KOMPAS.com – Kita sebagai Masyarakat Jawa sudah semestinya menggunakan bahasa Jawa dengan kaidah dan aturan yang berlaku.
Bahasa Jawa mempunyai tingkat tutur yang rapi. Akan tetapi, pemakaian bahasa Jawa ternyata menunjukkan bahwa keyakinan itu tidak sepenuhnya benar.
Hal ini tidak mengherankan karena sudah sejak awal abad ke dua puluh, pemakaian kebenaran dan kerapian dalam unggah-ungguh bahasa Jawa tidak lagi pernah dihiraukan oleh Masyarakat.
Adapun kesalahan-kesalahan berbahasa Jawa yang biasanya ditemukan di masyarakat, sebagai berikut:
Kesalahan ragam ngoko lugu
Berikut adalah kesalahan penggunaan ragam ngoko lugu:
Di dalam kesalahan ini, terjadi campur kode antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Dengan contoh kalimat “Aja pergi karo temanmu, Dik.”. Disini terjadi campur kode berupa penyisipan kata “pergi” dan “temanmu”. Seharusnya adalah “Aja lunga karo kancamu, Dik.”
Baca juga: Unggah-Ungguh Bahasa Jawa
Penggunaan kosakata bahasa Inggris dalam tuturan ragam ngoko luguDi dalam kesalahan ini, terjadi campur kode antara bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Dengan contoh kalimat “Powere dibanterke maneh, Nas.”. Di sini terjadi campur kode berupa penyisipan kata powere. Seharusnya adalah “Swarane dibanterke maneh, Nas.”
Penggunaan afiks krama dalam tuturan ragam ngoko luguAfiks yang digunakan dalam bahasa Jawa ragam ngoko lugu adalah afiks ngoko. Jika muncul afiks krama pada tuturan ragam ngoko lugu berarti tidak tepat. Seperti “Mbak, omahipun Dela ana ing ing ngendi?”.
Kosakata omahipun terdiri dari kosakata omah dan akhiran -ipun. Akhiran -ipun adalah akhiran krama. Sedangkan omah adalah ragam ngoko. Kosa kata ngoko digabung dengan akhiran krama menadi tidak tepat. Penulisan yang benar adalah “Mbak, omahe Dela ana ing ngendi?”
Kesalahan ragam ngoko alus
Berikut adalah kesalahan penggunaan ragam ngoko alus:
Tidak menggunakan leksikon krama inggil untuk orang yang dihormatiDengan contoh “Aja ngono ta, mengko disengeni Mbah Jumirah, lho”. Jika diperhatikan terdapat kesalahan pada kata sengeni yang merupakan leksikon ngoko.
Tuturan tersebut membicarakan Mbah Jumirah yang usianya lebih tua dan seharusnya dihormati. Kalimat yang benar adalah “Aja ngono ta, mengko didukani Mbah Jumirah, lho”
Kesalahan ragam krama alus
Berikut adalah kesalahan penggunaan ragam krama alus:
Penggunaan leksikon ngoko dalam tuturan ragam krama alusContoh kalimat “Pak Saka mangan sate wonten ing warungipun Cak Toha.”. Leksikon mangan pada konteks ini seharusnya diganti dengan krama inggil menjadi “Pak Saka dhahar sate wonten ing warungipun Cah Toha.” Karena kosa kata tersebut menunjukkan kepada Pak Saka yang seharusnya dihormati karena usia.
Tidak menggunakan leksikon krama inggil untuk orang yang dihormatiContoh kalimat “Kadosipun Mbah Sowi sampun mantuk, Pak.” Kosa kata mantuk adalah ragam krama. Pada konteks kalimat ini, seharusnya menggunakan leksikon krama inggil untuk menghormati Mbah Sowi yang sedang dibicarakan. Kalimat yang benar adalah “Kadosipun Mbah Sowi sampun kondur, Pak.”
Baca juga: Tingkatan Bahasa dalam Bahasa Jawa: Ngoko, Krama, Krama Inggil
Penggunaan afiks ngoko dalam tuturan ragam krama alusContoh kalimat “Ngendikane Mas Andi, Mbak Nana nembe sare.”. Pada konteks kalimat ini adalah ragam krama alus. Kata ngendikane berasal dari leksikon krama inggil ngendika yang mendapatkan afiks ngoko, yaitu akhiran -e. kalimat yang benar yaitu “Ngendikanipun Mas Andi, Mbak Nana nembe sare.”
Penggunaan kosakata bahasa Indonesia dalam tuturan ragam krama alusContoh kalimat “Kula badhe mrika, Mbah. Tapi jam tiga mangke”. Terdapat kesalahan dalam kalimat tersebut. Yaitu munculnya kata "tapi jam tiga”. Kalimat yang benar adalah “Kula badhe mrika, Mbah. Ananging tabuh tiga mangke”
Referensi:
- Dr. Joko Sukoyo, M. (2022). Unggah-ungguh Bahasa Jawa. Semarang: UNNES Press.
- Uhlenbeck, E. (1982). Kajian Morfologi Jawa (Terjemahan Soenarjati Djajanegara). Jakarta: Djambatan.