Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 9 Mar 2022

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Rawat Pancasila, Ideologi Hayat-Hidup

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock/AfterID
Lambang negara Garuda Pancasila. Momen Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni mengingatkan pada proses perumusan ideologi dan dasar negara Republik Indonesia tersebut.
Editor: Egidius Patnistik

JADI berbicara tentang Pancasila di hadapan Tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari peradaban kami selama dua ribu tahun... Pancasila mempunyai arti universal dan dapat digunakan secara internasional,” kata Presiden Soekarno pada 30 September 1960 di depan Sidang Majelis Umum (MU) ke-15 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS).

Soekarno berpidato di markas besar PBB, New York, AS dengan judul pidato ‘To Build the World A New”. Isi cuplikan pidato itu antara lain Indonesia memiliki Pancasila, ideologi sejak ratusan bahkan ribuan tahun. Soekarno mengkritik pandangan ahli matematika-fisika Bertrand Russel (1872-1970) asal Inggris, bahwa hanya ada dua ideologi dunia abad 20, yakni liberalisme vs komunisme.

Tahun 1960 itu pula, sosiolog asal Universitas Harvard (AS), Daniel Bell, merilis buku The End of Ideology. Bahwa era ideologi humanisme asal abad 19 dan awal abad 20 telah redup.

Faktor pemicunya ialah lahirnya era baru: pergeseran dari manufaktur ke sektor-sektor jasa ekonomi, peran sentral dari industri-industri berbasis sains baru seperti revolusi teknologi informasi, dan lahirnya elite baru teknokrat di berbagai negara (Bell, 1960, 2000).

Baca juga: Sejarah Perumusan dan Lahirnya Pancasila

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bell melihat ideologi, bukan cuma berisi Weltanschaung atau wawasan budaya-bangsa tentang tata-dunia, tetapi juga suatu fondasi-keyakinan (belief-system), hasrat, dan seluruh pola hidup berbasis sejarah suatu masyarakat; ideologi sebagai doktrin politik berisiko digerus oleh revolusi ilmu-pengetahuan dan teknologi.

Bell juga melihat bahwa negara-kesejahteraan memupuskan perkiraan ekonom-sosiolog Karl Heinrich Marx (5 Mei 1818 – 14 Maret 1883) asal Jerman tentang risiko konflik-konflik antara pemilik modal dan pekerja. Begitu kira-kira Bell tafsir risiko redupnya ideologi demokrasi-liberalisme AS tahun 1950-an.

Jelang akhir abad 20, bubarnya imperium Uni Soviet tahun 1991 seolah-olah memperkuat tesis Bell (Summers, 2011). Begitu pula Profesor Gayil Talshir, Dr Mathew Humphrey, dan Dr Michael Freeden merilis buku Taking Ideology Seriously: 21st Century Reconfigurations (2018).

Abad 21 mengantar dunia ke zaman baru yakni era pasca-ideologi antara lain rapuhnya sosialisme dalam tata-kelola negara dan tata-dunia kini. Begitu kata Talshir et al (2018).

Sejak akhir abad 20, posisi dan peran negara-bangsa sebagai pembentuk proses ekonomi dan politik, dan jangkar identitas budaya semakin digerus oleh organisasi dan proses di dalam dan di luar batas-batasnya. Peran negara-bangsa digerus oleh jaringan global ideologi neo-liberalisme melalui kebijakan-kebijakan debirokratisasi, privatisasi, dan deregulasi. Begitu pula ideologi negara-bangsa.

Jessop (1994, 2002) menyebut contoh pengaruh jaringan ideologi neolib antara lain pergeseran dari konsep dan filosofi government (pemerintahan) negara ke konsep dan kebijakan tata-kelola (governance) dari jaringan ideologi neo-lib global. Ini contoh proses de-statisation atau proses denasionalisasi negara-bangsa dan ideologinya serta internasionalisasi para pemangku kepentingan dalam berbagai kebijakan negara-bangsa.

Ancaman Jaringan Neo-lib

Ahli ekonomi-politik Associate Professor Stephanie Lee Mudge asal University of California, Berkeley (AS) merilis kajian tentang ‘neo-liberalisme’ (neo-lib) dalam jurnal Socio-Economic Review vol. 6, edisi 1 Oktober 2008. Ideologi neo-lib mudah dikenali dari kebijakan dan programnya yakni privatisasi, liberalisasi, depolitisasi, deregulasi, dan moneterisme.

Program-program itu mempreteli kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab negara (pemerintah) di bidang sosial, ekonomi, kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan rakyat.

