Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 15 Jun 2022

Ketua Pusat Studi Pancasila Universitas Katolik Parahyangan

Bung Karno Sang "Parrhesiast" dan Jejak Pancasila di Ende

Baca di App
Lihat Foto
dok. Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo saat meninjau Serambi Soekarno di Rumah Biara Santo Yosef di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara (NTT), pada Rabu (1/6/2022).
Editor: Egidius Patnistik

ENDE, sebuah kota kecil di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), pernah menjadi tempat “singgah” Bung Karno. Putusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, BC de Jonge, pada 28 Desember 1933 membuat Soekarno yang kala itu berusia 32 tahun menjalani masa pembuangan.

Setelah mengarungi laut dengan KM van Rieebeck selama delapan hari, Soekarno dan istrinya Inggit Garnasih beserta Ratna Djuami (anak angkat), dan Amsi (Ibu mertuanya) tiba di Ende-Flores. Selama empat tahun, tepatnya dari 14 Januari 1934 sampai dengan 18 Oktober 1938 Soekarno dikucilkan di Ende.

Baca juga: 4 Alasan Kenapa Ende disebut Kota Pancasila

Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia mengambarkan, kala itu penduduk Ende sekitar 5.000 orang. Pekerjaan penduduk itu petani kelapa, nelayan, dan petani biasa.

Apakah Soekarno, menyerah dengan skenario penjajah? Jawabannya, “Tidak”. Soekarno menemukan formasi kematangan tidak hanya ketika di Pulau Jawa, tempatnya tumbuh dan dibentuk secara sosio-kutural. Putra Sang Fajar itu justru kian matang dalam perjuangan kemerdekaan ketika berada di luar wilayah sosio-kultural yang membesarkannya, nun jauh di Ende, Flores.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bung Karno telah melampaui sekat kultural, agama, warna kulit, bahasa, ras, ekonomi dan sebagainya untuk berjumpa dengan keberagaman di tanah yang berbeda dengan budaya yang membentuknya sejak kecil. Kematangan ini lahir dari keseharian Bung Karno sebagai orang buangan di Ende.

Tulisan ini ingin membaca jejak Soekarno dan Pancasila secara filosofis terutama dengan memakai konsep refleksi parrhesia yang digagas Michel Foucault (1926-1984).

"Parrhesia" Soekarno

Parrhesia merupakan istilah kunci Michel Foucault, filsuf Prancis, tentang persoalan masyarakat. Pada Oktober-November 1983 dalam seminar di University of California Berkeley, Foucault menguraikan maksud pengunaan istilah itu. Dengan kepiawaian membaca teks Yunani Kuno seperti The Phoenician Women, Hyppolytus, Bacchae, Electra, Ion, Orestes, filsuf Foucault menguraikan arti penting parrhesia dalam kehidupan peradaban manusia.

Secara etimologis kata parrhesia berasal dari Bahasa Yunani parrhesiazesthai, yang bisa dirunut pada akar kata pan: segala sesuatu dan rhema: berkaitan dengan perkataan. Karena itu, parrhesia bermakna mengatakan segala sesuatu dengan jujur, apa adanya.

Foucault dalam bukunya Discourse and Truth-The Problematization of Parrhesia menandaskan bahwa dalam parrhesia pembicara menggunakan kebebasannya dan lebih memilih kejujuran daripada persuasi, kebenaran daripada kepalsuan atau diam, risiko mati daripada hidup dan rasa aman, kritik daripada kebohongan, dan keutamaan moral daripada kepentingan diri dan ketakpedulian moral (Michel Foucault:5).

Situasi yang sama bisa dilihat dalam berbagai catatan dan narasi Bung Karno ketika dibuang di Ende. Dia sungguh seorang parrhesiast (seorang yang bicara benar, apa adanya). Dia berbicara dengan siapa saja, para petani, para pastor yang ada di Ende, pedagang dan siapa saja yang dijumpai. Bung Karno merupakan pribadi yang terlibat, dia mengajak orang-orang yang buta huruf untuk bermain sandiwara. Dia melatih mereka, membacakan naskah untuk mereka (karena para pemainnya buta huruf) sebelum mereka bisa menghafal dialog-dialog sandiwara.

Bila di Jawa orang hadir mendengar pidatonya maka di tempat buangan itu dia tak boleh berpidato karena dilarang Belanda. Namun, Soekarno tak menyerah, dengan berani ia berupaya agar api perjuangan tak padam.

Baca juga: Muhammad Yamin dan Soepomo Tidak Mengusulkan Rumusan Pancasila!

Dia juga berteman akrab dengan para misionaris katolik yang sedang bertugas di Flores. Biara Santo Yosep Ende menjadi tempat Soekarno berdiskusi dengan para misionaris Belanda yang mendukung perjuangannya. Di lokasi itu pula, Bung Karno mementaskan 12 karya sandiwaranya bersama kelompok Sandiwara Kelimutu yang didirikannya.

Sang parrhesiast sejati tak hanya sibuk dengan sesuatu yang di luar dirinya. Sang parrhesiat sejati juga menyediakan waktu untuk merenung tentang kedirian sebagai manusia.

"Di Ende yang terpencil dan membosankan itu aku memiliki banyak waktu untuk berpikir. Di depan rumahku tumbuh sebatang pohon kluwih. Berjam-jam lamanya aku duduk bersandar pada pohon itu, memanjatkan harapan dan keinginan…Hanya semangat patriotisme yang menyala-nyala itu yang masih berkobar di dalam dadaku, yang membuat aku terus hidup," kata Soekarno (Cindy Adams:162-3).

