KOMPAS.com - Teori disonansi kognitif adalah teori yang membahas bagaimana manusia akan mencari serta berupaya untuk mengurangi ketidaknyamanan dalam berbagai situasi.
Disonansi kognitif bisa diartikan sebagai perasaan tidak nyaman yang ditimbulkan oleh sikap, pemikiran, serta perilaku yang tidak konsisten. Teori ini digagas oleh Leon Festinger pada 1950-an.
Konsep kognitif dan disonansi
Untuk mempermudah pemahaman, Festinger menjabarkan dua konsep utama dalam teori ini, yaitu disonansi dan kognitif.
Dikutip dari jurnal Studi Review Sistematis: Aplikasi Teori Disonansi Kognitif dan Upaya Reduksinya pada Perokok Remaja (2021) karya Alexandra Tatgyana Suatan dan Irwansyah, disonansi adalah konflik atau inkonsitensi atau tidak konsisten.
Sementara, kognitif merupakan elemen kognitif yang terdiri dari sikap, persepsi, pengetahuan, serta keyakinan.
Festinger menjelaskan bahwa semua individu punya elemen kognitif, di mana tiap elemen tersebut tidak terisolasi, melainkan berhubungan satu sama lain.
Baca juga: Teori Spiral Keheningan: Asumsi dan Penjelasannya
Hubungan ini terbagi menjadi tiga, yakni hubungan tidak relevan, hubungan yang relevan dan saling memperkuat atau konsisten, serta hubungan yang relevan dan saling bertabrakan atau tidak konsisten.
Ketika dua elemen kognitif saling berhubungan tetapi tidak konsiten, hal ini akan menimbulkan disonansi atau ketidaknyamanan dalam diri individu.
Asumsi teori disonansi kognitif
Pada intinya, teori disonansi kognitif berasumsi bahwa manusia tidak suka berada dalam keadaan disonansi karena akan menimbulkan ketidaknyamanan. Hal ini akan menimbulkan motivasi, sehingga manusia berupaya untuk mengurangi disonansi dan mencari konsistensi.
Menurut Richard West dan Lynn H. Turner dalam buku Introducing Communication Theory: Analysis and Application (2008), ada empat asumsi yang mendasari teori disonansi kognitif, yakni:
Asumsi 1: manusia punya hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunyaAsumsi ini menekankan pada sifat dasar manusia yang mementingkan stabilitas dan konsistensi. Teori ini menjelaskan bahwa manusia tidak akan menikmati inkonsistensi dalam pikiran serta keyakinan mereka. Sebaliknya, manusia akan berusaha mencari konsistensi.
Asumsi 2: disonansi diciptakan oleh inkonsistensi psikologisAsumsi kedua menjelaskan tentang jenis konsistensi yang penting bagi manusia. Teori ini tidak berpegang pada konsistensi logis yang kaku, melainkan merujuk pada kognisi yang inkonsisten secara psikologis antara satu sama lainnya, guna menimbulkan disonansi kognitif.
Baca juga: Teori Interaksi Simbolik: Konsep Penting dan Asumsinya
Asumsi 3: disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong manusia untuk melakukan beberapa tindakan dengan dampak yang bisa diukurAsumsi ini menjelaskan bahwa ketika manusia mengalami inkonsistensi psikologis, disonansi yang tercipta dapat menimbulkan perasaan tidak suka. Intinya, manusia tidak suka atau tidak senang berada dalam keadaan disonansi, karena menimbulkan ketidaknyamanan.
Asumsi 4: disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi serta usaha untuk mengurangi disonansiAsumsi terakhir menjelaskan bahwa rangsangan yang diciptakan oleh disonansi akan memotivasi orang untuk menghindari situasi yang mampu menciptakan inkonsistensi, dan berusaha mencari situasi yang bisa mengembalikan konsistensi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.