Jaringan ideologi neo-lib membawa juga sejumlah klaim yang berisiko menggerus ideologi negara-bangsa. Misalnya, jaringan ideologi neo-lib melahirkan integrasi pasar-pasar global ialah bagian dari globalisasi; maka ‘globalisasi’ dan ‘pasar’ adalah dua sisi pokok dan kembar dari keyakinan neo-lib (Steger, 2003:7).

Baca juga: Faisal Basri: Prabowo-Hatta Neolib Sejati

Keyakinan neo-lib itu lahir dan tumbuh dari gagasan liberalisasi tata-ekonomi negara seperti Herbert Spencer, Frederick Hayek, dan Milton Friedman. Maka, globalisasi adalah fenomena yang tidak dapat dihindari dan tidak dapat diubah (Smith, 1999).

Tentu saja, gagasan semacam ini termasuk kekuatan global yang menggerus kedaulatan dan wawasan kebangsaan tiap negara-bangsa.

O'Brien (1992) menyebut risiko globalisasi dari ideologi-jaringan neo-lib ialah the end of geography negara-bangsa; sebab negara-bangsa akhirnya hanya dijadikan satu unit usaha dalam tata-ekonomi global (Ohmae, 1996:5).

Globalisasi ibarat 'dunia tanpa batas' sehingga pemerintahan negara dimasukan ke jalur transmisi modal global.

Globalisasi dengan ideologi neo-lib meningkatkan peran dan hegemoni pasar-pasar finansial dunia; faktor produksi terpusat pada kekuatan Iptek; internasionalisasi dan trans-nasionalisasi produk-produk teknologi; lonjakan hegemoni korporasi-korporasi lintas-negara yang dimiliki dan dikendalikan oleh orang per orang dengan ideologi individualisme; diplomasi antar-negara dijejali oleh diplomasi ekonomi. Tren-tren ini mengancam negara-bangsa dan ideologinya.

Tentu saja, jaringan dan ideologi neo-lib dengan globalisasi pasar tersebut di atas mengancam dan dapat menghambat upaya pelaksanaan amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan Pasal 33 ayat (1) menghendaki “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” yakni koperasi.

Moh. Hatta (2002:230-233), ketua tim penyusun Pasal 33 UUD 1945 asli, menyatakan bahwa Pasal 33 UUD 1945 ialah politik-ekonomi Indonesia: “Antara aktivitas kooperasi yang bekerja dari bawah dan aktivitas pemerintah yang bekerja dari atas, masih luas bidang ekonomi yang dapat dikerjakan oleh swasta. Pengusaha swasta bangsa kita sendiri atau oleh golongan swasta Indonesia yang bekerja sama dengan orang swasta bangsa asing... Yang perlu ialah inisiatif swasta itu bekerja di bawah kepemilikan pemerintah dan dalam bidang dan syarat-syarat yang ditentukan oleh pemerintah.”

Jaringan ideologi neo-lib itu juga menggerus filosofi UUD 1945 yakni persatuan rakyat dan Tanah-Air sebagai satu negara-bangsa. Prof Mr Dr Raden Seopomo dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli tahun 1945 mengatakan, UUD kita tidak bisa lain dari pada mengandung sistim kekeluargaan. Sebab dalam Pembukaan itu, kita menerima aliran, pengertian negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa.

Hatta menyebut “Pokok pikiran utama dari Pasal 33 UUD 1945 ialah politik perekonomian RI”. Isinya ialah (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hayat-hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Pancasila, Ideologi Hayat-Hidup

Bell hanya melihat ideologi dari unsur manusia. Ini tentu keliru. Hal ini sangat berbeda dengan sejarah dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila dari bangsa Indonesia.

Kita baca ikrar Sumpah Pemuda tahun 1928 tentang satu-kesatuan bangsa, tanah, air, dan bahasa Indonesia.

Pada 1 Juni 1945, Soekarno, anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) merilis pidato Kelahiran Pancasila pada Sidang BPUPKI hari ke-3 di Jakarta:

“Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu Weltanschaung yang kita semuanya setujui... Saudara-saudara, dasar-dasar negara telah saya usulkan...Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila!”

Keppres Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila. Kita juga baca Pidato Presiden Soekarno pada Peringatan Lahir Pantjasila, Selasa 1 Juni 1964 di Jogjakarta: “Aku tidak mendapat wahju; Aku bukan Nabi. Aku sekedar menggali Pantja Sila di Bumi Indonesia sendiri!.” (Kedaulatan Rakjat, 1964)

Jadi, nilai-nilai Pancasila bersifat universal dan asli dari sistem hayat-hidup bangsa Indonesia selama ratusan bahkan ribuan tahun. Presiden Soekarno di depan Sidang MU PBB, New York (AS), menyebut nilai universal Pancasila: (1) Believe in God, (2) humanity, (3) unity, (4) democracy, dan (5) Social-justice.

Kita baca pesan zaman: Heraclitus dari Yunani pada abad ke-6 SM, panta rhei, alam semesta terus mengalir dan berubah yang analog dengan aliran air; Lao Tzu asal Tiongkok abad 4 SM tentang kekekalan alam semesta, karena selalu memberi, tidak hidup untuk dirinya; Abad ke-21, pesan Mangawari Waathai asal Kenya menanam harapan dan perdamaian dengan menanam pohon; Mei 2015, Vatikan merilis Laudato Si tentang merawat Bumi, rumah kita.

Leluhur bangsa Indonesia telah merawat budaya dan kearifan 1.331 suku, lebih dari 700 bahasa daerah dan lingkungannya di 17.499 pulau. Anak-anak menjalani pendidikan lingkungan sejak usia dini melalui peribahasa, ajaran, permainan, lomba, dan lebih dari 1.500 olahraga budaya bhinneka tunggal ika tentang prinsip merawat alam-hayat, pembentukan karakter, musyawarah-mufakat dan hikmat-bijaksana.

Tiap suku memiliki permainan dan olahraga berbahan tanah, air, biji, bambu, kayu, dan buah-buahan dari alam.

Karena itu, Profesor Dr Elijah, dosen sosiologi dan antropologi Universitas Pendidikan Indonesia (2018), menyarankan bahwa pendidikan nilai-nilai asli dan universal Pancasila mesti sejak usia dini.

“Sangat banyak permainan tradisional mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, etno-matematika, kejujuran, latihan fisik, disiplin, tanggungjawab, musyawarah, mufakat, dan patuh aturan tidak tertulis, adalah modal sosial budaya Bangsa kita, yang harus diajarkan sejak usia dini, tanpa mewariskan kapitalisme-liberalisme dengan semangat individualisme dan materi sulit-daur ulang seperti bahan plastik untuk anak-cucu kita, Bangsa Indonesia,” ungkap Elijah.

Dia menyebut contoh permainan tradisional gasing, engklek, basimbang, bakadaro, bekel, bakaraci (NTB), rangkuk-alu (NTT), magemblung, mebatu lima (Bali), balogo, manyipet (Kalimantan), beklen, congklak (Jawa Barat), dan lain-lain. Jenis-jenis permainan dan olahraga tradisional ini mengajarkan nilai-nilai asli dari social-capital Bangsa Indonesia, bukan neo-liberalisme dan individualisme.

Dr Hubert Muda (2018) menyebut contoh kearifan lokal masyarakat Manggarai (Flores): “Tana dedek de Mori Mese, Manggarai tana randang de Mori Ngaran, tana wantil de Mori, nuca lale mbate de mori ame.” Artinya, tanah adalah ciptaan dan titipan dari Tuhan Maha Esa yang mendukung hayat-manusia di Bumi, maka harus selalu kita rawat dan jaga. Misalnya, air dan udara bersih-sehat untuk kita mensyaratkan hutan-hutan sehat-lestari.

Di sisi lain, bangsa Indonesia harus menyaring dan mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui filosofi Pancasila. Revolusi iptek atau revolusi atom harus mampu mewujudkan nilai-nilai Pancasila: perdamaian, kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, persatuan, peradaban, dan sehat-lestari kehidupan di planet Bumi.

UUD 1945 telah menganggarkan 20 persen dari anggaran belanjar negara untuk sektor pendidikan. Kini dan ke depan, pilihan strategis adalah pendidikan sains dan teknologi tanah, air, pohon atau hutan dan gas secara simultan dan berkelanjutan serta kendali pertumbuhan penduduk guna memulihkan dan melestarikan biosfer, atmosfer dan hidrosfer planet bumi.

Kita perlu ingat bahwa pohon-pohon juga memiliki ‘hak hidup-berdiri’; sebab tanpa pohon-pohon atau tumbuhan, sistem hayat manusia berisiko rusak.

Tanah adalah pusat vegetasi; air adalah jenis zat yang dapat masuk ke seluruh unsur alam dan menghidupkan. Maka mulailah kita merawat nilai-nilai kebaikan alam-hayat-tanah, air, tumbuhan atau pohon - guna mewujudkan nilai-nilai asli dan universal Pancasila.

Salam kebangkitan alam Pancasila 1 Juni 2023.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi