Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Puputan Jagaraga dan Margarana

Baca di App
Lihat Foto
J.P. de Veer
Artileri Belanda di Jagaraga
|
Editor: Serafica Gischa

KOMPAS.com - Perlawanan raja - raja Bali terhadap Belanda dikenal dengan sebutan perang puputan yang maknanya perang sampai titik darah penghabisan. 

Puputan berasal dari bahasa Bali, puput yang artinya tanggal, putus, habis, atau mati. Sehingga puputan dalam bahasa Bali mengacu pada ritual bunuh diri massal yang dilakukan saat perang daripada harus menyerah kepada musuh. 

Puputan yang terkenal di Bali adalah Puputan Jagaraga dan Puputan Margarana. Berikut penjelasannya: 

Puputan Jagaraga

Perang Puputan Jagaraga disebut Perang Bali II, terjadi pada 1848 hingga 1849. Perang ini dilakukan oleh Patih Jelantik bersama dengan rakyat Buleleng, Bali. 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puputan Jagaraga disebabkan oleh ketidaktaatan Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made Karangasem dan Maha Patih I Gusti Ketut Jelantik pada perjanjian damai kekalahan perang Buleleng pada 1846. 

Mengutip dari situs Pemerintah Kabupaten Buleleng, perjanjian tersebut ditandatangani oleh Raja Buleleng serta Raja Karangasem yang membantu Perang Buleleng. 

Baca juga: Senjata Tradisional Kandik Bali

Adapun isi perjanjian damai tersebut, yakni: 

Setelah Perang Buleleng berakhir, I Gusti Ngurah Made Karangasem dan I Gusti Ketut Jelantik memindahkan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga. 

Di sana mereka mengatur strategi perang untuk melawan Belanda. Pada 8 Juni 1848, Belanda menyerang Pelabuhan Sangsit dan diserang balik oleh I Gusti Ketut Jelantik. 

Mengakibatkan 250 prajurit Belanda tewas dan menandakan bahwa Belanda kalah pada Perang Jagaraga pertama. 

14 April 1849, Belanda mendarat di Pelabuhan Pabean dan Sangsit. Mereka bersiap untuk melakukan aksi serangan di Jagaraga. 

Saat itu, I Gusti Ketut Jelantik berupaya untuk mengajak Belanda berdamai sebagai bentuk strategi mengulur waktu agar bisa meminta bantuan dari para raja Bali lainnya.

Usulan perdamaian ditolak Belanda dan I Gusti Ketut Jelantik kembali ke Desa Jagaraga. Namun, ketika perjalanan pulang, benteng pertahanan milik Jagaraga sudah diserang Belanda. 

I Gusti Ketut Jelantik bersama Raja Buleleng meminta bantuan Raja Karangasem. Namun, ditengah perjalanan mereka diserang Belanda dan tewas dalam pertempuran. 

Di Jagaraga, Jro Jempiring bersama dengan pimpinan prajurit menyerukan perang puputan dan menghunuskan dua keris ke diri mereka sendiri. 

Baca juga: Keunikan Keris Khas Bali

Lihat Foto
Bali Chronicles (2004)
Kavaleri Belanda di Sanur, Bali tahun 1906
Puputan Margarana

Puputan Margarana terjadi pada 20 November 1946. Perang ini terjadi di Desa Marga, Kecamatan Margarana, Tabanan, Bali. 

Pertempuran ini dipimpin oleh Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, selaku Kepala Divisi Sunda Kecil, bertempur melawan Belanda bersama pasukannya. 

Puputan Margarana terjadi setelah Jepang kalah dan Belanda datang ke Indonesia untuk mengambil alih atau merebut daerah kekuasaan Jepang.

Dalam Perjanjian Linggarjati 15 November 1946, Belanda hanya mengakui kekuasaan de facto Indonesia meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera. 

Pengakuan tersebut memicu rasa sakit hati rakyat Bali karena belum diakui secara de facto sebagai wilayah Indonesia. 

Pada 18 November 1946, markas pertahanan Belanda di Tabanan, Bali diserang. Hal ini membuat Belanda murka dan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengepung Bali, khususnya Tabanan.

Baca juga: Kisah Kepunahan Harimau Bali

Pasukan yang dikirim Belanda mulai melakukan serangan pada 20 November 1946 pukul 05.30 WITA, dengan menembaki area pasukan warga Bali.

Beberapa saat kemudian terdengar suara tembakan, di mana pasukan Belanda ditembak mati oleh pasukan Ciung Wanara yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. 

Tak terima pasukannya mati, Belanda terus-terusan melakukan aksi serang dari berbagai arah. Namun, serangan tersebut dapat dihentikan oleh pasukan Ciung Wanara. Hingga akhirnya Belanda dan pasukannya mundur menghindari pertempuran. 

Karena merasa sudah sedikit aman, I Gusti Ngurah Rai meloloskan diri dari kepungan musuh. Namun, dalam perjalanannya, Belanda mengirimkan pesawat terbang untuk memburu I Gusti Ngurah Rai. 

Untuk terakhir kalinya I Gusti Ngurah Rai menyerukan "Puputan!', yang berarti habis-habisan. I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya bertempur melawan Belanda hingga titik darah penghabisan.

Baca juga: Payas Agung, Pakaian Adat Bali

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi