KOMPAS.com - Ukara, yang berasal dari kata "ukara" dalam bahasa Jawa, adalah kumpulan kata yang membentuk gagasan atau ide yang lengkap.
Dalam masyarakat, ukara menjadi alat untuk menyampaikan pesan, ekspresi, dan cerita. Jenis ukara bervariasi tergantung pada apa yang ditulis dalam kalimat.
Baca penjelasan lengkap mengenai ukara bahasa jawa di bawah ini, ya!
Pengertian ukara
Ukara adalah kumpulan kata yang teratur yang membentuk kumpulan ide atau gagasan dan ditandai dengan satuan bahasa.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara ukara dan kalimat dalam bahasa Indonesia dari segi kaidah kebahasaan. Ukara terdiri dari susunan kata-kata yang relatif, dapat berdiri sendiri, dan memiliki intonasi akhir yang terdiri dari klausa.
Ciri-ciri ukara
Ukara memiliki karakteristiknya sendiri yang terdiri atas kurang lebih empat hal, sebagai berikut:
- Bisa berdiri sendiri
- Terdiri dari satu klausa atau lebih, yaitu jejer (subyek) dan wasesa (predikat)
- Pada tulisan awal kalimat diawali dengan huruf kapital (aksara murda)
- Akhir kalimat diberi tanda titik, koma, titik koma, tanda seru, dan tanya tanya
- Adanya intonasi (laguning pocapan)
Baca juga: Mengenal Ukara Lamba Basa Jawa
Struktur ukara
Struktur ukara tidak berbeda jauh dari kalimat bahasa Indonesia yang meliputi subyek, predikat, obyek, dan keterangan. Beikut penjelasannya:
- Jejer (subyek)
Jejer atau subyek merupakan apa yang dibicarakan atau diceritakan keadaannya dalam kalimat. Jejer tidak hanya meliputi tembung aran (kata benda) saja, melainkan juga ada beragam jenis kata lainnya. Posisi jejer umumnya berada di sebelah kiri wasesa.
- Wasesa (predikat)
Wasesa atau predikat adalah struktur yang menggambarkan tentang pekerjaan, tingkah laku atau keadaan jejer. Disebutkan bahwa wasesa menjadi inti dari ukara sehingga kalimat tanpa wasesa disebut sebagai frasa. Biasanya, posisi wasesa terletak di sebelah kanan jejer dan sebelah kiri lesan.
- Lesan (obyek)
Selanjutnya adalah lesan atau obyek. Ini berisi apa yang dituju dalam kalimat. Posisinya berada di sebelah kanan wasesa atau juga disebut sebagai ukara tanduk (kalimat aktif).
- Geganep (pelengkap)
Pelengkap atau geganep, yaitu struktur kalimat yang berfungsi sebagai pelengkap wasesa. Biasanya ia terletak di sebelah kanan wasesa atau di sebelah kanan lesan.
- Katrangan (keterangan)
Yang terakhir adalah katrangan. Struktur kalimat yang satu ini bertujuan untuk menjelaskan maksud dari kalimat agar lebih rinci. Posisi dari katrangan dapat diletakkan di mana pun, baik di depan, di tengah, maupun di akhir.
Pola Ukara
Dalam hal ini, pola ukara merujuk pada tata urutan struktur kalimat yang telah dijelaskan sebelumnya. Ada tujuh pola kalimat yang dapat terbentuk, yaitu:
- J-W
- J-W-L
- J-W-P
- J-W-K
- J-W-L-P
- J-W-L-K
- J-W-L-P-K
Jenis ukara
Ukara dibagi berdasarkan tindakan dan isinya. Ukara dibagi menjadi dua jenis, tanduk dan tanggap, berdasarkan tindakan.
Menurut isinya, ukara dibagi menjadi carita (cerita), pakon (perintah), dan pitakon (tanya). Di bawah ini adalah penjelasannya:
- Ukara tanduk
Dalam bahasa Indonesia, ukara tanduk berarti kalimat aktif. Wasesa ukara tanduk adalah tembung kriya tanduk, yang merupakan kata kerja aktif. Imbuhan ater-ater anuswara (m-, n-, ng-, dan ny-), diikuti oleh panambang -i atau -ake, sering digunakan untuk menunjukkan karakteristiknya.
- Ukara tanggap
Ukara tanggap biasanya didefinisikan sebagai kalimat pasif dan memiliki wasesa dalam bentuk tembung kriya tanggap, atau kata kerja pasif. Imbuhan ater-ater di-, ka-, ke-, seselan -in-, dan klitik dak- dan ko- digunakan.
- Ukara carita
Selanjutnya adalah ukara carita yang merupakan kalimat berita. Kalimat ini menjelaskan ide atau suatu gagasan kepada orang lain dan diakhir dengan titik.
- Ukara pakon
Ukara pakon atau kalimat perintah merujuk pada kalimat yang mengandung ide dan pemikiran agar orang lain mau melaksanakan ide dan pemikiran tersebut. Ukara pakon terdiri dari lima jenis, yakni ukara pakon lumrah, pamenging, pangajak, panantang, dan panyuwun.
- Ukara pitakon
Ukara pitakon merupakan kalimat tanya yang menjelaskan rasa penasaran mengenai suatu ide kepada orang lain. Ukara pitakon dapat berisi kata apa, kepriye, kapan, ngendi, sapa, dan kenapa (5W+1H).
Baca juga: Contoh Ukara Tanduk Bahasa Jawa
Keistimewaan ukara
Terlepas dari fakta bahwa secara teknis tidak ada banyak perbedaan antara ukara dan kalimat dalam bahasa Indonesia, ukara memiliki beberapa ciri bahasa yang unik. Bahasa Jawa dibagi menjadi tingkatan ngoko, madya, dan krama berdasarkan usia dan golongan lawan bicara.
Hal ini juga berdampak pada cara kita menulis ukara, yang kemudian perlu diubah. Penggunaan bahasa ngoko saat berbicara kepada orang yang lebih tua, misalnya, dapat dianggap tidak sopan atau tidak sesuai dengan etika berkomunikasi masyarakat Jawa.
Bahasa Jawa juga memiliki banyak turunan kata yang dapat digunakan dalam ukara, seperti pari, gabah, beras, menir, sego, upo, dan karak. Jika kita menggunakan kata yang salah, ini akan mengubah konteks dalam kalimat.
Contoh ukara
Setelah mengetahui pengertian hingga keunikannya, berikut contoh-contoh ukara menurut jenis-jenisnya:
- Contoh ukara tanduk
- Jumini mbungkusi sarung
- Rendra nukokake adhine jajan
- Contoh ukara tanggap
- Tahu dipangan adhik
- Pitik dipakani Abdul ing kendhang
- Contoh ukara carita
- Sesuk bapak tindak Sala.
- Rega bensin wiwit tanggal 1 Mei 2015 mundhak.
- Contoh ukara pakon
- Tugase ndang digarap!
- Ndang disaponi latare!
- Contoh ukara pitakon
- Apa kowe ora mlebu sekolah?
- Sapa sing ngeterke kowe sekolah?
Baca juga: Apa Itu Ukara Tanduk dalam Bahasa Jawa?
Referensi:
- Suryaningsih, D. P., & Adipitoyo, S. (2020). Konstruksi Statif Lokasional Ing Basa Jawa. JOB (Jurnal Online Baradha), 10(1).
- Purwaningrum, N. C., & Adipitoyo, S. (2019). Konstruksi Resultatif Ing Basa Jawa. JOB (Jurnal Online Baradha), 6(1).