KOMPAS.com - Di awal kemunculannya, boyband Korea dianggap sebagai laki-laki yang kurang maskulin dari segi penampilan.
Bahkan banyak yang menganggap bahwa boyband Korea adalah boneka dan tidak merepresentasikan seorang laki-laki. Anggapan tersebut banyak dilontarkan dari laki-laki.
Situasi tersebut dikarenakan adanya toxic masculinity. Apa itu toxic masculinity?
Pengertian toxic masculinity
Toxic masculinity atau maskulinitas beracun, lahir dari konstruksi sosial masyarakat patriarkis, yang mengacu pada perilaku dan sikap yang kasar yang dikaitkan dengan laki-laki.
Dikutip dari Very Well Mind, toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya bagi laki-laki untuk melakukan perilaku dengan standar secara berlebihan.
Toxic masculinity adalah deskripsi sempit mengenai sikap dan perilaku gender laki-laki, di mana laki-laki:
- Tidak menunjukkan emosi sedih dan mengeluh, serta menganggap bahwa pria hanya boleh mengekspresikan keberanian dan amarah
- Tidak membutuhkan kenyamanan
- Tidak perlu menerima bantuan dan tidak boleh bergantung pada siapa pun
- Harus memiliki kekuasaan dan status sosial yang tinggi agar bisa dihormati oleh orang lain
- Berperilaku kasar dan agresif, serta mendominasi orang lain, khususnya wanita
- Tidak boleh memakai makeup
- Tegas dan berani
Baca juga: Teori Male Gaze, Penyebab Diskriminasi Perempuan dalam Film
Dari ikatan sifat itulah, ketika seorang pria berperilaku yang melenceng dari standar yang ada, mereka akan dicap sebagai laki-laki lemah.
Padahal, seorang laki-laki juga dapat menunjukkan emosi dan menjadi pribadi yang sensitif.
Tentu saja hal ini bukanlah hal yang salah, namun standar yang ada pada laki-laki yang membuat hal ini menjadi stigma yang negatif.
Salah satu bentuk contoh toxic masculinity adalah pemberian label buruk kepada boyband-boyband Korea yang dianggap tidak macho serta tidak berperilaku kasar dan agresif. Justru menunjukkan sifat lemah lembut dan ramah terhadap penggemarnya.
Hal ini memicu sebuah toxic masculinity pada laki-laki yang melihat boyband Korea karena mereka tidak mencakup sifat maskulin yang ada pada laki-laki.
Selain itu, toxic masculinity ini membuat kebanyakan laki-laki merasa terasingkan dengan sifat boyband Korea yang menunjukkan emosi. Sementara, dalam hidup kebanyakan laki-laki terbiasa untuk menjadi sosok yang kuat dan tidak menunjukkan emosi.
Berdasarkan jurnal Representasi Maskulinitas Boyband dalam Video Klip (Analisis Semiotika Tentang Representasi Maskulinitas Boyband dalam Video Klip Bonamana Oleh Boyband Super Junior) (2013) oleh Junior dan Juwita, boyband-boyband Korea sedang mendobrak toxic masculinity melalui seni musik dan fashion.
Baca juga: Contoh Diskriminasi dan Cara Menghindari
Industri K-Pop memiliki standar yang menarik untuk menampilkan soft masculinity pada boyband Korea.
Penampilan tubuh yang atletis, hingga pakaian up to date tetap disematkan pada laki-laki boyband tanpa meninggalkan sikap lembut, kharisma, dan wibawa seorang laki-laki.
Make up dan fashion tidak ada hubungannya dengan maskulinitas, melainkan wujud dedikasi tinggi kepada diri sendiri.
Dampak toxic masculinity
Toxic masculinity ini akan mengganggu kesehatan mental laki-laki karena hal ini dapat membatasi definisi sifat seorang laki-laki dan mengekang pertumbuhannya dalam bermasyarakat.
Pembatasan sifat ini akan memberikan beban terhadap laki-laki yang dianggap tidak memenuhi standar maskulinitas.
Apabila seorang laki-laki dibesarkan melalui pandangan sempit toxic masculinity, mereka hanya akan merasa diterima masyarakat jika sudah memenuhi standar maskulinitas yang berlebihan.
Hal ini dapat memicu gangguan kesehatan mental seperti:
- Seorang laki-laki lebih memilih untuk memendam emosinya daripada meminta pertolongan
- Seorang laki-laki lebih rentan mengidap depresi
- Seorang laki-laki rentan mendapatkan trauma psikologis
- Seorang laki-laki lebih rentan untuk bunuh diri
Baca juga: Teori Dramatisme: Pengertian, Asumsi, dan Retorika
Mencegah toxic masculinity
Terdapat beberapa cara untuk mencegah toxic masculinity, yaitu:
- Menyebarkan fakta mengenai gender
- Membatasi penggunaan kata-kata "laki-laki tidak boleh menangis" atau "bersikaplah layaknya laki-laki" karena hal tersebut dapat memengaruhi psikologis anak ketika dewasa
- Sering melakukan diskusi mengenai maskulinitas, baik di lingkungan rumah maupun sekolah
- Mengikuti organisasi yang bergerak mengenai gender.
- Ikut andil dalam memerangi toxic masculinity dengan melakukan sharing atau pengajaran melalui media sosial.
- Hati-hati dalam membrikan media hiburan pada anak.