kereta api telah merubah penggunaan sumber energi dari hewan ke mesin.

Meski pembangunan diberbagai bidang dilakukan, namun diskriminasi etnis dan sosial masih terjadi.

Tidak semua orang dapat menggunakan fasilitas publik, seperti kereta karena mahalnya ongkos naik kereta.

Baca juga: Kenapa Kuda Harus Pakai Sepatu?

Dikutip dari buku Masa Menjelang Revolus: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942 (1990) karya George D. Larson, Secara fisik modernisasi Surakarta pada awal abad ke-20 sangat pesat.

Bahkan bisa dikatakan secara viariatif Surakarta hampir sejajar dengan Batavia, karena sarana yang ada di kedua kota hampir serupa.

Dilansir dari jurnal Nuansa Kota Kolonial Surakarta Awal Abad XX: Fase Hilangnya Identitas Lokal (2016) karya Susanto, masyarakat Indis di Surakarta sejak 1871 semakin berkembang. Ini ditandai banyaknya pendatang bari kaum kulit putih.

Keberadaan kurang mampu mendinamisasi budaya Indis. Mereka justru mendorong munculnya budaya baru melalui praktik kanonisasi budaya.

Penyebab Modernisasi Surakarta

Modernisasi oleh Orang-orang Eropa masa kolonial disebabkan oleh sikap mempertahankan desain kota dengan sistem modern (tipe Eropa) yang dilengkapi jaringan komunikasi (seperti, telepon dan Koran), transportasi (seperti, kereta api, jalan darat, dan trem).

Baca juga: Manfaat Perpindahan Panas Secara Konveksi bagi Manusia

Kemudian supra struktur ekonomi (seperti, bank, rumah gadai), sarana penunjang kota (seperti, gereja, sekolah, lapangan olah raga, societeit, gedung teater).

Selain itu adanya fasilitas pelayanan umum (seperti, apotek, rumah sakit, kantor pos dan telegraf), serta sarana rekreasi kota, seperti, Taman Balai Kambang, Tirtonadi, Taman Botani Partini Tuin, Partinah Bosch, dan Partimah Park.

Dikutip dari buku Pahlawan-Pahlawan Indonesia Sepanjang Masa (2014) karya Didi Junaedi, pada masa pemerintahan PB X yang cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi.

Di mana dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik Hindia Belanda.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi