Oleh: Yopi Nadia, Guru SDN 106/IX Muaro Sebapo, Muaro Jambi, Jambi
KOMPAS.com - Belanda memperkenalkan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel pada masa kepemimpinan Johannes Van Den Bosch.
Sistem tanam paksa adalah sistem yang mengharuskan rakyat melaksanakan proyek penanaman tanaman ekspor di bawah paksaan pemerintah Kolonial Belanda.
Sistem tanam paksa pertama kali diperkenalkan di Jawa dan dikembangkan di daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa.
Di Sumatera Barat, sistem tanam paksa dimulai sejak tahun 1847. Saat itu, penduduk yang telah lama menanam kopi secara bebas dipaksa menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial.
Sistem yang serupa juga diterapkan di tempat lain seperti Minahasa, Lampung, dan Palembang.
Baca juga: Cultuurstelsel, Sistem Tanam Paksa yang Sengsarakan Rakyat Pribumi
Latar belakang sistem tanam paksa
Sistem tanam paksa oleh pemerintah kolonial Belanda dilatarbelakangi oleh sejumlah peristiwa berikut:
- Belanda menghabiskan biaya yang besar karena terlibat dalam peperangan di masa kejayaan Napoleon Bonaparte di Eropa.
- Terjadinya perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada tahun 1830.
- Belanda menghabiskan biaya hingga sekitar 20 juta gulden untuk menghadapi perang Diponegoro. Perang Diponegoro adalah perlawanan rakyat jajahan termahal bagi Belanda.
- Kas Negara Belanda kosong dan utang yang ditanggung Belanda cukup banyak
- Pemasukan uang dari penanaman kopi tidak mencukupi
- Kegagalan upaya mempraktikkan gagasan liberal dalam mengeksploitasi tanah jajahan agar memberikan keuntungan yang besar bagi Belanda.
Atran-aturan sistem tanam paksa
Beberapa aturan dibuat dalam melaksanakan sistem tanam paksa. Aturan sistem tanam paksa, yaitu:
- Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang dapat dijual di pasar Eropa.
- Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
- Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tersebut tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam tanaman padi.
- Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah
- Hasil tanaman diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihan tersebut diberikan kepada penduduk.
- Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani akan menjadi tanggungan pemerintah.
- Bagi yang tidak memiliki tanah akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun.
- Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropa hanya bertindak sebagai pengawas secara umum.
Baca juga: Palaksanaan Tanam Paksa di Indonesia
Penyimpangan sistem tanam paksa
Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia, ternyata banyak terjadi penyimpangannya. Brikut beberapa penyimpangan yang dilalukan Kolonial Belanda, yaitu:
- Jatah tanah untuk tanaman ekspor melebihi seperlima tanah garapan, apalagi jika tanahnya subur.
- Rakyat lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan waktunya untuk tanaman ekspor sehingga sawah dan ladang milik sendiri menjadi terlantar.
- Rakyat yang tidak memiliki tanah harus bekerja melebihi seperlima tahun.
- Waktu pelaksanaan tanam paksa ternyata melebihi waktu tanam padi (3 bulan), sebab tanaman perkebunan memerlukan perawatan yang terus menerus.
- Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak yang harus dibayarkan kembali kepada rakyat, ternyata tidak dikembalikan kepada rakyat.
- Kegagalan panen wajib menjadi tanggungan petani (rakyat).
Penyimpangan-penyimpangan tersebut membawa akibat yang memberatkan rakyat, seperti banyak lahan terbengkalai sehingga panen gagal, rakyat semakin menderita, timbulnya wabah penyakit, bahaya kelaparan melanda Cirebon dan memaksa rakyat mengungsi ke daerah lain untuk menyelamatkan diri.
Kelaparan tersebut juga menyebabkan banyak rakyat yang meninggal sehingga jumlah penduduk menurun tajam.
Baca juga: Di Manakah Tanam Paksa Dilaksanakan?
Penghapusan sistem tanam paksa
Tanam paksa yang diterapkan Belanda di Indonesia ternyata mengakibatkan aksi penentangan. Berkat adanya kecaman dari berbagai pihak, akhirnya pemerintah Belanda menghapus tanam paksa secara bertahap.
Salah satu tokoh Belanda yang menentang sistem tanam paksa adalah Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli.
Dia menentang tanam paksa dengan mengarang buku berjudul Max Havelaar. Edward Douwes Dekker mengajukan tuntutan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk lebih memperhatikan kehidupan bangsa Indonesia karena kejayaan negeri Belanda itu merupakan hasil tetesan keringat rakyat Indonesia.
Dia mengusulkan langkah-langkah untuk membalas budi baik bangsa Indonesia. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
- Pendidikan (edukasi)
- Membangun saluran pengairan (irigasi)
- Memindahkan penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang jarang penduduknya (transmigrasi)