Di bawah pohon kluwih itu, Soekarno tak ingin mengusik kesibukan binatang. Sebagaimana dikatakannya, bahwa ketika sekawanan kucing membuat sarang di pohon kluwih dekat rumahnya, ia kemudian mencari tempat baru yang lebih sepi. Sebuah pohon sukun yang menghadap ke laut menjadi favoritnya. Di bawah pohon, dalam kesunyian, Soekarno bersenandika (solilokui) tentang keilahian.

"Dan aku melihat pekerjaan Trimurti yang kukenal dalam agama Hindu. Aku melihat Brahma Yang Maha Pencipta berada dalam kuncup yang tumbuh di kulit kayu yang keabu-abuan itu…" (Cindy Adams: 163).

Sang parrhesiast itu jadi sungguh dekat dengan istrinya, kedekatan yang mendalam. Sepertinya dikisahkan Bung Karno,"Aku tidak pernah mengeluhkan penderitaanku pada Inggit. Kami hanya sesekali berbicara dari hati ke hati. Sekalipun hatiku sendiri gelap oleh rasa putus asa, aku mencoba membangkitkan kembali hatinya" (Cindy Adams: 154).

Soekarno juga mengalami kesedihan mendalam ketika tanggal 12 Oktober 1935 ia kehilangan seorang perempuan yang berjasa besar, ibu mertuanya, Amsi. Kecintaan akan ketulusan ibu mertuanya itu ditunjukkan Soekarno. "Dengan tanganku sendiri aku membangun kuburannya…aku mencari batu kali, memotong dan menggosoknya untuk batu nisannya…Ini adalah kehilangan yang pertama yang kualami. Dan sangat berat.” (Cindy Adams: 155).

Pancasila dalam derap revolusi, nalar, dan meditasi

Pada kunjungan ke Ende tahun 1951 dan 1954, saat Soekarno datang sebagai Presiden Indonesia, dia seakan kembali ke memori lebih kurang 20 tahun silam. Dengan lugas dikatakannya bahwa di kota itu, tepatnya di bawah pohon sukun di Pantai Ende itulah lima mutiara yang diberi nama Pancasila lahir.

Soekarno seakan menunjukkan bahwa Pancasila memang lahir dari derap revolusi kemerdekaan yang gegap gempita (Berlawanan dengan masa muda Soekarno yang diadili, dipenjarakan, dan dibuang). Pancasila juga lahir dari sebuah kerangka kognitif yang matang, terutama dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) -sebutan yang tepat adalah demikian tanpa kata “Indonesia” (Lih. RM. A.B.Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit FH UI 2009)- dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Pancasila juga lahir di tengah sebuah bentang alam yang terbuka, di tengah kesunyian meditasi politik kebangsaan seorang Soekarno di Ende.

Bulan ini, bangsa Indonesia akan memperingati hari ulang tahun kemerdekaan ke 77. Di rentang kemerdekaan ini ada hingar-bingar pembangunan, ada derap kemajuan, modernisasi yang tak terelakan tetap tetapi merefleksikan jati diri kita sebagai bangsa. Bangsa ini lahir dari perjumpaan dan dialog tulus, yang membutuhkan pergorbanan. Bangsa ini selain lahir dari keriuhan derap langkah yang gempita, juga di ruang kecerdasan intelektual dan kesunyian meditasi.

Pancasila adalah kalbu bangsa ini. Pancasila adalah kerangka kognitif yang memungkinkan kerja yang berorientasi pada pemerdekaan semakin paripurna. Seorang yang mencintai negeri ini, berarti seorang yang hidup dalam parrhesia yang telah ditunjukkan Bung Karno di Ende. Parrhesia Sokratik berdimensi etis dalam arti tidak memaksa orang, tetapi harus meyakinkan seseorang bahwa dia harus memberi perhatian pada dirinya dan orang lain juga sanggup mengubah hidupnya, dalam keberanian serta relasi personal dengan kebenaran.

Ruh ini juga yang dihidupi Bung Karno sampai akhir hanyat. Soekarno sejak muda hingga akhir hayat menunjukkan dimensi etis perjuangan, yaitu menghapuskan exploitation de l’homme par l’homme dan exploitation de nation par nation. Semangat yang kemudian dinyatakan secara tegas dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama. “…maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.

Soekarno sungguh seorang parrhesiast tentang Pancasila, dan itu kembali muncul di pidato di hadapan “IPKI dan Paduan Suara Gelora dari Medan di Istana Bogor, 25 Juni 1966”. Soekarno menandaskan bahwa Pancasila adalah ideologi pemersatu.

“Badanmu bisa hancur, he Nak. Badanmu bisa ditembak mati. Badanmu bisa diasingkan, badanmu bisa disiksa, badanmu bisa dijadikan debu sama sekali, tetapi Pancasilamu, keyakinanmu akan tetap berkobar-kobar hidup, meskipun badanmu sudah hancur.”

Keberanian, kejujuran, dan pengorbanan Soekarno juga dikatakan dalam pidato di akhir kekuasaannya 10 Januari 1967. Warisan Soekarno adalah keyakinannya bahwa Pancasila mempersatukan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi