KOMPAS.com - Adegan limbukan adalah suatu adegan di dalam pergelaran wayang kulit sesudah adegan pertama (jejer sepisan).
Di mana pada adegan ini biasanya digunakan untuk inter mezo, didalamnya ditampilkan lawakan, lagu-lagu, biasanya Dalang akan mengutarakan maksud tujuan diadakanya pergelaran wayang, serta berbagai pesan dari beberapa pihak bisa disampaikan di sini dengan lugas.
Adegan limbukan mempunyai fungsi menghibur, di satu sisi sebagai ajang pengendoran syaraf, karena saat adegan jejer sepisan telah ditampilkan pembicaraan yang serius mengenai inti permasalahan lakon yang akan digelar semalam suntuk, sehingga adegan ini sangat membantu mencairkan suasana.
Cangik dan Limbuk, bukanlah ‘babu’ seperti yang banyak digambarkan orang. Mereka berdua, adalah ‘rewang’. Dalam bahasa Jawa, artinya ‘orang yang membantu’. Dalam pemahaman ini, mereka bukanlah ‘pembantu’ (babu). Rewang, artinya ‘penolong’.
Istilah ‘ngrewangi’, artinya membantu atau menolong. Maksudnya membantu atau menolong mendengar curhat sang junjungan, membantu memberikan saran, membantu menenangkan sang junjungan, membantu menyenangkan hati sang junjungan, membela junjungannya, dan membantu mencarikan jalan keluar jika ada masalah.
Baca juga: Gaman lan Aji-Ajine Wayang
Dalam budaya tradisional Jawa, seorang ‘rewang’ akan tinggal bersama, jika perlu tidur dan menjaga di kamar sang puteri, makan menu dan makanan yang sama dengan junjungannya.
Mereka seringkali juga merawat dan membesarkan anak-anak dari keluarga yang diikutinya. Mereka bukanlah ‘orang belakang’, tetapi lebih tepat disebut sebagai ‘orang dalam’.
Dalam kehidupan nyata, mereka seringkali diberi kepercayaan yang sangat luar biasa, yang berhubungan dengan harta, kekayaan, rahasia, rumah tinggal, dan anak-anak. Karena itu, mereka berdua, bukanlah ‘parekan’ (dayang-dayang). Jika di jaman sekarang, mungkin mereka berdua itu lebih tepat disebut ‘asisten pribadi’.
Dalam pagelaran wayang purwa, kemunculan dua tokoh emban ini selalu ditunggu oleh para pemirsa. Bukan karena pesona kecantikan atau kesaktiannya, melainkan kejenakaannya.
Dua tokoh emban kerajaan ini menjadi daya tarik tersendiri setelah pemirsa disuguhi materi tontonan yang agak serius.
Adegan Limbukan biasanya dilakukan setelah jejeran pertama Gapuran kemudian Sang Raja masuk ke dalam kedhaton. Pada adegan ini emban mengiringi sang raja dan permaisuri dalam jamuan makan.
Tidak seperti tokoh jenaka punakawan, yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong yang mempunyai latar belakang dan silsilah yang jelas.
Untuk Limbuk dan Cangik tidak ada kejelasan mengenai silsilah kedua tokoh ini. Postur tubuh antara Limbuk dan Cangik digambarkan sangat bertolak belakang.
Mengenal tokoh Limbuk dan Cangik
Limbuk berbadan gemuk, nyaris bundar sedangkan Cangik kerempeng bak sebatang lidi. Limbuk berpenampilan genit, suka berhias dan setiap kali dimainkan tentu dalam adegan minta untuk dicarikan jodoh. Nada suara limbuk seperti laki-laki dengan vokal bariton.
Mengapa Limbuk digambarkan bertubuh gemuk dan Cangik bertubuh kurus?
Sebab, seseorang yang mengabdi tanpa pamrih kepada seseorang lainnya (junjungannya), meskipun ia semula bertubuh gemuk, jika pengabdian itu dilakukan tanpa pamrih, maka ia akan menjadi kurus dengan sendirinya.
Kurus menggambarkan orang yang jujur, sederhana, tidak banyak tuntutan, hidupnya tidak mengejar materi dan kekayaan.
Juga menggambarkan sifat orang yang sederhana, tidak neka-neka. Limbuk yang tubuhnya tambun, menggambarkan seorang wanita yang masih muda dan masih memikirkan materi dan duniawi.
Cangik sebagai emaknya pasti memberi nasehat agar Limbuk belajar lebih banyak dahulu mengenai ketrampilan seorang wanita, baru nanti dicarikan jodoh.
Cangik adalah gambaran seorang wanita tua yang sangat setia kepada majikannya. Ia adalah seorang wanita yang bertindak sebagai ‘rewang’ bagi majikan perempuan (misalnya: isteri, permaisuri).
Permunculannya di pewayangan hanya sebagai tokoh penghangat suasana, karena dialog antara ibu dan anak itu hanya merupakan lelucon.
Biasanya, mereka hanya membicarakan khayalan dan impiannya suatu saat Limbuk akan dilamar orang, dan kawin. Adegan ini, dalam pedalangan Wayang Purwa sering disebut limbukan.
Sebagian dalang kadang-kadang juga menggunakan dialog tokoh Cangik dan Limbuk sebagai alat untuk tujuan dakwah, pendidikan dan penerangan masyarakat, dan pesan-pesan dari orang yang punya hajat tertentu.
Selain pada saat jejeran, Cangik dan Limbuk terkadang juga muncul pada adegan-adegan di keputren. Bila dimunculkan di keputren, pada dialog lawak di antara keduanya sering diselipkan berbagai nasihat untuk para gadis, dan juga berbagai kritik umum tentang dunia wanita.
Baca juga: 10 Jenis-Jenis Wayang dan Pengertiannya
Referensi:
- Nugroho, G. W. T. N. (2016). Kedhaton Limbuk. Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
- Asmarani, R. (2004). Dialog Cangik dan Limbuk: Dalam kajian feminisme. Kajian Sastra, (3), 192-201.